tirto.id - Sepanjang sejarah peradaban dunia, kekuasaan di muka bumi selalu terpecah menjadi dua aliansi. Mulai dari imperium Roma melawan Persia, aliansi sekutu melawan blok poros di perang dunia I dan II, dan kini di era modern, perang panjang antara Amerika Serikat dan Rusia tetap terus terjadi.
Meski Perestroika dan Glasnost sukses membubarkan Uni Soviet, hal itu tidak membuatRusia melunak pada AS dan sekutu-sekutunya. Dengan congkak mereka tetap hadir sebagai penantang.
Sikap ini bisa terlihat dari posisi Rusia yang selalu menjadikan musuh-musuh AS sebagai kawan dekat mereka. Postulat kuno, Inimicus inimici mei amicus meus est – musuh dari musuhku adalah temanku – memang lazim dijadikan landasan hubungan internasional. Setiap ada konflik yang melibatkan kepentingan AS dan sekutu, Rusia pasti ikut nimbrung merecokinya.
Rusia tak malu untuk terang-terangan mengintervensi dan menganeksasi Ukraina yang membuat Uni Eropa murka. Merekapun tak sungkan mengulurkan tangan secara politik dan militer pada rezim Bashar Al Assad di Suriah - yang dicap barat sebagai diktator dan penjahat perang. Setelah ikut “bertempur” di Ukraina dan Suriah, kini Rusia mulai jadi penyusup di kasus sengketa Laut Cina Selatan.
Saling Dukung Cina-Rusia.
Pada pekan ini, terhitung 12 – 19 September nanti, Angkatan Laut Cina dan Rusia mengadakan latihan bersama di Laut Cina Selatan. Ribuan personel militer serta ratusan jet tempur, helikopter, kapal perang, kapal selam dan kendaraan amfibi dari kedua negara dilibatkan.
Ini bukan pertama kali AL kedua negara berlatih bersama. Sejak 2012 latihan rutin saban setahun sekali pasti diadakan, dengan lokasi berbeda mulari dari Laut Kuning,Laut Cina Timur dan Laut Mediterania. Tapi dibanding sebelum-sebelumnya, latihan AL kali ini lebih besar, media Russia Today bahkan menyebut sebagai operasi latihan AL terbesar kedua negara pasca Perang Dunia II.
Latihan di Laut Cina Selatan kali ini akan fokus pada akan mencakup peperangan anti-kapal selam, pertahanan udara gabungan, dan upaya merebut sebuah pulau dengan pasukan amfibi dan penerjun payung.
Kritik muncul bahwa operasi latihan Rusia dan Cina ini adalah tindakan ofensif, melegetimasi tindakan bebal mereka yang menolak putusan Pengadilan Tetap Arbitrase Internasional (PCA) di Den Haag, Belanda. Dalam gugatan yang diajukan Filipina itu Cina dinyatakan tidak punya hak di kawasan Laut Cina Selatan.
Meski begitu, Cina tegas enggan patuh pada aturan yang dinyatakan tidak berdasar itu. “Keputusan ini kosong dan tidak mengikat,” ucap rilis resmi laman Kementerian Luar Negeri Cina. Pasca putusan Den Haag ini banyak pengamat memprediksikan Cina akan semakin agresif di Laut Cina Selatan, dan hal itu terbukti sekarang.
Agresifitas Cina tak lepas dari dukungan penuh Rusia. Dua negara itu sepakat menolak campur tangan pihak ketiga – penyelesaian meski dilakukan Cina dan ASEAN serta melarang AS dan sekutunya terlibat dalam isu.
”Kami berdiri dalam solidaritas dan dukungan dari sisi China tentang masalah ini, tidak mengakui keputusan pengadilan (arbitrase). Ini bukan posisi politik, tetapi murni hukum,” kata Presiden Rusia, Vladimir Putin seperti dikutip dari Sputnik, Jumat (9/9/2016).
Selain memiliki keterikatan historikal ideologis, Cina hadir saat AS dan Uni Eropa melakukan embargo pada Rusia. Hampir $34,2 miliar atau 19,2 persen impor Rusia berasal dari Cina. Kebanyakan komoditas impor dari Cina pada Rusia adalah material yang diboikot oleh Uni Eropa dan AS.
Merapat ke Cina dan Bangun Kembali Basis Kekuatan di Pasifik
Bagaimanapun juga Rusia tidak bisa diam melihat Cina sendirian berkonfrontasi dengan AS di Asia Pasifik – yang terpecah jadi dua front, Laut Cina Timur melawan Jepang serta Korea Selatan dan Laut Cina Selatan menghadapi ASEAN.
Di sisi lain secara miter, kemerosotan AL Rusia dan aviasi maritim pasca Perang Dingin menciptakan kekosongan besar di Pasifik dengan AS sebagai pemenang. Namun, dalam dunia geopolitik, saat satu kekuatan memudar, akan selalu ada negara lain mengambil alih posisi tersebut. Dan Cina masuk menggantikan Rusia. Kesamaan visi menyingkirkan dominasi AS, membikin dua negara ini bersatu.
Pada 2015 lalu, di depan Kongres AS, Komandan Angkatan Udara AS Pasifik, Jenderal Herbert Carlile mengakui ada kebijakan Moskow untuk meningkatkan kekuatan di Asia Pasifik. Hal ini bisa terlihat aktifitas ignifikan pesawat pengebom Rusia jarak jauh, pesawat tempur pengintai maritim, serta kapal selam bersenjata nuklir di Guam, Alaska dan Samudera Pasifik.
Carlisle menyebutkan Rusia telah memamerkan kapabilitasnya dan memata-matai latihan militer AS di di Pasifik. Diketahui saat ini Rusia sudah menempatkan senjata canggih sistem misil antikapal Bal dan Bastion serta pesawat tanpa awak diKepulauan Kuril bagian selatan. Analis militer Rusia, Dmitry Gorenburg, menyebut Rusia sedang membangun pangkalan militer termasuk pangkalan udara dan kapal selam di area itu.
Banyak pengamat memprediksikan ambisi Rusia di Pasifik tidak akan begitu agresif di Laut Cina Selatan. Posisi mereka hanya sebatas saling mendukung, bukan membentuk aliansi militer laiknya NATO. ”Mereka tidak akan pergi berperang satu sama lain,” ujar Michael Wesley, pengamat militer dari Australian National University.
“Dari luar, kelihatannya Rusia dan Cina semakin dekat, tapi kenyataannya tidak — atau belum. Mungkin penggunaan istilah ‘semialiansi’ oleh militer Cina sangat akurat untuk mendeskripsikan arah hubungan Rusia-Tiongkok. Latihan gabungan ini adalah cara bagi kedua negara untuk mendorong balik AS dan sekutu-sekutunya,” tulis Rakesh Krishnan Simha, dalam kolomnya di RBTH.
Vietnam yang Bikin Remang-remang
Ada satu faktor yang membuat Rusia akan bermain aman dan tak melakukan tindakan banal di Asia Tenggara. Dan faktor itu adalah Vietnam.
Vietnam adalah salah satu negara yang wilayahnya dicaplok Cina. Di sisi lain, Vietnam pun memiliki hubungan erat dengan Rusia. Hubungan itu dieratkan lewat kerjasama militer. Saat ini Vietnam adalah pengimpor senjata Rusia terbanyak ketiga, 93 persen persenjataan dan alutsista Vietnam berasal Rusia.
Di saat konflik Laut Cina Selatan mulai memanas pertengahan 2000-an, Vietnam gencar memperkuat angkatan perang maritim mereka yang dimana persenjataan itu dibeli dari Rusia.
Pembelian mencakup enam kapal silam tipe Kilo, empat kapal Fregat Gepard 3.9, 48 pesawat tempur Sukhoi series, Su-27SK, Su-27UBK dan Su-30MK2serta puluhan misil anti kapal tipe 3M-54 Klub dan P-800 Oniks yang sempat membuat Cina marah pada Rusia.
Sadar akan posisi penting Vietnam, AS akhirnya masuk mencoba merobohkan hubungan ini dengan mencabut embargo persenjataan ke Vietnam yang telah berlangsung sejak dekade 70-an.
Selain menggoyahkan hubungan Vietnam – Rusia, kebijakan Obama ini juga diharapkan mampu membantu Vietnam bersiaga melawan Cina. Tapi rencana ini gagal total, Vietnam tetap memilih membeli senjata dari Rusia ketimbang AS yang kelewat mahal.
Selain soal industri senjata, Rusia pun butuh markas baru di luar teritori mereka untuk menghadapi perang pasifik. Dan titik lokasi awal itu ada di Vietnam, tepatnya di pangkalan Cam Ranh. Pemerintah Vietnam, pada Juli lalu mempersilahkan Rusia kembali ke pangkalan itu setelah sebelumnya sempat di sana para periode perang dingin.
Cam Ranh dibutuhkan karena lokasi srategisnya yang bisa dijadikan sebagai tempat singgah pesawat pembom Tu-95 dan kapal perang guna menyerang pangkalan AS di Guam dan Australia jika terjadi perang. Pada posisi inilah Vietnam punya daya tawar lebih guna menahan bantuan Rusia terhadap Cina di konflik Laut Cina Selatan.
Jika menilik analisa dari Rakesh Krishnan Simha, di RBTH, Rusia belum menujukan gelagat serius, keterlibatan mereka di Laut Cina Selatan dengan menggelar operasi latihan bersama hanyalah motif politis. “Dengan meningkatkan ketegangan di Pasifik dan memaksa AS untuk mengirim lebih banyak sumer daya serta perhatian ke wilayah ini, Rusia dapat membuat Amerika mundur dari Ukraina dan Suriah.”
Bisa saja, di saat AS dan sekutu-sekutunya fokus di Pasifik, Rusia mulai menggerus masuk Ukraina, Polandia, Rumania dan negara-negara Eropa Timur lainnya.
Penulis: Aqwam Fiazmi Hanifan
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti