tirto.id - 27 Maret 2015, hampir dua tahun lalu, Indonesia dikejutkan dengan kematian Olga Syahputra, salah satu komedian paling besar yang pernah dipunyai negeri ini. Meski sempat absen setahun lebih dari layar kaca dan diketahui diserang penyakit misterius, kepergian Olga tetap membuat satu negeri terkejut dan berkabung berminggu-minggu. Setidaknya, kabar itu terus menjadi kepala berita di sejumlah media sampai sepekan lebih.
Banyak spekulasi tentang sakit Olga, sebab tak pernah ada kabar resmi yang menyebutkan nama penyakitnya. Orang-orang cuma tahu suhu tubuh Olga tak teratur, membuatnya sering demam tinggi dan kelelahan. Olga juga sering diserang pusing mahadahsyat yang membuatnya nangis histeris. Setelah kabar kematiannya berhembus, barulah sebuah nama penyakit disebut-sebut jadi penyebab kepergian komedian berusia 32 tahun itu. Namanya meningitis.
Bagi sebagian orang Indonesia, penyakit ini bisa jadi asing di kuping. Ketimbang malaria, demam berdarah, dan jenis penyakit tropis lainnya, meningitis memang tak begitu populer di sini. Tapi, sebagai jenis penyakit infeksi, meningitis adalah satu di antara penyakit infeksi saraf paling mematikan yang sering jadi ancaman bagi negeri maju maupun berkembang, seperti Indonesia.
Sekitar 1,2 juta kasus meningitis bakteri terjadi setiap tahunnya di dunia, dengan tingkat kematian mencapai 135.000 jiwa. Wabah meningitis terbesar dalam sejarah dunia dicatat WHO terjadi pada 1996–1997 yang menyebabkan lebih dari 250.000 kasus dan 25.000 kematian. Epidemi terparah pernah menimpa Afrika bagian Sahara dan sekitarnya selama satu abad. Angkanya sampai 100 hingga 800 kasus pada 100 ribu orang.
Di Indonesia sendiri, menurut data Kementerian Kesehatan Indonesia, pada 2010 jumlah kasus meningitis terjadi pada laki-laki mencapai 12.010 pasien, pada wanita sekitar 7.371 pasien, dan dilaporkan pasien yang meninggal dunia sebesar 1.025.
Di RSUD Dr. Soetomo pada 2010 terdapat 40 pasien didiagnosis meningitis. Sebanyak 60 persen laki-laki dan 40 persen wanita. Dari angka itu, dilaporkan 7 pasien meninggal dunia. Pada tahun 2011, dilaporkan ada 36 pasien didiagnosis meningitis. Sekitar 67 persenpasien laki-laki dan sekitar 33 persen wanita. Sebelas di antaranya meninggal dunia.
Jelas, angka ini menunjukkan bahwa penyebaran pasien yang didiagnosis meningitis tiap tahunnya hampir merata. Melihat adanya risiko kematian yang kerap belum bisa terprediksi menunjukkan betapa kritikalnya penanganan yang dibutuhkan pasien penyakit ini.
Gejala dan Penyebab
Lantas apa sebenarnya meningitis? Apa saja gara-gara yang bisa mengundangnya datang?
Secara sederhana, meningitis adalah peradangan pada membran yang menyelubungi otak dan sumsum tulang belakang. Secara biologi, membran ini disebut meningen. Peradangan ini disebabkan oleh infeksi dari virus, bakteri, mikroorganisme, atau dalam kasus yang jarang terjadi disebabkan konsumsi tak sehat obat tertentu.
Menurut studi yang dirilis The New England Journal of Medicine, gejala umum yang terjadi pada penderita meningitis adalah sakit kepala, leher kaku disertai demam, kebingungan atau perubahan kesadaran, muntah, fotofobia atau meningkatnya kepekaan terhadap cahaya, dan fonofobia alias kepekaan terhadap suara yang juga meningkat.
Namun, dari 696 kasus yang mereka teliti, ditemukan tiga gejala yang pasti akan muncul pada penderita meningitis—sesuatu yang pasti terjadi, yang bisa dijadikan indikator pendeteksi dini. Di antaranya adalah demam tinggi tiba-tiba, kuduk yang kaku, dan perubahan mental mendadak. Ketiganya terjadi pada 44 hingga 46 persen penderita meningitis yang disebabkan bakteri. Namun, sekitar 95 persen pasien pasti merasakan dua di antaranya.
