tirto.id - Wacana memindahkan ibukota negara dari Jakarta ke Palangkaraya muncul kembali. Selain pro dan kontra yang muncul, juga hadir soal estimasi perhitungan biaya yang harus dikeluarkan negara untuk melaksanakan hajatan besar. Semua itu tentu membutuhkan kajian yang matang termasuk apakah hanya memindahkan pusat administrasi pemerintahan saja tanpa mengganti nama ibukota atau kedua-duanya, semua masih bisa terjadi bila terealisasi nanti.
Bappenas menargetkan kajian pemindahan ibukota negara rampung akhir tahun ini. Dengan begitu, pada 2018 atau 2019 diperkirakan proses pemindahan sudah bisa berlangsung. Pemindahan ibukota negara diharapkan bisa membentuk pusat pertumbuhan ekonomi baru. Bappenas sedang menganalisis kriteria wilayah, kesiapan, ketersediaan lahan, hingga sumber pendanaan untuk pembangunan ibukota baru.
Palangkaraya masih menjadi salah satu alternatif yang paling banyak dibicarakan sebagai ibukota baru. Kota di Kalimantan Tengah ini diharapkan bisa membantu pemerataan kemakmuran yang selama ini hanya berpusat di Jawa. Di sisi lain, pemindahan ibukota ke Palangkaraya akan berdampak pada penguatan wilayah-wilayah perbatasan yang selama ini kurang mendapat perhatian.
Gubernur Kalimantan Tengah (Kalteng) Sugianto Sabran mengemukakan bahwa telah menyiapkan lahan seluas 500.000 hektare (ha) untuk memfasilitasi wacana pemindahan ibukota. Lahan yang besar itu tentu butuh biaya mulai dari pengadaan sampai penyiapannya dan pembangunan fisik. Namun, di luar persoalan lahan, ada aspek yang tak kalah penting dan cukup memakan biaya, yaitu biaya mengangkut manusia khususnya para abdi negara ke lokasi ibukota baru.
Tirto menghitung biaya pemindahan ibukota dari sisi kebutuhan mengangkut manusia khususnya biaya penerbangan dari Jakarta ke lokasi ibukota baru. Dengan asumsi ibukota Indonesia benar-benar pindah ke Palangkaraya maka seluruh pegawai negeri sipil (PNS), TNI, dan Polri pemerintah pusat yang ada di kementerian dan lembaga akan dipindah. Bila menghitung biaya memindahkan para PNS saja jumlah yang harus dikeluarkan tak sedikit. Menurut data per Juni 2016 total jumlah PNS di pemerintah pusat mencapai 950.843 orang. Angka itu jelas masih belum memperhitungkan variabel lain seperti anggota keluarga lain seperti anak dan istri.
Maka untuk menghitung berapa besaran biaya pemindahan ibukota, Tirto membuat skenario perkiraan. Pertama saat ini ada 950 ribuan PNS pusat, dari seluruh PNS itu tentu tidak semuanya menikah, maka dengan asumsi ada 10 persen anggota PNS di pusat yang belum menikah atau sebanyak 95.084 orang, lalu PNS dengan pasangan dan 2 anak ada sebanyak 855.759 orang.
Asumsi jumlah pasangan (suami/istri) PNS ada sebanyak 855.759, dengan tidak mempertimbangkan kemungkinan poliandri/poligami. Jika masing-masing keluarga memiliki dua orang anak, maka asumsinya jumlah anak dari PNS pusat aktif saat ini ada 1.711.518. Maka total jumlah orang pindah (termasuk keluarga) ada 3.518.120 orang.
Tentu tidak mudah memindahkan 3.518.120 orang dalam waktu bersamaan, tentu ini akan jadi eksodus dan migrasi aparat pemerintahan besar-besaran. Setelah mengetahui jumlah orang yang akan dipindahkan maka bisa dihitung perkiraan biaya dengan terlebih dahulu menghitung biaya tiket per orang.
Dari data yang dikumpukan Tirto, biaya pesawat perjalanan dinas Jakarta-Palangkaraya berdasarkan harga yang ada per Juli 2017, yang mengacu Standar Biaya Masukan Tahun Anggaran 2017 Kementerian Keuangan, biaya tiket satu arah Jakarta-Palangkaraya menggunakan Garuda sebesar Rp1.492.000. Maka total biaya tiket pesawat untuk 3,5 juta orang saja sekitar Rp5,249 triliun. Jumlah ini tentu sangat minor bila menghitung aspek lain untuk kebutuhan pemindahan ibu kota.
Menurut studi yang sempat dilakukan oleh Tim Visi Indonesia 2033 pada 2009-2010, yang beranggotakan peneliti Andrinof A Chaniago, Ahmad Erani Yustika, M. Jehansyah Siregar, dan Tata Mutasya, perkiraan biaya pemindahan ibukota ke Kalimantan kala itu saja sudah mencapai Rp142,62 triliun. Angka ini berasal dari enam variabel utama antara lain pembebasan lahan, penyiapan lahan, pembangunan infrastruktur kota, pembangunan fasilitas kota, pembangunan gedung negara, dan permukiman pegawai negeri termasuk soal biaya mengangkut para pegawai dan keluarga ke ibukota baru.
Selain masalah pembiayaan, hal yang perlu dipertimbangkan adalah aspek sosio ekonomi yang akan terjadi bila ibukota atau pusat administrasi pemerintahan dari Jakarta dipindahkan ke luar Jawa. Contohnya, persoalan perizinan dari investor di luar negeri, jika pusat bisnis masih di Jakarta sementara pusat pemerintahan di luar Jawa, maka perlu ada biaya tambahan untuk melakukan perizinan bagi para investor, ini baru satu aspek soal perizinan, belum lagi aspek lainnya.
Pemindahan ibukota memang suatu keniscayaan, tapi tak hanya persoalan memindahkan manusia dan fisik semata termasuk biaya yang dikeluarkannya. Butuh keberanian dan komitmen pemerintah termasuk DPR, dan konsensus banyak pihak khususnya masyarakat di lokasi calon ibukota baru.
Penulis: Arman Dhani
Editor: Suhendra