Menuju konten utama

Menristekdikti Bukan Pawang Mahasiswa

Menristekdikti ajak mahasiswa berdialog sementara kebebasan akademik di kampus dihabisi. 

 

Menristekdikti Bukan Pawang Mahasiswa
Avatar Fajri Siregar. tirto.id/Sabit

tirto.id - Pesan Presiden Jokowi untuk meredam amarah mahasiswa dengan meminta Menristekdikti berdialog terdengar sebagai solusi yang menyejukkan, namun berpotensi blunder.

Dialog antara menteri dengan rektor dan mahasiswa memang terdengar ideal. Namun, jika dilaksanakan, niscaya Menristekdikti akan kewalahan menanggapinya. Sebab, dialog bersifat dua arah—itu pun kalau menteri memang benar mau mendengarkan aspirasi mahasiswa, ia akan kelimpungan dengan ragam suara yang ia dengar.

Lain halnya jika dialog yang dimaksud adalah ceramah. Jika memang itu cara yang ditempuh, niscaya tidak akan ada mahasiswa yang mau menghadirinya.

Bahaya lain dalam penyelesaian seperti ini adalah pemeliharaan budaya patronase yang masih menancap dalam kultur akademik kita. Terlebih jika sosok Menteri dianggap seperti ‘orangtua’ yang menyampaikan wejangan kepada ‘anak-anaknya’, yakni para mahasiswa. Yang didambakan mahasiswa adalah dialog yang setara. Di sisi lain, ini tentu juga mensyaratkan mahasiswa yang paham adab dan keinginan untuk berperilaku dewasa.

Terlepas dari masalah cara berdialog, ada baiknya, niat baik tersebut diiringi dengan refleksi mengenai peran Menristekdikti dalam dinamika universitas dan kebebasan berekspresi dan kebebasan akademik. Sebab, demonstrasi yang berujung ricuh (bahkan kematian) bisa jadi adalah isyarat dari kebebasan akademik yang ingkar pada khitahnya. Argumen ini didasari pada banyaknya kasus pelarangan atau pembubaran diskusi yang terjadi di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Berikut beberapa catatan yang patut dibeberkan di sini:

  • Mei 2012 : Diskusi yang menghadirkan Irshad Manji di UGM (Yogyakarta) dibubarkan pihak kampus
  • Desember 2014: Pemutaran film Senyap dibubarkan di UGM, ISI, dan beberapa tempat lainnya di Yogyakarta
  • November 2015: Diskusi mengenai LGBT di Fakultas Hukum Universitas Diponegoro (Semarang) dibubarkan pihak kampus
  • Mei 2016: Diskusi Marxisme di Institut Seni Budaya Indonesia (Bandung) dibubarkan massa
  • Maret 2018: Diskusi mahasiswa Universitas Nasional (Jakarta) dibubarkan pihak kampus
  • September 2018: Diskusi Marxisme oleh KSM Eka Prasetya Universitas Indonesia tidak diizinkan pihak universitas
  • Oktober 2018: Diskusi mengenai sejarah dibatalkan oleh Universitas Negeri Malang karena pembicara dituding terafiliasi kelompok komunis.
  • Maret 2019: Pembubaran diskusi di Universitas Halu Oleo (Kendari) oleh pihak kampus

Ketika hasrat berdialog di kampus sudah sedemikian terpasung, maka tidak heran jika batin mahasiswa tumpah ruah di jalanan. Memang, tidak ada korelasi langsung antara kemungkinan terjadinya amuk massa dengan frekuensi diskusi akademik, namun adab dan budaya yang demokratis sangat mungkin dibangun melalui diskusi yang terbuka. Inilah salah satu fungsi pendidikan tinggi.

