Menuju konten utama

Mengenang Jake LaMotta, Banteng Ketaton dari Bronx

Determinasi dan keberaniannya membuatnya mendapat julukan Raging Bull, banteng yang marah.

Mengenang Jake LaMotta, Banteng Ketaton dari Bronx
Petinju Jake LaMotta (kanan). FOTO/Getty Images

tirto.id - "Aku bertarung dengan Sugar Ray berkali-kali, kadang aku heran kok bisa aku tak kena diabetes."

Jake LaMotta adalah petinju dengan selera humor apik. Guyonannya bisa membuatmu terkekeh. Suatu ketika ia pernah berkelakar, "selama karierku, aku tak pernah menderita ketika ditinju. Yang bisa bikin aku menderita cuma istri-istriku."

Tapi di atas ring, tak ada lawannya yang tersenyum. Apalagi tertawa. Seorang petinju pernah kena hantam rahangnya, sedemikian kerasnya hingga pelindung giginya mencelat. Sugar Ray Robinson juga pernah kena gasak hingga keluar ring. Robinson adalah rival terbesar LaMotta, sekaligus lawan paling alot. Mereka bertanding hingga enam kali. Menjadikan pertandingan-pertandingan itu sebagai salah satu rivalitas paling dahsyat dalam sejarah tinju.

Baca juga:Adu Jotos di Pamulang

Pertandingan pertama LaMotta melawan Robinson diadakan pada 2 Oktober 1942. Meski Robinson sempat roboh di ronde pertama, dia mengambil alih jalannya pertandingan. LaMotta kalah angka.

Pertarungan kedua dihelat pada 5 Februari 1943 di Detroit, Michigan. Ronde kedelapan adalah saat bersejarah itu. Rekaman ronde ini sukar dicari. Reka ulangnya bisa ditonton di film Raging Bull (1980). LaMotta yang diperankan oleh Robert De Niro merangsek tanpa ampun. Melepas hook kanan dan kiri dengan deras. Robinson terdesak ke tali. Buk! Pukulan kiri telak menghantam perut Robinson.

Petinju yang tak pernah roboh ini terjengkang hingga luar ring. Salah satu foto momen ini menghadirkan wajah Robinson yang penuh penyesalan dan seakan membatin: kenapa pula aku mau melawan banteng kampret ini.

Usai roboh dan kesakitan, Robinson tetap bisa bangkit. Tapi juri sudah kadung terkesan dengan adegan itu. Ronde-ronde berikutnya tak banyak membantu Robinson. LaMotta menang melalui keputusan mutlak para juri. Ini adalah kekalahan pertama dalam sejarah karier Robinson. Kekalahan berikut Robinson baru datang setelah 69 pertandingan, delapan tahun kemudian.

Rivalitas ini memang berjalan timpang. Empat pertandingan berikutnya, semua dimenangkan oleh Robinson—meski di pertarungan kelima, Robinson memenangkan pertarungan melalui keputusan kontroversial, membuat para penonton menyoraki para juri.

Di pertandingan keenam sekaligus pertemuan mereka yang terakhir, LaMotta dibuat tak berkutik. Ia kalah telak, dihajar habis-habisan. Pertandingan yang berlangsung pada 14 Februari 1951 ini kemudian mendapat julukan: Pembantaian di Hari Valentine. Meskipun kalah TKO, LaMotta tidak jatuh. Tak sekali pun jatuh. Di akhir pertandingan, ia berteriak mengejek Robinson.

"Kamu gagal. Kamu tak bisa menjatuhkanku!"

Hasil Didikan yang Keras

Jake LaMotta terlahir sebagai Giacobbe LaMotta. Dia lahir di Bronx, New York, 10 Juli 1922. Ayahnya seorang Sisilia yang keras. Dalam biografinya, Raging Bull: My Story (1970), LaMotta mengakui bahwa sang ayah adalah satu-satunya pria yang ia takuti. Dia sudah memukuli LaMotta sejak kecil. Selain itu, LaMotta kerap diadu untuk berkelahi dengan anak-anak lain di kawasan Bronx. Yang ingin menonton harus bayar. Uang yang didapat dipakai untuk membayar sewa hunian.

Baca juga:Mencetak Raja KO dari Jalanan

LaMotta kuat menerima pukulan. Dagunya macam terbuat dari granit. Dia tipikal petinju baik hati: kalau menerima satu pukulan, balas dua pukulan. Dia ketagihan dengan dunia baku hantam. Kehidupan remaja yang bergelora membuatnya menyerempet dunia kriminal. Seringnya mencopet atau mencuri.

Beberapa kali ia masuk dalam lembaga rehabilitasi kenakalan remaja Coxsackie yang terkenal brutal. Di lingkungan penuh remaja-remaja tanggung yang terobsesi dengan kekuatan dan machoisme, LaMotta menemukan panggung. Ia kerap berkelahi di lapangan. Kalau sudah begitu, ia akan digelandang masuk ke sel pengasingan selama dua minggu.

Dalam Coxsackie: The Life and Death of Prison Reform (2014), digambarkan bagaimana suasana sel pengasingan penjara remaja ini: tahanan akan ditelanjangi hingga tinggal celana dalam, masuk sel yang tak ada kasur, tak ada meja, tanpa cahaya, tak ada koran, tak ada rokok.

Seorang pendeta rehabilitasi kemudian menyadari bakat tinju LaMotta, juga kekuatan dan kemauannya. Dia mendorong LaMotta untuk menekuni tinju secara serius, dalam arti berlatih di gym.

"Gym itu adalah salah satu tempat favorit para tahanan. Banyak yang jago berantem di sana," kenang LaMotta.

Setelah lepas dari lembaga rehabilitasi pada 1941, pria dengan tinggi 173 centimeter ini memulai karier sebagai petinju profesional. Saat itu ia berusia 19 tahun. Sebagai petinju yang sudah ditempa sejak dini, LaMotta tak mengalami kesulitan beradaptasi di atas ring. Buktinya, 13 pertandingan pertama dia menangkan.

Kekalahan pertama ia dapat saat melawan Jimmy Reeves. Keputusan itu kontroversial. Penonton marah. Beberapa orang bersiap mengacau. Agar penonton tenang, penyelenggara memutar lagu kebangsaan, "Star Spangled Banner." Komikal sekali.

LaMotta berkarier di masa yang tidak begitu tepat. Di periode 1940 dan 1950, dunia tinju dikuasai oleh para mafia. Mereka yang menentukan hasil pertandingan, pun berkuasa menentukan siapa melawan siapa. LaMotta menolak bekerja sama. Hasilnya, meski dia sudah punya reputasi mentereng, kesempatan bertarung untuk gelar juara tak kunjung datang.

Suatu hari, perwakilan mafia datang menawarkan sesuatu: kalau ingin bertarung untuk gelar juara dunia, LaMotta harus kalah saat melawan Billy Fox. LaMotta setuju. Pertandingan digelar pada 14 November 1947.

Sayang, Billy Fox bukanlah lawan yang sepadan. LaMotta mengenang, "di ronde pertama, aku melepaskan beberapa jab ke kepalanya. Lah kok dia malah tampak mau KO. Yaelah, baru beberapa jab dan dia sudah akan roboh? Aku mulai sedikit panik."

Akhirnya LaMotta melakukan sesuatu yang kelak akan menghantuinya. Berpura-pura kalah KO melawan petinju yang bahkan jauh lebih lemah ketimbang lawan-lawannya di penjara remaja. Kalau ada orang yang tak tahu apa yang terjadi hari itu, ujarnya, berarti dia mabuk berat. Mafia disebut-sebut mendapatkan uang sebesar 20 ribu dolar hari itu. LaMotta mendapat kesempatan bertarung melawan Juara Dunia Kelas Menengah asal Prancis, Marcel Cerdan.

Di ronde pertama, Cerdan sudah roboh. Jatuhnya Cerdan membawa dampak lain: bahunya dislokasi. Tapi sang lawan enggan menyerah. LaMotta juga tak mau memberi ampun. Dalam suatu wawancara, ia pernah berujar: jangan pernah punya belas kasihan di atas ring. LaMotta membuktikannya hari itu. Dalam catatan Box Rec, LaMotta melancarkan 104 pukulan di ronde 9, dan Cerdan tak bisa apa-apa kecuali bertahan hidup. Sebelum ronde 10 dimulai, Cerdan akhirnya menyerah.

LaMotta menjadi Juara Dunia Kelas Menengah pada 16 Juni 1949. Membuat namanya dicatat dalam sejarah emas dunia tinju. Sepanjang kariernya, dia bertanding 106 kali, kalah 19 kali, imbang 4 kali, melakoni 869 ronde. Pada 1990, ia dimasukkan dalam senarai Boxing Hall of Fame.

Baca juga:Tinju Adalah Masa Lalu, Tarung Bebas Adalah Masa Depan

Infografik Akhir kisah sang banteng ganas

Selama kariernya, LaMotta dikenal sebagai petinju trengginas. Ia seolah tak kenal bertahan. Baginya, menyerang adalah pertahanan terbaik. Untuk bisa melepaskan pukulan terbaiknya, ia rela dihujani pukulan musuh terlebih dulu. LaMotta dikenal sebagai petinju yang kuat menerima pukulan, sekuat apapun itu. Gaya bertinjunya yang main tabrak—juga ditambah dengan gaya merunduknya yang khas itu—membuahkan julukan Raging Bull. Benteng ketaton.

Raging Bull kemudian jadi judul buku biografinya, dan kelak menjadi judul film. Martin Scorsese jadi sutradaranya. Di film itu, De Niro menghadirkan sosok LaMotta yang kasar—seringkali memukuli istrinya—juga brutal: ia mengaku pernah memperkosa seorang perempuan. Pada The Guardian, Scorsese mengakui kebrutalan LaMotta yang dihadirkan di layar lebar.

"Brutalnya tak hanya di atas ring, tapi juga di atas ranjang, atau di dalam kantor."

Kehidupan LaMotta memang menarik untuk difilmkan. Kehidupannya cukup glamor. Istri keduanya, Vikki, adalah mantan model majalah Playboy. Seumur hidupnya, Jake menikah 7 kali. Istri terakhirnya adalah Denise Baker yang berusia 30 tahun lebih muda. Baker pula yang berada di samping LaMotta ketika ia menghembuskan nafas terakhir di usia 95 karena pneumonia, 19 September 2017, di sebuah panti wreda.

Gaya bertarung LaMotta mengilhami petinju eksplosif seperti Mike Tyson. Lebih jauh daripada itu, apa yang ditinggalkan LaMotta adalah pelajaran tentang determinasi. "Aku tak peduli siapa lawanku. Aku bisa mengalahkan siapa pun di atas ring."

Tentu itu tak benar, LaMotta beberapa kali kalah. Tapi bukan itu yang terpenting, melainkan bagaimana ia sudah memacak kesiapan sejak awal. Tanpa keraguan sedikit pun. Kita tahu, penggenggam dunia bukanlah para peragu.

Dan untuk itu, sejarah akan terus mencatat nama Jake LaMotta.

Baca juga artikel terkait TINJU atau tulisan lainnya dari Nuran Wibisono

tirto.id - Olahraga
Reporter: Nuran Wibisono
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Maulida Sri Handayani