Menuju konten utama
Periksa Fakta

Menilik Dampak Berlipat Pandemi COVID-19 bagi Orang dengan HIV

Orang yang hidup dengan HIV mengalami dampak pandemi berkali lipat beratnya.

Menilik Dampak Berlipat Pandemi COVID-19 bagi Orang dengan HIV
Header Verifikasi Fakta. tirto.id/Quita

tirto.id - Pandemi COVID-19 yang telah berlangsung selama lebih dari dua tahun telah berdampak pada semua orang. Namun, dampak yang dirasakan kelompok rentan, seperti orang yang hidup dengan HIV, berkali lipat beratnya.

Di Indonesia, diperkirakan ada 540 ribu orang yang hidup dengan HIV per tahun 2020 menurut estimasi dari Global AIDS Monitoring oleh Joint United Nations Programme on HIV/AIDS (UNAIDS). Mereka kerap menghadapi stigma dan diskriminasi dari masyarakat sejak sebelum pandemi.

Kelompok ini juga bisa sangat rentan terhadap penularan COVID-19 karena kondisi imunosupresi, yakni melemahnya sistem kekebalan tubuh yang menyebabkan penurunan kemampuan untuk melawan infeksi dan penyakit, terutama bagi yang tidak mendapatkan pengobatan Antiretroviral (ARV).

Menurut laporan World Health Organization (WHO), berdasarkan data clinical surveillance 37 negara, berkembangnya tingkat keparahan COVID-19 hingga menjadi lebih fatal adalah 30 persen lebih tinggi bagi orang yang hidup dengan HIV dibanding orang tanpa infeksi HIV.

Kemudian, salah satu masalah yang dialami orang dengan HIV selama pandemi ini adalah pelayanan kesehatan yang terhenti hingga krisis stok obat ARV, seperti ditemukan laporan Tirto pada Juli 2021.

Hal ini karena adanya re-focusing layanan dan sumber daya untuk memberikan prioritas pada penderita COVID-19 dan gangguan rantai pasok sumber bahan baku obat ARV, terutama pada tahun 2020. Padahal, pemberian ARV pada stadium awal HIV akan menghindari kemungkinan PLHIV untuk masuk dalam fase AIDS. Untuk membantu menyelesaikan masalah pasokan ini, WHO dan pemerintah RI menjembatani komunikasi dengan para penyedia logistik di dalam negeri untuk mengupayakan pengiriman bahan baku obat.

Survei dari UNAIDS dan Jaringan Indonesia Positif (JIP) terhadap 1.035 responden pada Agustus 2020 menemukan bahwa sebanyak 11 persen responden hanya menerima sebagian obat ARV, 9 persen diberikan obat regimen baru, 1 persen tidak bisa mendapat obat, dan 4 persen belum mengakses ARV sejak awal pandemi.

Lebih jauh, menurut laporan Global AIDS Update UNAIDS 2021, jumlah orang yang menginisiasi pengobatan ARV selama pandemi berkurang sebanyak 43 persen dan mencapai puncaknya pada bulan Mei 2020. Namun berdasarkan laporan Kementerian Kesehatan triwulan I-IV pada tahun 2020, pada akhir tahun 2020, jumlah orang yang mengakses pengobatan antiretroviral di Indonesia mendekati kondisi seperti sebelum pandemi.

Terkait obat ARV, anggota JIP Timotius Hadi menyatakan bahwa di Jakarta tidak terlalu banyak masalah pelayanan yang muncul selama masa pandemi. Namun, pada beberapa daerah lain dampak dari pandemi ini sangatlah terasa. Bahkan menurutnya, selama beberapa bulan di tahun 2020, sempat terjadi kekosongan ARV.

“Kalau di Jakarta enaknya bisa di multi month, resepnya dibikin dua bulan. Jadi satu kali datang bisa mendapatkan dua bulan. Tapi untuk teman-teman di daerah itu kesulitan,” jelas Hadi (9/7/2020) seperti dinukil dari situs resmi Satgas COVID-19 Indonesia.

WHO sendiri merekomendasikan pemberian ARV lebih dari satu bulan atau yang disebut dengan multi- month dispensing (MMD) pada pasien yang memenuhi persyaratan tertentu, misalnya pasien telah stabil yang ditunjukkan dengan hasil pemeriksaan viral load dan terbukti patuh minum obat. Pemerintah juga menerbitkan surat edaran yang isinya mencakup penerapan MMD ini selama pandemi.

Selain itu, laporan Tirto menunjukkan layanan mobile tes HIV gratis juga terhenti saat pandemi. Layanan ini merupakan program penemuan kasus HIV yang dilakukan pada daerah hot spot tempat berkumpulnya populasi kunci atau kelompok berisiko. Pada layanan tersebut dilakukan pemberian informasi tentang manfaat tes HIV diikuti pengambilan sampel darah pada kelompok berisiko jika mereka setuju untuk dilakukan tes HIV. Terhentinya layanan ini berpotensi membuka celah kasus infeksi HIV baru tidak terdeteksi.

Gangguan layanan kesehatan akibat pandemi COVID-19 juga dikhawatirkan dapat menghambat upaya pengendalian HIV bagi anak-anak dan perempuan hamil yang telah diusahakan selama satu dekade terakhir, menurut UNICEF pada Juli 2020. Secara global, sebanyak 4,2 juta anak, remaja, dan perempuan hamil yang hidup dengan HIV memerlukan akses ke pengobatan tanpa gangguan.

Selain itu, orang yang hidup dengan HIV juga mungkin merasa rentan dan segan untuk beraktivitas di luar rumah, dengan ketakutan bahwa status HIV mereka meningkatkan risiko terkena COVID-19. Ini mungkin berdampak pada hambatan untuk bekerja dan memenuhi kebutuhan sehari-hari. Karena itu, orang yang hidup dengan HIV dapat dikategorikan sebagai salah satu populasi rentan sosial ekonomi.

Masalah ini dibahas dalam laporan JIP, mitra UNFPA, pada Februari 2022 berjudul “Report Study of People Living with HIV Response During COVID-19 Pandemic”. Dari kuesioner daring pada 1.026 responden, wawancara mendalam dengan 20 orang, dan focus group discussion dengan 85 orang, ditemukan bahwa 34 persen orang dengan HIV kehilangan pekerjaan pada saat pandemi. Di saat yang sama, pengeluaran mereka juga bertambah karena harus memenuhi kebutuhan kesehatan yang meningkat seperti membeli masker, handsanitizer, serta vitamin.

Hasilnya, 73 persen responden yang bekerja (386 orang) mengalami penurunan pendapatan. Lalu, dari 136 responden yang tidak bekerja, 82 persen kehilangan pekerjaan setelah pandemi. Dari seluruh responden, 49 persen juga mengalami peningkatan utang.

Laporan ini juga memaparkan bahwa skema perlindungan sosial sangat penting dalam mengurangi dampak sosial ekonomi yang dirasakan oleh orang yang hidup dengan HIV dan kelompok populasi kunci di Indonesia.

Namun, dalam laporan ini, ditemukan adanya distribusi yang tidak merata dari skema perlindungan sosial yang diterima oleh orang yang hidup dengan HIV dan kelompok populasi kunci. Hanya kurang dari setengah responden yang tidak bekerja yang menerima bantuan sosial dari pemerintah. Senada, survei JIP dan UNAIDS terhadap 1.035 orang yang hidup dengan HIV juga menyatakan bahwa 54 persen responden tidak menerima paket bantuan sosial.

Kondisi ini tentunya memengaruhi mental orang yang hidup dengan HIV. Berdasarkan survei JIP dan UNAIDS, 41 persen responden menyatakan mengalami kecemasan yang sangat berat, terutama soal kesehatan mereka sendiri dan anggota keluarga. Adapula yang kecemasannya disebabkan oleh disabilitas fisik dan mental. Sekitar setengah responden juga menyatakan kekhawatirannya meningkat sejak awal pandemi.

Untuk melindungi kelompok rentan dan memastikan bahwa tidak ada seorang pun yang tertinggal dalam respon COVID-19, UNFPA dan pemerintah Jepang, bekerja sama dengan pemerintah Indonesia dan organisasi-organisasi masyarakat sipil, menjalankan program Leaving No One Behind (LNOB): COVID-19 Response for Vulnerable Women and Older Person in Indonesia. Program ini memastikan akses yang berkelanjutan dan setara terhadap layanan-layanan kesehatan seksual dan reproduksi bagi kelompok rentan seperti perempuan hamil, penyintas kekerasan berbasis gender, orang yang hidup dengan HIV, orang lanjut usia (lansia), dan penyandang disabilitas.

Selain itu, UNAIDS juga bekerja sama dengan ILO, United Nations Development Program (UNDP), dan the Office of the United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) untuk meluncurkan program pada Maret 2021 lalu, yang bertujuan untuk memberdayakan secara ekonomi dan melindungi kelompok rentan, seperti perempuan dan orang yang hidup dengan HIV, dari dampak pandemi.

Proyek yang berjalan selama satu tahun ini memberikan pelatihan kewirausahaan dan memfasilitasi akses pengembangan keterampilan bagi kelompok rentan sejumlah sekitar 3.650 orang.

Dengan dampak berlapis bagi kelompok yang hidup dengan HIV, berbagai institusi merekomendasikan orang yang hidup dengan HIV sebagai salah satu prioritas kelompok rentan yang kebutuhannya harus diprioritaskan dalam respon pandemi COVID-19, termasuk dengan menjamin ketersediaan ARV. Karena kelompok ini juga rentan secara sosial ekonomi, distribusi bantuan sosial pemerintah harus menjangkau kelompok ini dengan merata. Kita tidak bisa membiarkan orang dengan HIV menanggung beban stigma dan diskriminasi yang bertambah sebagai akibat dari pandemi COVID-19.

Baca juga artikel terkait PERIKSA FAKTA atau tulisan lainnya dari Irma Garnesia

tirto.id - Kesehatan
Penulis: Irma Garnesia
Editor: Farida Susanty