tirto.id - Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi berharap seluruh pihak angkutan konvensional dan aplikasi untuk tidak resah dan tetap tenang menanggapi putusan Mahkamah Agung Nomor 37 Tahun 2017 terkait uji materi terhadap Peraturan Menteri Perhubungan Nomor: PM 26 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang Dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek.
Hal ini disampaikan Menhub Budi di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Rabu (23/8/2017). Ia mengklaim bahwa Kementerian Perhubungan sudah berkoordinasi dengan sejumlah pihak ahli hukum, Organisasi Pengusaha Angkutan Darat (Organda), dan masyarakat transportasi Indonesia.
“Saya mengimbau kepada seluruh stakeholder di penyedia jasa transportasi baik online maupun konvensional tak perlu resah,” katanya menjelaskan.
Mewakili Kementrian Perhubungan, Budi Karya mengaku menghargai keputusan pengabulan uji materi dari Mahkamah Agung tersebut. Oleh sebab itu, sampai sekarang pihaknya sudah memikirkan langkah ke depan untuk membahas putusan tersebut.
“Kami ingin tahu dari segi hukum seperti apa. Apakah yang kami atur dengan mengutamakan kemaslahatan antara operator online dan konvensional. Kami akan menjembatani (kepentingan mereka),” pungkasnya.
Ia berharap pihak Organda tidak mengajukan persyaratan kepada pengusaha angkutan online atau aplikasi secara terburu-buru. Penyedia jasa layanan transportasi harus tetap menaati PM Nomor 26 Tahun 2017 sampai 3 bulan ke depan.
“Kita tunduk pada peraturan yang disepakati. Tiga bulan ini (sejak dari putusan MA Senin lalu), nggak perlu (ada perubahan),” paparnya.
Di sisi lain, Managing Director Grab Indonesia Ridzki Kramadibrata belum mau berkomentar terkait putusan MA yang sudah ditentukan ini. “Mohon maaf, kami belum dapat memberikan tanggapan mengenai keputusan MA tersebut,” jelas Ridzki, Rabu.
Di sisi lain, Ketua Umum Organda Andrianto Djokosoetono juga masih mengkaji lebih luas terkait hal-hal apa yang sepatutnya dipatuhi oleh penyedia layanan transportasi berbasis aplikasi agar bisa beroperasi di Indonesia. Namun, poin penting yang ia sampaikan adalah tentang penetapan tarif bawah dan tarif atas untuk penyedia jasa transportasi berbasis aplikasi.
Dari hasil pertemuan saat pembuatan Peraturan Menteri Nomor 26 Tahun 2017, Direktur Utama Blue Bird Group Indonesia ini menegaskan bahwa tarif atas dan tarif bawah adalah sesuatu yang penting untuk dibahas. Ia merasa bahwa transportasi berbasis aplikasi sendiri tidak menguntungkan pengemudinya.
“Batas tarif bawah untuk melindungi pengusaha/pemilik mobil karena mereka yang melakukan investasi, tapi tariff mereka ditentukan aplikasi. Terbukti Senin lalu pengemudi aplikasi demo minta tarif dinaikan,” jelasnya kepada Tirto.
Dengan putusan MA terkait pengabulan uji materil 14 poin dalam Peraturan Menteri Nomor 26 Tahun 2017, maka pengoperasian angkutan umum berbasis aplikasi terancam dilarang oleh undang-undang. Tiga bulan sejak keputusan MA ditentukan, Kementrian Perhubungan harus menyiapkan aturan yang baru atau kembali pada Peraturan Menteri yang sebelumnya, yakni PM 32 Tahun 2016 yang bisa menjadikan taksi berbasis aplikasi tidak bisa beroperasi di Indonesia.
Sebanyak 14 poin dalam PM 26 Tahun 2017 dianggap menyalahi Undang-undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah dan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Yuliana Ratnasari