tirto.id - Sejak Netflix bersinar melalui berbagai konten orisinil seperti Stranger Things, dunia layanan film streaming makin cerah. Pada 2018 lalu, publik Amerika Serikat disebut-sebut lebih suka menikmati film di rumah alih-alih di bioskop.
Pendapatan yang dapat diraup para pemain streaming diperkirakan mencapai $24,7 miliar pada 2019 ini. Saban tahun, peningkatan pendapatannya diprediksi berada di angka 3,2 persen.
Sayangnya, untuk dinikmati pecinta film, Netflix tak murah. Perlu uang Rp109 ribu per bulan untuk mengaksesnya. Karena persoalan lisensi, konten-konten di dalamnya pun tak komplit. Untuk menikmati Game of Thrones, misalnya, penikmat film harus pula berlangganan HBO+ (perlu biaya $14,99 per bulan). Untuk dapat mengikuti The Man in High Castle, orang harus merogoh kocek untuk membayar Amazon Prime ($5,99 per bulan). Dan karena Disney memutuskan akan menarik lisensi konten-kontennya yang tersebar di berbagai layanan streaming ke Disney+ kelak, menikmati berbagai film dan serial di rumah pun akan makin memberatkan keuangan.
Solusi terbaiknya adalah mempersetankan legalitas. Misalnya lewat IndoXXI yang populer di Indonesia. Namun, untuk menikmati konten ilegal dengan nuansa Netflix, pilihan terbaik adalah Popcorn Time.
Dalam surat petinggi Netflix yang bocor ke publik pada 2015 silam, Netflix menyebut bahwa Popcorn Time adalah saingan utamanya, bukan Amazon Prime atau Hulu.
Popcorn Time, yang dijuluki “Netflix bagi pembajak” oleh The Verge, merupakan layanan yang memadukan ketersediaan film-film di jaringan Torrent dengan aplikasi khusus pada PC atau ponsel pintar. Karena ia bekerja dengan mengambil film dari Torrent, semua judul yang ada di Popcorn Time ilegal.
Popcorn Time diciptakan oleh sekelompok programer asal Buenos Aires, Argentina, pada awal 2015. Para pencipta memutuskan “Pochoclin” sebagai maskot utama.
Popcorn Time populer karena kemudahan penyajian kontennya. Menikmati film via Torrent secara konvensional tak terhitung mudah. Aplikasi pengunduh Torrent harus dipasang. Lalu, mencari link magnet, link yang menuju konten yang hendak dinikmati pun perlu keterampilan khusus. Selesai diunduh, penikmat harus disibukkan dengan aplikasi pemutar video yang cocok. Popcorn Time menerabas itu. Tak perlu jailbreak atau root untuk menikmati Popcorn Time via iPhone atau iPad.
Sayangnya, karena Popcorn Time menyajikan konten-konten ilegal, berkali-kali aplikasi ini harus disibukkan dengan masalah hukum. Pada Agustus 2015 misalnya, 11 orang penonton film The Cobbler via Popcorn Times digugat ke pengadilan. Dalam sejarahnya, Popcorn Time bersalin rupa enam kali. Mulai dari Popcorn Time versi getpopcorntime.me, Time4Popcorn Time (popcorn-time.to), Popcorn Time (popcorntime.io), Popcorn Time CE (popcorn-time.is), Popcorn Time CE (popcorntime.ml), dan Popcorn Time (popcorntime.sh).
Karena pindah-pindah situs itulah Popcorn Time bukan pilihan ideal menikmati konten dengan hemat. Pilihan lain ialah Plex.
Plex dan Mempertanyakan Kepemilikan Konten
Plex lain dari Popcorn Time. Ia aplikasi media streaming yang memungkinkan kumpulan konten digital yang disimpan di komputer, diakses dan dinikmati melalui ponsel ataupun tablet. Misalnya, Anda memiliki kumpulan film dan musik di laptop. Dengan memanfaatkan Plex, film dan musik yang disimpan di laptop itu dapat ditonton dan didengarkan di Android ataupun iPhone.
Popcorn Time mengambil kontennya dari jaringan Torrent. Plex dari harddisk Anda sendiri.
Sebagaimana dilansir The Verge, cara kerja Plex membuatnya berada di area abu-abu: antara legal dan ilegal. Jika film dan musik yang disimpan di PC dibeli secara sah, ia legal. Jika tidak, tentu statusnya ilegal.
Namun, men-streaming konten legal via Plex pun dapat pula berada di jalur ilegal. Mengapa?
Manajemen hak cipta dunia digital sangat berbeda dengan dunia konvensional. Jika Anda memiliki buku fisik misal dan hendak memberikan pada orang lain, Anda akan kehilangan buku tersebut. Ini berbeda dengan konten digital. Ketika Anda memberikan musik yang Anda beli secara sah ke orang lain, musik itu tetap berada di komputer Anda dan orang lain menerima “salinan” musik Anda.
Sialnya, dunia digital memiliki aspek hukum bernama DRM alias Digital Rights Management. Dilansir dari Encoding.com, DRM merupakan aturan yang mengatur akses pada konten digital, yang dikendalikan oleh pencipta perangkat keras, penerbit, atau pemegang lisensi.
Dalam kasus buku digital di Google Play Books, pemilik memang dapat mentransfer buku digitalnya, misalnya, ke format PDF. Sayangnya, alih-alih memperoleh berkas PDF murni, pemilik hanya memperoleh berkas PDF dengan embel-embel ACSM alias Adobe Content Server Message file, sebuah berkas digital yang hanya dapat diakses lewat Adobe Digital Editions, yakni aplikasi pembaca e-book yang memiliki fitur DRM.
Ini terjadi pada Netflix ataupun Spotify. Pelanggan Netflix memang dapat mengunduh film atau serial, namun lewat via aplikasi resmi Netflix.” Tak ada jalan legal untuk memberikan hasil unduhan itu ke orang lain.
Pada kasus Spotify, tak ada jalan legal apapun untuk membuat musik yang kita sewa itu didengarkan pula oleh teman kita, karena Spotify membatasi penggunaan perangkat sehingga musik hanya bisa diputar di satu gawai.
Alexandra Elbakyan punya pendapat lain. Bagi pendiri situs web SciHub ini, transfer konten digital yang dimiliki secara legal ke orang lain tidaklah salah. “Menyalin tidaklah sama dengan mencuri. Ini terjadi karena pemilik tak kehilangan apapun,” ujarnya sebagaimana dikutip Vox.
Di samping ketidakjelasan status kepemilikan konten digital, menjamurnya layanan streaming sesungguhnya membuat pembajakan mudah dilakukan. Dalam dunia konvensional yang menyajikan film melalui keping DVD atau bioskop, membajak memerlukan kerja yang panjang. Tak demikian halnya di era streaming
Editor: Windu Jusuf