tirto.id - Pengesahan Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak diharapkan mampu menekan kasus kekerasan anak yang semakin tahun angkanya diperkirakan semakin meninggi.
Hal tersebut disampaikan oleh Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Yembise di sela acara Jelajah Three Ends, di Jailolo, Maluku Utara, Sabtu (15/10/2016) malam.
"Pengesahan Perppu itu diharapkan akan dapat mengurangi kasus-kasus kekerasan pada anak, khususnya kasus kekerasan seksual," kata Yohana, sembari menambahkan bahwa ia juga meminta pemenuhan Hak Asasi Manusia (HAM) para korban, keluarga dan masyarakat diprioritaskan, walaupun negara juga melindungi HAM pelaku kekerasan.
"Walaupun pelaku kekerasan terhadap anak punya hak, namun hak asasi korban yang harus diprioritaskan. Begitu juga hak asasi keluarga korban. Betapa korban dan keluarga akan hancur dengan tindakan pelaku. Masyarakat juga ketakutan, ada rasa tidak aman dengan perbuatan pelaku kekerasan seksual itu. Akibat perbuatan pelaku, ketertiban masyarakat terganggu," ujarnya lagi.
Ia menegaskan pula jika upaya perlindungan terhadap hak anak dan perempuan merupakan salah satu visi Nawacita yang digulirkan Presiden Joko Widodo. "Presiden menginginkan anak-anak dan perempuan yang berkualitas, mandiri dan berkepribadian, dan semua menteri harus bisa mengarahkan kinerjanya sesuai dengan arahan Presiden," ujarnya.
Di sisi lain, Yohana juga meminta pengesahan Perppu tersebut dibarengi dengan sinergitas aparat penegak hukum. Menurutnya, Kementerian PPPA juga sudah berkoordinasi dengan Kepolisian dan Kejaksaan agar hukuman pelaku kekerasan terhadap anak bisa diberikan seberat-beratnya. Hukuman berat itu sesuai tindakan pelaku, sehingga diharapkan menimbulkan efek jera bagi pelaku kekerasan, katanya.
"Pemerintah memberikan peluang adanya hukuman mati. Namun pemerintah dan legislatif tidak bisa intervensi terkait hukuman apakah hukuman penjara seumur hidup, rehabilitasi atau hukuman mati," jelas Yohana.
Menurutnya, sanksi dan hukuman itu tentu saja akan disesuaikan dengan seberapa berat pelaku melakukan kejahatan. "Apakah ada nanti saksi-saksi yang meringankan. Tentu hakimlah yang akan menentukan. Kebiri hanyalah salah satu dari sanksi yang diberikan dalam bentuk tindakan sebagai tambahan hukuman," katanya.
Ia mengatakan, sebelumnya pemerintah pernah menerbitkan UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Pertama Atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Dalam UU tersebut, sanksi hukuman bagi pelaku kekerasan seksual diberikan lima sampai 15 tahun penjara, bahkan penjara seumur hidup. Kendati demikian, menurutnya, hukuman itu belum mampu memberikan efek jera terhadap pelaku kekerasan seksual.
"Belakangan kasus kekerasan seksual justru makin tinggi. Setiap hari ada saja kasus yang mengancam jiwa dan tumbuh kembang anak. Masih ada ketakutan dari masyarakat, padahal anak sudah dilindungi negara," kata dia.
Dalam lawatan ke Jailolo, Yohana mencanangkan Program Three Ends, yaitu mengakhiri kekerasan terhadap perempuan dan anak, mengakhiri perdagangan orang, dan mengakhiri ketidakadilan akses ekonomi terhadap perempuan. "Ini akan jadi role model untuk daerah-daerah di seluruh Indonesia," kata Yohana.
Acara Jelajah Three Ends di Jailolo itu sendiri berlangsung pada Jumat hingga Sabtu pekan ini.
Jelajah Three Ends ini dimulai di Jailolo dan merupakan kota pertama, dari rangkaian tiga kota yang telah dipilih untuk menjadi kabupaten dan kota percontohan dalam mengedukasi masyarakat mengenai perlindungan dan pemenuhan hak perempuan dan anak.
Sosialisasi Program Three Ends berikutnya akan dilaksanakan di Kota Belitung pada 11-12 November, dan Kota Bandung pada 18-19 November 2016.
Penulis: Ign. L. Adhi Bhaskara
Editor: Ign. L. Adhi Bhaskara