tirto.id - Beberapa hari ini, media sosial dibuat ramai oleh polemik pernyataan “Kementerian Agama hadiah negara untuk Nahdlatul Ulama” yang dilontarkan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas. Serbaneka kritik dari beberapa lembaga dan tokoh publik pun mengikutinya setelah itu. Kebanyakan tentu menyayangkan penyataan itu.
Yaqut kemudian memberi klarifikasi bahwa pernyataannya itu disampaikannya dalam forum internal NU. Konteks dari pernyataannya itu pun adalah motivasi untuk kalangan NU dan santri.
“Intinya, sebatas memberi semangat kepada para santri dan pondok pesantren. Ibarat obrolan pasangan suami-istri, dunia ini milik kita berdua, yang lain cuma ngekos, karena itu disampaikan secara internal,” kata Yaqut di Solo, Senin (25/10/2021).
Meski begitu, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Helmy Faishal Zaini menilai pernyataan Menag Yaqut itu tetap saja kurang bijaksana. Menurutnya, Kemenag adalah hadiah negara untuk semua agama. Benar bahwa NU kini jadi stakeholder di Kementerian Agama, tapi itu bukan alasan untuk merasa punya hak khusus.
Menilik sejarah, posisi menag memang sering dijabat oleh tokoh-tokoh dari NU. Namun, tentu saja tidak ada ketentuan resmi bahwa tokoh NU dapat privilese khusus untuk jabatan menag.
Menteri Agama era Revolusi
Usai Proklamasi, pemerintah Indonesia yang baru terbentuk tidak membuat departemen atau kementerian khusus yang mengurusi masalah agama. Meski begitu, seturut buku Amal Bakti Departemen Agama RI: 3 Januari 1946-3 Januari 1996 (1996, hlm. 11), ada Kiai Haji Abdul Wahid Hasyim dari NU yang ditunjuk jadi menteri negara dengan tugas “mengurus urusan politik, terutama yang berhubungan dengan Islam dan Umat Islam.”
Pada November 1945, pemerintah Indonesia mulai menerapkan sistem parlementer. Posisi kepala pemerintahan lantas dipegang oleh Perdana Menteri Sutan Sjahrir. Karena pergantian sistem ini, Wahid Hasyim pun lengser dan digantikan oleh Haji Mohammad Rasjidi yang berlatar Muhammadiyah sekaligus Masyumi.
Rasjidi mengaku penunjukan itu bukan atas nama Muhammadiyah atau Masyumi. Yang unik, Rasjidi sama sekali tidak pernah dihubungi Sjahrir terkait penunjukannya. Dia bahkan baru tahu dirinya ditunjuk jadi menteri negara dari pemberitaan di koran Merdeka.
“Beberapa hari kemudian barulah datang utusan resmi kabinet untuk menjemputnya menghadiri sidang pertama kabinet. Dalam sidang inilah Sjahrir secara ‘resmi’ meminta dia untuk mengurusi ‘soal peribadatan’ di republik ini,” tulis sejarawan Azyumardi Azra dalam bunga rampai Menteri-menteri Agama RI: Biografi Sosial-Politik (1998, hlm. 4).
Kementerian Agama definitif baru dibentuk setelah pemerintah Indonesia menerbitkan Penetapan Pemerintah Nomor I/S.D. pada 3 Januari 1946. Rasjidi kemudian diangkat menjadi menteri agama yang pertama. Meski begitu, Rasjidi baru mulai bertugas pada 12 Maret 1946 dengan berkantor di ibu kota revolusi Yogyakarta.
Di era awal pembentukan Kementerian Agama hingga era 1950-an, posisi menag silih berganti dijabat oleh tokoh Muhammadiyah dan NU. Di era revolusi sendiri, NU dan Muhammadiyah sama-sama bernaung di bawah Masyumi sebagai partai induk.
Rasjidi mengakhiri masa jabatannya pada 2 Oktober 1946. Lalu, naiklah Fathurrahman Kafrawi yang berasal dari NU sebagai menag yang baru. Seperti halnya Rasjidi, Fathurrahman Kafrawi tidak bertahan lama karena dinamika politik dalam pemerintahan dan revolusi. Pada 26 Juni 1947 dia pun lengser.
Pada Juli 1947, Belanda melancarkan Agresi Militer pertamanya ke Indonesia. Pada masa kacau ini, Kementerian Agama mengalami ketidakpastian karena berhadapan dengan perang. Pengganti Fathurrahman semula adalah Achmad Asj'ari dari Muhammadiyah. Belum lama menjabat, Achmad Asj'ari digantikan Anwaruddin dari Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) pada Oktober 1947.
Achmad Asj’ari dan Anwaruddin agaknya tidak diangkat secara resmi sebagai menag mengingat yang diakui sebagai menag definitif ketiga dalam sejarah pemerintahan Indonesia adalah Kiai Haji Masjkur dari NU. Dia diangkat jadi menag dalam Kabinet Amir Sjarifuddin II pada 11 November 1947.
Era 1950-an hingga Kini
Pada 20 Desember 1949, Wahid Hasyim memulai tugasnya sebagai menag dalam Kabinet Republik Indonesia Serikat (RIS). Dalam kabinet yang berusia singkat itu, Wahid Hasyim bekerja di bawah arahan Perdana Menteri Mohammad Hatta. Dia tetap menjadi menag kala Indonesia kembali ke bentuk republik pada 17 Agustus 1950.
Wahid Hasyim tercatat jadi menag di dua kabinet yang dipimpin oleh tokoh Masyumi, yaitu Kabinet M. Natsir (1950-1951) dan Kabinet Sukiman (1951-1952). Kala itu, NU memang bagian dari Masyumi.
Wahid Hasyim menyudahi masa jabatannya kala Perdana Menteri Sukiman jatuh pada 1952. Di kabinet baru yang dipimpin Perdana Menteri Wilopo, Masyumi mengajukan Fakih Usman dari Muhammadiyah sebagai kandidat menag. Keputusan Masyumi itu membuat NU kecewa. NU kemudian keluar dari Masyumi dan membentuk partai sendiri.
Tokoh NU lain yang sempat jadi menag adalah Kiai Haji Muhammad Ilyas di era Kabinet Burhanuddin Harahap dan Kabinet Ali Sastroamidjojo II.
Setelah Dekret Presiden 5 Juli 1959, sistem parlementer dilikuidasi dan Sukarno memegang kendali penuh atas pemerintahan. Di era yang disebut Demokrasi Terpimpin ini, posisi menag berturut-turut diduduki oleh tokoh NU, yaitu Wahib Wahab dan Saifuddin Zuhri.
Muhaimin Abdul Gofar dalam bunga rampai Menteri-menteri Agama RI (hlm. 217) menceritakan bahwa sebelum mengakhiri masa jabatannya, Wahib Wahab memberi pesan khusus kepada Saifuddin, calon penggantinya yang juga dari NU, agar dia menerima jabatan menag. Sebab, kursi menag akan jatuh ke tangan orang Muhammadiyah jika dia menolak. Wahib khawatir hal itu akan menjadi akhir dari ikatan antara pemerintah dan ulama NU.
Di awal berdirinya Orde Baru Soeharto, posisi menag masih diisi tokoh NU, yaitu Kiai Haji Mohammad Dachlan. Dia mengisi pos itu selama Kabinet Pembangunan I (1968-1971). Setelah itu, Soeharto tidak pernah lagi menyerahkan jabatan menag kepada tokoh NU maupun Muhammadiyah. Soeharto lebih memilih tokoh intelektual atau tentara untuk mengisi jabatan menag.
Dari kalangan intelektual ada Mukti Ali (Kabinet Pembangunan II), Munawir Sjadzali (Kabinet Pembangunan IV dan V), dan Muhammad Quraish Shihab (Kabinet Pembangunan VII). Sementara itu dari kalangan tentara ada Letnan Jenderal Alamsjah Ratu Prawiranegara (Kabinet Pembangunan III) dan Laksamana Muda Dokter Tarmizi Taher (Kabinet Pembangunan VI).
Setelah Soeharto lengser, barulah tokoh NU makin sering yang menjadi menag. Meski begitu, tidak serta-merta bisa digeneralisasi bahwa sejarah Kementerian Agama didominasi oleh NU. Pasalnya, ada masa panjang di era Orde Baru saat tokoh NU—juga Muhammadiyah—tidak mengisi posisi itu. Setidaknya dari 23 orang yang pernah menjadi menag sepanjang sejarah, 9 orang di antaranya bukan dari kalangan NU.
Editor: Fadrik Aziz Firdausi