Gejala kuduk yang kaku dialami hingga 70 persen pasien dewasa, termasuk Olga Syahputra. Sakit kepala mahadahsyat yang menyerang tiba-tiba itu menjalar dari ubun-ubun hingga ke belakang tengkuk leher, sehingga membuat penderitanya menegakkan leher dan menekuknya di kuduk.
Pada anak-anak gejala-gejala di atas sering kali luput. Biasanya mereka hanya jadi lebih rewel dan mengeluh sakit kepala. Ciri lain yang mungkin muncul adalah ruam merah pada kulit.
Meski tak seperti selesma atau flu, meningitis juga dapat menular. Biasanya dari ciuman, bersin atau batuk, tetapi tidak bisa disebarkan hanya dengan menghirup udara yang sama dengan penderita meningitis.
Dalam penelitian itu disebutkan bahwa risiko kematian meningitis yang disebabkan bakteri sangat tinggi, bergantung pada usia penderita dan penyebab. Sementara itu, meningitis yang disebabkan virus cenderung bisa sembuh sendiri dan jarang berdampak fatal.
Pada bayi prematur dan anak baru lahir berusia hingga tiga bulan, 20 hingga 30 persen mungkin meninggal jika sudah terkena meningitis bakterial. Menurut WHO, meningitis bahkan termasuk ke dalam lima penyakit paling mematikan untuk anak-anak baru lahir di dunia. Risiko kematian ini turun sedikit untuk anak-anak berusia di atas tiga tahun hingga 16 tahun, hingga 2 persen, tapi kembali naik sampai 19 hingga 37 persen jika terjadi pada orang dewasa. Sekitar 80 persen kasus pada umur ini disebabkan oleh bakteri Neisseria meningitides dan Streptococcus pneumonia.
Karena salah satu penyebabnya adalah virus, salah satu cara mencegah terkena penyakit ini adalah dengan vaksinasi. Sejak 1980-an, anak-anak di dunia mulai diberi imunisasi terhadap virus Haemophilus influenzae tipe b, satu dari sekian penyebab meningitis. Vaksin ini juga diberikan pada calon jemaah haji, mengingat meningitis dapat menular cepat di tempat orang-orang tinggal bersama seperti asrama, atau barak.
Cara lain adalah pemberian antibiotik, untuk kasus meningitis yang disebabkan bakteri. Pemberian ini bisa dilakukan meski kondisi pasien belum dipastikan hasil laboratorium. Sebab, meningitis bakterial bisa bereaksi cepat dan berakibat fatal.
Yang Suka Babi, Hati-hati!
Setelah dipopulerkan oleh kematian Olga Syahputra, kabar meningitis di Indonesia tak pernah meluap ke permukaan lagi. Setidaknya sampai pertengahan Maret ini, ketika anjuran hati-hati pada penyakit infeksi tersebut kembali digaungkan. Pemerintah Kabupaten Buleleng Bali melalui Dinas Kesehatannya menemukan 13 kasus yang diduga Meningitis streptococcus suis (MSS) alias meningitis babi yang menjangkiti warganya.
Meningitis babi sendiri adalah jenis meningitis yang ditularkan babi kepada manusia, melalui mikroorganisme yang hidup dalam dagingnya. Penularan ini baru bisa terjadi jika daging babi tersebut tidak dimasak matang.
Wakil Bupati Buleleng I Nyoman Sujira mengatakan, pemerintah daerah Bali langsung bertindak cepat mencegah penyebaran penyakit ini secara lebih luas. Pihaknya langsung menginstruksikan dinas terkait untuk melakukan sosialisasi pencegahan MSS kepada warga lokal. Sikap ini dilakukan karena wabah meningitis sudah pernah menyerang Bali sebelumnya.
“Kami segera bergerak cepat karena kasus meningitis babi pernah terjadi di wilayah Desa Bukti Kecamatan Kubutambahan,” kata Sutjidra, seperti dikutip Antara.
Secara keseluruhan, meningitis adalah salah satu penyakit berbahaya yang risiko kematiannya cukup tinggi. Bahkan pasien-pasien yang sembuh belum tentu tidak terdampak efek lainnya. Ada potensi cacat seperti tuli, epilepsi, dan gangguan kecerdasan yang akan menimpa pasien yang sembuh.
Pada anak-anak, setidaknya hal tersebut terjadi pada sekitar 15 persen pasien yang sembuh. Sementara 14 persen kemungkinan orang dewasa tuli, dan 10 persen mengalami gangguan kognitif.
Penulis: Aulia Adam
Editor: Maulida Sri Handayani