Yang lebih mengherankan, bahkan dosen senior pun masih terganjal kultur akademik yang represif. Kasus terakhir dialami oleh seorang dosen di Unsyiah Kuala (Aceh) yang mempertanyakan hasil tes dosen CPNS dan justru dilaporkan oleh dekan Fakultas Teknik tempat ia bernaung. Jika catatan ini ditambah dengan banyaknya pembubaran paksa diskusi akademik di berbagai universitas (atau forum lainnya), maka terlihat bahwa dialog yang terbuka dengan topik sesensitif apapun, kerap ditanggapi dengan represi.

Dengan catatan tersebut, terlihat bagaimana deretan universitas dengan otonomi ini terbukti membatasi kegiatan akademik dan kebebasan berekspresi di dalam lingkup kampus. Ironi ini kerap dibenarkan oleh pihak universitas dengan dalih menjaga keamanan dan mengawal moral masyarakat. Di saat yang sama, moralitas dalam bentuk transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan tidak pernah dipertanggungjawabkan kepada publik, terutama mahasiswa.

Dalam lingkup universitas, rektor seharusnya lebih berperan dalam hal ini. Bukan untuk berdialog mengenai masalah nasional, tetapi untuk membuka tabir di universitas masing-masing. Budaya mimbar bebas dan refleksi kritis dimulai di sini.

Dengan demikian, bagi para mahasiswa, jika rektor membuka kesempatan untuk berdialog, jangan tunda-tunda. Rebut kesempatan tersebut untuk meminta perbaikan tata kelola universitas.

Tuntut transparansi pengelolaan dana di universitas.

Tuntut transparansi rekrutmen dosen.

Tuntut transparansi transparansi pemilihan rektor.

Semua pihak berbicara mengenai tata kelola pemerintahan yang baik, namun jarang sekali tata kelola universitas diangkat secara komprehensif dalam diskursus publik.

Hanya dua hari setelah presiden Jokowi meminta Menristekdikti untuk berdialog dengan mahasiswa, Kaukus Kebebasan Akademik Indonesia mengeluarkan tanggapan atas langkah tersebut. Pada intinya, mereka mengingatkan pentingnya memelihara tradisi berpikir kritis dan kebebasan akademik di Indonesia. Sejujurnya, tradisi tersebut tidak pernah terbangun.

Yang lebih terekam dalam benak komunitas akademik (dan senantiasa kita ingat dalam banyak polemik) adalah hari-hari penuh pengawasan di era Orde Baru dalam bentuk kebijakan NKK/BKK.

Dengan demikian, jika publik bertanya mengapa demonstrasi kerap berujung ricuh, maka pertanyakan lebih dahulu kapan kita pernah berdialog dengan adab dan akal? Pernahkah dialog yang setara terjadi antara rektor dengan mahasiswa? Atau, yang lebih menyesakkan bagi para dosen, antara mahasiswa dengan dirinya?

Ada banyak informasi menarik yang muncul seputar relasi mahasiswa dengan universitas di tengah hari-hari penuh demonstrasi. Beberapa universitas mengeluarkan himbauan bagi mahasiswa untuk tidak menghadiri demonstrasi. Beberapa mengingatkan untuk tidak menghadiri, namun masih ada juga universitas (sebuah perguruan tinggi swasta di Jakarta) yang dengan tegas melarang mahasiswanya untuk demonstrasi hingga diancam dengan hukuman drop out alias diakhiri keikutsertaannya dalam studi.

Cara-cara seperti ini masih saja diterapkan meski kita berada dalam situasi yang konon lebih demokratis ketimbang Orde Baru. Dalam hal ini, langkah Universitas Islam Indonesia di Yogyakarta yang mengizinkan para mahasiswanya untuk turut serta dalam aksi minggu lalu patut diapresiasi.

Dengan banyaknya catatan hitam dalam kultur akademik kita, perlu diakui secara ramai-ramai: Tidak ada kebebasan hakiki dalam kebebasan akademik di Indonesia. Hal ini sudah terbukti dalam banyak kasus. Lantas siapa yang mengingkari kebebasan tersebut? Seringkali mereka yang punya kuasa untuk menjaganya.

Sebagai seorang mantan rektor, Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi lebih layak berbicara mengenai ini.

*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.