tirto.id - Kementerian Keuangan mencatat pendapatan negara sampai akhir Mei 2024 tumbuh -7,1 persen. Anjloknya kinerja Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) selama bulan itu diakibatkan oleh penerimaan pajak yang mengalami kontraksi 8,4 persen.
Selain itu, dari sisi Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) juga turun hingga 3,3 persen dan pendapatan negara dari kepabeanan dan cukai mengalami kontraksi 7,8 persen.
“APBN 2024 tidak terlepas dari kinerja ini dari lingkungan global yang berubah sangat besar, ada dari sisi harga minyak, yield (imbal hasil surat berharga negara), exchange rate (nilai tukar),” kata Menteri Keuangan, Sri Mulyani, di Jakarta, Senin (24/6/2024).
Ketidakpastian global yang sedang terjadi ini lantas berdampak pada kinerja perusahaan yang utamanya bergerak di sektor sumber daya alam, baik produsen komoditas seperti minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) ataupun hasil tambang. Dengan kinerja negatif ini, APBN Mei 2024 mencatatkan defisit sebesar Rp21,8 triliun atau sebesar 0,1 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Untuk diketahui, dalam catatan Kementerian Keuangan, defisit terjadi karena pada Mei 2024 belanja negara mencapai Rp1.145,3 triliun. Di sisi lain, pendapatan negara pada periode yang sama hanya terkumpul senilai Rp1.123,5 triliun.
“Overall balance kita sudah mengalami defisit Rp21,8 triliun atau 0,1 persen (dari PDB),” ujar Bendahara Negara.
Meski defisit, APBN dinilai masih cukup sehat. Apalagi, dalam Undang-Undang APBN 2024, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sepakat defisit didesain sebesar 2,29 persen dari PDB.
“Di mana postur 2024 defisitnya adalah 2,29 persen dari GDP (Gross Domestic Bruto), jadi kalau sekarang masih 0,1 persen ini kita masih relatif on track, dengan total overall balance tahun ini yang menurut UU APBN 2024 didesain dengan defisit 2,29 persen,” kata Sri Mulyani.
Dengan kinerja APBN 2024 ini, Kementerian Keuangan bersama Kementerian/Lembaga, serta pemerintah daerah berupaya menjaga prioritas pembangunan dan pertumbuhan ekonomi dari sisi Transfer ke Daerah (TKD).
Selain itu, penyesuaian-penyesuaian belanja negara terus dilakukan untuk menjaga agar APBN tidak menjadi sumber kerentanan pertumbuhan ekonomi Indonesia.
“Dalam hal ini, bulan ini primary balance [keseimbangan primer] kita masih surplus Rp184,2 triliun, ini masih sangat tinggi surplus dari primary balance,” ungkap Sri Mulyani.
Sementara itu, pendapatan negara yang sebesar Rp Rp1.123,5 triliun terdiri dari realisasi penerimaan pajak yang sebesar Rp869,5 triliun, penerimaan negara dari PNBP senilai Rp251,4 triliun dan pendapatan dari kepabeanan dan cukai Rp109,1 triliun. Pada saat yang sama, belanja negara hingga akhir Mei 2024 terdiri dari belanja pemerintah pusat senilai Rp824,3 triliun dan TKD sebesar Rp321 triliun.
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Intan Umbari Prihatin