Menuju konten utama

Menimbang Relaksasi Ekspor Nikel

Wacana relaksasi ekspor bijih nikel memunculkan tanggapan beragam. Tak sedikit yang menilai pemerintah tidak konsisten menjalankan UU Minerba. Pemerintah masih mengkaji lebih detail terkait jenis mineral yang akan mendapat relaksasi ekspor. Publik hanya bisa berharap pemerintah komitmen pada prinsip nilai tambah pengelolaan mineral ini.

Menimbang Relaksasi Ekspor Nikel
Gunung Panorama tampak gundul pasca menjadi tambang nikel PT. Mulia Pasific Resources (MPR) di Kolonodale, Morowali Utara, Sulawesi Tengah, Jumat (18/3). ANTARA FOTO/Fiqman Sunandar.

tirto.id - Saat pemerintah memutuskan melarang ekspor bijih mineral mentah (ore) pada 11 Januari 2014, tak sedikit yang menentangnya. Mereka yang keberatan menilai penerapan larangan ekspor total bijih mineral akan mematikan bisnis pertambangan dan industri.

Anggapan tersebut cukup masuk akal mengingat potensi mineral yang dimiliki negeri ini cukup besar, seperti nikel. Dalam laporan “Analisis Dampak Kebijakan Pelarangan Ekspor Raw Material Tambang dan Mineral” yang diterbitkan Kementerian Perdagangan disebutkan, sumber daya nikel Indonesia pada 2011 sebesar 2.633 juta ton bijih dengan potensi cadangan mencapai 577 juta ton bijih.

Jumlah tersebut lebih besar dari komoditas mineral lain, seperti bauksit yang memiliki sumber daya 551 juta ton bijih dan cadangan 180 juta ton bijih. Akan tetapi lebih kecil jika dibandingkan dengan komoditas tembaga. Menurut data itu, sumber daya tembaga yang dimiliki Indonesia mencapai 4.925 juta ton bijih dengan cadangan sebesar 4.161 juta ton biji.

Dalam kurun waktu 2002 hingga 2014 misalnya, jumlah ekspor nikel juga tercatat cukup besar, bahkan Indonesia tercatat sebagai negara yang mengontrol 70 persen pasokan nikel dunia, selain India dan New Caledonia.

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), tahun 2013 merupakan puncak tertinggi jumlah ekspor nikel Indonesia yang mencapai 64.802.857 ton atau sebesar 1.685.247 dolar AS. Merujuk pada data ini, terdapat enam negara utama yang menjadi tujuan ekspor nikel Indonesia, antara lain Jepang, Cina, Australia, Swiss, Yunani, dan Ukraina.

Dari keenam negara tujuan ekspor tersebut, Jepang dan Cina tercatat sebagai negara yang mendapat pasokan nikel paling besar. Hal tersebut dapat dilihat dari data ekspor nikel kurun waktu 2010-2014, di mana Cina tercatat mendapat pasokan nikel sebanyak 58.605.651 ton pada 2013, sedangkan Jepang mendapat pasokan 1.979.405 ton pada tahun yang sama.

Mencari Nilai Tambah

Meski mendapat banyak protes, Pemerintah tetap konsisten akan menjalankan amanat Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Minerba yang melarang ekspor ore. Apalagi mineral termasuk sumber daya alam yang tidak terbarukan (non renewable) yang suatu saat akan habis.

Hal tersebut mendorong pemerintah untuk memberikan nilai lebih bagi perekonomian nasional dengan cara melakukan hilirisasi. Larangan ekspor mineral mentah semata-mata bukan untuk mematikan bisnis pertambangan, melainkan bertujuan untuk meningkatkan nilai tambah produk mineral dengan cara melakukan pemurnian di dalam negeri. Kebijakan ini juga memaksa perusahaan tambang untuk membangun smelter.

Langkah pemerintah ini didukung penuh oleh Komisi VII DPR yang membidangi pertambangan dan energi. Artinya, kebijakan pemerintah melarang ekspor mineral mentah, selain diperkuat regulasi, juga didukung kekuatan politik di parlemen.

Karena itu, tak ada alasan bagi pemerintah berkompromi dengan pihak-pihak yang keberatan dengan proses hilirisasi yang dicanangkan pemerintah. Pemerintah senantiasa terus melakukan upaya-upaya untuk mendorong para pelaku usaha agar terus berbenah diri dan melakukan terobosan sehingga dapat mendongkrak nilai tambah yang dapat menyejahterakan rakyat dan menentukan bagi perdagangan tambang dan mineral dunia.

Pemerintah juga menyadari, pada tahap awal keputusan tersebut akan menimbulkan gejolak, bahkan tak sedikit perusahaan tambang yang kelabakan. Namun, pemerintah juga meyakini bahwa keputusan melarang ekspor ore dan mendorong perusahaan tambang membangun smelter merupakan langkah terbaik untuk kepentingan jangka panjang.

“Lima tahun sejak 2009, ekspor mineral harus dikendalikan dan harus membuat smelter. Tujuan dari undang-undang itu sangat mulia agar mineral mentah jangan diekspor, yang dulu awal-awal jadi Menteri ESDM, saya katakan jangan mengekspor tanah air,” kata Jero Wacik, pada Desember 2013 saat menjabat sebagai Menteri ESDM, seperti dikutip laman resmi kementerian.

Desakan Relaksasi Ekspor

Tiga tahun sudah berlalu sejak pemerintah melarang ekspor mineral mentah pada 11 Januari 2014 lalu. Tak sedikit yang mendesak pemerintah memberikan kelonggaran atau relaksasi ekspor, terutama untuk komoditas nikel dengan kadar rendah di bawah 1,8 persen.

Pemerintah bahkan memberikan angin segar bagi para pengusaha nikel dalam rencana revisi PP Nomor 1 tahun 2014 tentang Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. September lalu, saat masih menjabat sebagai Plt Menteri ESDM, Luhut Binsar Pandjaitan mewacanakan relaksasi ekspor mineral ini. Pemerintah akan memberikan kelonggaran atau relaksasi bagi perusahaan-perusahaan yang berkomitmen membangun smelter.

Wacana tersebut mendapat respons beragam. Direktur Utama PT Antam, Tedy Badrujaman mendukung rencana tersebut. Menurut dia, rencana relaksasi ekspor (mengizinkan kembali) mineral secara terbatas yang digagas pemerintah melalui Kementerian ESDM untuk mengoptimalkan nilai tambah hilirisasi bijih mineral.

“Jika ekspor bijih mineral kembali diberlakukan, maka Antam sebagai BUMN pengelola sumber daya mineral, siap mengekspor bijih nikel antara 15-20 juta ton pada tahun 2017,” ujarnya, September lalu seperti dikutip Antara.

Menurut Tedy, bijih nikel merupakan produk tambang yang memiliki nilai tinggi di luar negeri sehingga jika diekspor akan menjadi tambahan pemasukan bagi negara dan pendanaan bagi proyek pertumbuhan pendapatan.

Namun, rencana tersebut ditolak keras oleh perusahaan pengolahan dan pemurnian mineral atau smelter yang tergabung dalam Asosiasi Perusahaan Industri Pengolahan dan Pemurnian Indonesia (AP3I).

Ketua Umum AP3I, Prihadi Santoso mengatakan, rencana tersebut menunjukkan ketidakkonsistenan pemerintah menjalankan undang-undang. “Pemerintah bisa dianggap tidak konsisten dengan aturan yang dibuatnya sendiri,” ujarnya seperti dikutip Antara.

Sementara itu, Wakil Ketua AP3I, Jonatan Handojo menyatakan, bijih nikel kadar rendah sebenarnya dapat terserap di fasilitas smelter dan masih ekonomis di dalam negeri. “Kadar 1,2 persen juga masih bisa diproses di dalam negeri, apalagi yang 1,8 persen,” ujarnya pada Kontan, awal Oktober lalu.

Ia menduga, relaksasi ekspor bijih nikel kadar rendah lantaran desakan dari smelter di Jepang yang tidak mendapat pasokan bijih nikel dari Filipina. Ketiga smelter itu yakni Hyuga Sumitomo, Pamco dan Nippon Steel.

Ketiga smelter nikel di Jepang itu tidak memperoleh suplai dari Filipina akibat 20 tambang nikel ditutup oleh pemerintah setempat. Adapun mereka mendesak pemerintah Indonesia dan Antam untuk suplai nikel ore kadar kurang dari 1,8 persen ke Jepang karena jenis nikel ini persis seperti yang mereka dapatkan dari Filipina.

Dalam konteks ini, ekspor nikel kadar rendah hanya menguntungkan Antam, tapi merugikan investor lokal lainnya. Karena itu, Jonatan meminta pemerintah memikirkan investor nikel lain yang sudah berhasil membangun smelter di dalam negeri, guna mendukung program hilirisasi mineral.

Menguji Konsistensi Pemerintah

Pemerintah memang sempat mewacanakan relaksasi ekspor mineral mentah bagi perusahaan yang sudah berkomitmen membangun smelter, namun hal tersebut masih dikaji. Artinya, pemerintah masih menampung masukan dari berbagai pihak, baik kelompok yang setuju relaksasi maupun yang menolaknya.

Karena itu, sangat wajar ketika dalam kurun waktu September hingga Oktober saja, pernyataan Luhut terkait relaksasi ekspor mineral mentah selalu berubah. Misalnya, pada September lalu, ia mewacanakan kemungkinan pemerintah memberikan relaksasi ekspor mineral, termasuk nikel dengan kadar tertentu, namun pada 12 Oktober, ia justru memastikan kalau nikel dan bauksit tidak akan mendapat realisasi ekspor dalam revisi PP No. 1 tahun 2014.

Luhut mengatakan, harus ada kajian lebih lanjut untuk benar-benar memutuskan hal tersebut. “Jadi ini hampir ya, belum diputuskan, hampir pasti kita tidak akan memberikan relaksasi untuk nikel dan bauksit. Hampir pasti, karena saya ingin ada studi lagi,” ujarnya, Rabu (12/10/2016) malam, seperti dikutip Antara.

Menurut Luhut, berdasarkan kajian sementara item per item, ditemukan bahwa Indonesia memegang hampir 50 persen pangsa pasar nikel dunia. Indonesia, Filipina dan New Caledonia bahkan diklaim mengontrol 70 persen pasokan nikel dunia.

Saat ini, hasil pengolahan nikel di Tanah Air yang sudah sampai pada produk turunan seperti "stainless steel" pun sudah dapat diekspor ke luar negeri.

Selain itu, pemerintah juga mencatat, setidaknya ada sekitar 22 perusahaan telah melakukan hilirisasi nikel baik dalam bentuk smelter besar dan kecil. Karena itu, pihaknya masih akan melakukan kajian yang lebih detail terkait jenis mineral yang akan mendapat relaksasi ekspor.

Apapun hasil kajian pemerintah, publik hanya bisa berharap pemerintah konsisten dengan UU Minerba dan komitmen pada prinsip nilai tambah bagi perekonomian nasional terkait pengelolaan pertambangan dan mineral ini.

Baca juga artikel terkait RELAKSASI EKSPOR atau tulisan lainnya dari Abdul Aziz

tirto.id - Bisnis
Reporter: Abdul Aziz
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti