tirto.id - Tifa merupakan alat musik tradisional asal Indonesia Timur khususnya daerah Papua dan Maluku yang berbentuk kendang dengan bentuk memanjang.
Alat musik tradisional satu ini disebut dengan nama yang berbeda di setiap suku. Misalnya di Papua, Tifa memiliki nama lokal yang beragam, disebut sireb di Biak, waku di Sentani, eme di Asmat, dan kalin kla di Timenabuan.
Di tempatnya berasal, Tifa digunakan untuk mengiringi acara adat sakral seperti ritual adat dan tarian adat.
Inilah mengapa Tifa tidak dapat dipisahkan dari tradisi dan menjadi identitas di setiap suku yang menggunakannya.
Seperti diwartakan Antara, Tifa juga menjadi identitas seni di setiap suku. Tifa terbuat dari kayu yang umumnya memiliki ukiran dengan motif berbeda menunjukkan identitas khas sebuah suku. Tak hanya itu, ukiran dan motif pada Tifa juga menunjukkan status sosial pemiliknya.
Proses Pembuatan Tifa
Tifa terdiri atas tiga bagian, yaitu atas, tengah, dan bawah. Pada bagian atas dari membran ke bawah disebut dengan sinan, bagian tengah disebut snom kbor, bagian yang menyerupai ikat pinggang disebut samfar/sarak, dan bagian paling bawah disebut romawa kasun di Biak.
Ukuran panjang tifa sangat bervariasi, tergantung dari ukuran tinggi rata-rata dari warga suatu suku.
Ukuran Tifa yang terpendek adalah sekitar 60 cm dan yang terpanjang bisa mencapai lebih dari 1 meter.
Konon ada tifa dari suku Marind yang hidup di daerah Merauke memiliki ukuran panjang sampai 4 meter.
Ukuran juga menentukan bunyi yang dihasilkan, semakin kecil Tifa maka suara yang dihasilkan akan semakin tinggi. Sedangkan semakin besar panjang atau besar Tifa maka suara yang dihasilkan akan besar dan rendah.
I Wayan Rai S dalam jurnal berjudul Tifa di Tanah Papua dalam Perspektif Etnomusikologi menjelaskan, pada umumnya tifa dibuat dari kayu, secara lokal disebut “kayu susu” yang banyak tumbuh di hutan belantara.
Karena kayu itu tumbuh di hutan yang termasuk wilayah adat suku tertentu, maka dalam mencari kayu untuk bahan tifa, sebelum kayu yang dipilih itu ditebang, terlebih dahulu harus mendapat ijin dari ondoafi (kepala suku).
Setelah mendapat restu dari ondoafi, maka proses pertama adalah menebang kayu, lalu kayu itu dipotong sesuai dengan ukuran tifa yang ingin dibuat, lalu dilubangi.
Dahulu cara melubangi kayu itu adalah dengan jalan menempatkan batu panas yang telah dibakar pada rencana lubang yang dikehendaki sampai tembus dari ujung yang satu ke ujung yang lain.
Teknik melubangi kayu seperti ini sekarang telah diganti dengan jalan menggunakan pahat untuk melubangi kayu sehingga proses pembuatannya jauh lebih cepat dan praktis.
Selain kayu, bahan yang dibutuhkan untuk membuat tifa adalah kulit sebagai membran.
Pada umumnya jenis kulit binatang yang dipergunakan adalah kulit biawak atau istilah lokalnya dikenal dengan nama soasoa. Selain kulit biawak, dapat juga menggunakan kulit rusa.
Kulit tersebut mula-mula dijemur sampai kering, dikencangkan, dipotong dan dihaluskan, kemudian dipasang pada bagian atas dari tifa, dan diikat dengan tali.
Sebelum diikat dengan tali, membran itu dilem dengan menggunakan getah pohon lengkuas atau lenggua.
Getah lenggua ini pula yang dipergunakan untuk mengencangkan membran dengan jalan menaruh beberapa getah yang telah dibentuk menjadi bulatan kecil-kecil.
Penulis: Balqis Fallahnda
Editor: Dhita Koesno