tirto.id - Anies Baswedan dan Sandiaga Uno terlihat kompak mendatangi kantor Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Kamis (29/9/2016). Kedatangan Anies ke Jalan Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan tersebut mendampingi Sandiaga menyerahkan Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN).
“Kedatangan saya untuk mengantar Mas Sandi menyerahkan LHKPN, sedangkan saya waktu menjabat sebagai menteri sudah melaporkan jadi sudah selesai,” kata Anies seperti dikutip Antara.
Namun, Pelaksana Harian Kepala Biro Humas KPK, Yuyuk Andriati Iskak mengingatkan, sebagai calon kepala daerah Anies harus tetap melaporkan kembali harta kekayaannya. Peringatan ini juga berlaku bagi cagub-cawagub yang lain, seperti calon petahana Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat, serta pasangan Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni.
Penyerahan LHKPN ke KPK dan laporan dana kampanye ke KPU merupakan salah satu syarat wajib bagi calon kepala daerah. Untuk mempermudah proses ini, komisi antirasuah pun membuka loket khusus penerimaan LHKPN untuk pasangan bakal calon kepala daerah peserta pilkada 2017, sejak 21 September hingga 3 Oktober 2016. Loket khusus ini diharapkan bisa mempermudah para bakal calon untuk mendaftarkan LHKPN-nya.
Ketua KPK, Agus Rahardjo mengatakan, laporan LHKPN para bakal calon kepala daerah ini terbuka untuk umum. Tujuannya agar masyarakat bisa ikut memantau proses pilkada sehingga bisa terwujud pilkada yang berintegritas. Ia meyakini, pilkada yang berintegritas akan melahirkan pemimpin yang bersih, amanah dan bebas dari korupsi sehingga bisa memberikan kesejahteraan bagi masyarakat di daerah.
Ajakan KPK agar masyarakat berpartisipasi melakukan pengawasan sebagai bentuk pencegahan potensi korupsi kepala daerah yang selama ini cukup marak. Sebagai contoh, data yang dilansir KPK per 30 Juni 2016, di laman acch.kpk.go.id menunjukkan, setidaknya dalam kurun waktu 2004-2016 ada 65 kepala daerah korup yang ditangani KPK.
Data tersebut juga menunjukkan bahwa jenis perkara yang ditangani komisi antirasuah paling banyak adalah kasus suap. Dari 514 jenis perkara yang ditangani KPK, 262 di antaranya soal suap. Sementara di urutan kedua adalah pengadaan barang atau jasa dengan jumlah 148 perkara, perijinan 19 perkara, pungutan 21 perkara, penyalahgunaan anggaran 44 perkara, merintangi proses KPK 5 perkara, serta TPPU tercatat 15 perkara.
Hal tersebut menunjukkan bahwa maraknya suap menjadi motif utama dalam praktik korupsi secara umum, tentu juga berlaku dalam kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah ini. Mengapa? Karena para pemimpin daerah memiliki kewenangan yang cukup besar terkait penggunaan anggaran daerah.
Karena itu, KPK mengimbau kepada para pasangan calon kepala daerah yang belum mengisi LHKPN, untuk segera melaporkan harta kekayaannya. Pelaporan harta ini merupakan salah satu upaya menjaga transparansi dan kejujuran setiap orang yang ingin menduduki jabatan publik.
Dalam laporan LHKPN ini, para calon kepala daerah tidak ada kewajiban untuk melaporkan asal usul harta kekayaannya. Meskipun seorang calon kepala daerah tersebut memiliki banyak harta, mereka tak memiliki keharusan untuk menjelaskan asal muasalnya, karena yang diwajibkan sebagai salah satu syarat hanyalah mengumumkan apa saja harta yang dimiliki saat itu.
Hal tersebut juga berlaku bagi para kandidat yang akan bertarung dalam Pilkada DKI Jakarta, Februari tahun depan. Dalam konteks ini, terdapat tiga calon pasangan yang akan berlaga, yaitu Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat, Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni, serta Anies Baswedan-Sandiaga Uno.
Dari enam calon cagub-cawagub ini, hanya Sandiaga dan Agus yang sebelumnya bukan pejabat publik sehingga belum pernah melaporkan LHKPN, sementara yang lain sudah pernah melaporkan harta kekayaannya ke KPK. Namun demikian, mereka harus melaporkan ulang harta kekayaannya itu sebagai bagian dari salah satu syarat wajib mencalonkan diri pada pilkada.
Seberapa Kaya Mereka?
Sampai tulisan ini dibuat, kandidat Pilkada DKI yang melaporkan harta kekayaannya baru Sandiaga, sementara calon yang lain belum melaporkan. KPK juga belum mempublikasikan harta kekayaan Sandiaga karena harus melakukan verifikasi terlebih dahulu.
Namun, dari data yang pernah dilansir majalah Forbes, kita bisa mengetahui pundi-pundi kekayaan milik Sandiaga. Harta kekayaan Sandiaga pada tahun 2011 mencapai 660 juta dolar Amerika Serikat atau setara Rp5,98 triliun dengan asumsi 1 dolar sama dengan Rp9.068. Majalah Forbes juga pernah memasukkan Sandiaga di urutan ke-37 orang terkaya Indonesia pada tahun yang sama.
Selasa (27/9/2016) kemarin, Sandiaga juga tercatat sebagai salah satu pengusaha yang ikut menyerahkan Surat Pernyataan Harta (SPH) dalam rangka mengikuti program pengampunan pajak (tax amnesty).Sebelum bergabung dengan Partai Gerindra pada 2015 lalu, Sandi memang dikenal sebagai seorang pengusaha dan pendiri PT Saratoga Investama Sedaya.
Sementara, Anies Baswedan, cagub yang berpasangan dengan Sandiaga ini, memiliki harta kekayaan sebesar Rp3.937.704.484 dan 9.871 dolar Amerika dalam laporan LHKPN 2014. Kekayaan Anies ini naik jika dibandingkan dengan laporan LHKPN pada tahun sebelumnya, yang tercatat Rp2.598.254.236 dan 8.822 dolar Amerika.
Lalu, bagaimana dengan calon yang lain? Dalam laporan LHKPN 2014, calon gubernur petahana, Basuki Tjahaja Purnama tercatat memiliki kekayaan sebesar Rp21.302.079.561 dan 3.749 dolar Amerika. Sementara pasangannya, Djarot Saiful Hidayat memiliki harta Rp1.747.386.828 dan 7.520 dolar Amerika dalam LHKPN tahun 2005.
Sylviana Murni, cawagub yang berpasangan dengan Agus tercatat memiliki kekayaan sebesar Rp6.530.365.285 serta 37.676 dolar Amerika dalam laporan LHKPN tahun 2010. Sementara, Agus Harimurti Yudhoyono belum terlacak karena belum pernah menjabat sebagai pejabat publik.
Aturan Dana Kampanye
Data di atas menunjukkan, Sandiaga tercatat sebagai kandidat paling kaya dibandingkan dengan calon lain yang akan berlaga pada Pilkada DKI 2017 mendatang. Namun, kekayaan tersebut tidak serta merta membuat Sandiaga leluasa menggunakan duitnya untuk kepentingan kampanye.
Mengapa? Pertama, karena semua biaya kampanye harus dilaporkan secara transparan, seperti Laporan Penerimaan dan Pengeluaran Dana Kampanye (LPPDK), dan Laporan Penerimaan Sumbangan Dana Kampanye (LPSDK).
Kedua, adanya ketentuan besaran sumbangan dalam pilkada 2017 mendatang. Misalnya, sumbangan individu tidak boleh lebih dari Rp75 juta, sedangkan sumbangan dari perusahaan dan gabungan partai koalisi maksimal Rp750 juta. Hal ini ditegaskan dalam PKPU No. 13 tahun 2016, Pasal 7 ayat (1), (2), (3) dan (4).
Dalam aturan tersebut, jika sepasang calon menerima sumbangan lebih besar dari ketentuan, maka sisanya harus disumbangkan kepada kas negara. Selain itu, seluruh pemasukan dan pengeluaran dana kampanye bakal dicatat dan diaudit.
Namun, berdasarkan kajian KPK terkait evaluasi pelaksanaan Pilkada 2015 silam, khususnya terkait pelaporan dan pemberian sumbangan dana untuk pilkada masih ditemukan banyak pelanggaran.
Dalam konteks pelaporan misalnya, masih ditemukan adanya pengeluaran aktual pilkada lebih besar dari harta kekayaan pada LHKPN, LPPDK, dan LPSDK. Selain itu, juga ditemukan fakta rendahnya tingkat kepatuhan dan isi laporan yang diindikasikan tidak sesuai dengan kondisi sebenarnya.
Sementara terkait pemberian sumbangan pilkada, KPK masih menemukan fakta adanya potensi benturan kepentingan pada saat menjabat sebagai pimpinan daerah. Misalnya, mayoritas calon menerima sumbangan untuk menutupi kesenjangan antara harta kas dan pengeluaran pilkada, sumbangan yang diterima tidak semua dilaporkan ke dalam LPSDK, dan calon kepala daerah menyadari bahwa terdapat konsekuensi saat menerima sumbangan dana kampanye tersebut.
Karena itu, untuk menciptakan pilkada yang berintegritas, para kandidat wajib melaporkan harta kekayaannya ke KPK. Mereka juga selayaknya menaati segala peraturan yang telah termaktub dalam UU Pilkada maupun PKPU, khusunya terkait transparansi pendanaan pilkada.
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti