tirto.id - Musim dingin sedang menyelimuti Russia saat Brigadir Jenderal Suhario Padmodiwirio tiba di sana pada Januari 1965. Setibanya di Bandara Cheremecewo, kota Moskow, laki-laki yang akrab dipanggil Hario Kecik itu disambut langit yang tampak bersih biru dan salju putih yang menutupi seluruh permukaan tanah. Sebagai manusia yang terbiasa hidup di kawan tropis Indonesia, Hario kedinginan.
Heart And Vascular Institute menerangkan lingkungan bersuhu rendah menyebabkan pembuluh darah dan arteri manusia menyempit. Darah yang mengalir di dalamnya pun semakin terbatas. Otomatis, itu membuat pasokan oksigen ke jantung berkurang.
Agar dapat mengedarkan darah melalui pembuluh yang menyempit itu, jantung bereaksi dengan memompa lebih keras. Akibatnya, tekanan darah dan detak jantung meningkat. Fenomena seperti ini lah yang dirasakan oleh Hario.
“Hawa dingin bersih dan kering dengan suhunya minus 30 derajat Celcius merangsang paru-paru dan jantung untuk bekerja lebih giat, menarik sebanyak mungkin oksigen ke dalam sel-sel darah merah guna memprodusir panas untuk badan, mengimbangi dingin yang menyengat kulit dan rasanya menusuk tulang,” ujar Hario, seperti disebut olehnya dalam Memoar Hario Kecik (2001: hlm. 6).
Baik Hario dan mungkin seluruh umat manusia dewasa saat ini tahu bahwa oksigen berperan penting dalam pernapasan manusia. Namun, wawasan mengenai jenis gas tertentu saja yang berperan dalam pernapasan – bukannya seluruh zat yang ada dalam udara – baru mulai terkuak pada abad ke-18. Di abad itu juga istilah "oksigen" muncul di Eropa – yang kala itu sedang digandrungi revolusi musim semi bangsa-bangsa.
Mengisolasi Oksigen
Julia Davis, dalam Discovering Oxygen: A Brief History, mencatat ahli kimia Swedia, Carl Wilhelm Scheele, sebagai orang yang pertama kali menemukan cara "mengambil" oksigen.
Pada 1772, Scheele melakukan serangkaian percobaan. Dia memanaskan merkuri oksida, perak karbonat, magnesium nitrat, dan potassium nitrat. Semuanya menghasilkan sebuah gas yang sama. Gas ini dia namakan "api udara" karena menimbulkan percikan api saat menyentuh debu arang. Dia mempublikasikan temuannya dalam Chemical Observations and Experiments on Air and Fire pada 1777.
Namun, bukan Scheel yang mempublikasikan temuan semacam itu pertama kali ke dunia akademik Eropa, melainkan ahli kimia Inggris bernama Joseph Priestly. “Dia menaruh terlalu banyak kepercayaan kepada patronase aristokrasi dan tidak melakukan publikasi selama enam tahun,” sebut Nick Lane dalam Oxygen: The Molecule that Made the World.
Priestly mulai bermain-main dengan "oksigen" setahun sebelum Scheele melakukan percobaan. Pada 1771, Priestley melihat seekor tikus diletakkan di dalam toples tertutup. Semakin lama tikus itu kolaps. Penasaran, laki-laki kelahiran 1773 itu mencoba menyelipkan segenggam mint (Mentha spicata) ke dalam toples. Voila! tanaman itu secara ajaib "menghidupkan" kembali si tikus.
Priestly sadar, tanaman itu menghasilkan sesuatu yang membuat udara segar. Temuan ini dia sampaikan kepada kawannya, Benjamin Franklin. Dalam surat itu Priestly mengatakan bahwa dia berharap penemuannya akan menghentikan orang-orang untuk menebang begitu banyak pohon.
Tiga tahun kemudian, pada 1 Agustus 1774, Priestley mencoba mengisolasi gas temuannya itu. Dia mengarahkan sinar matahari ke sejumlah bubuk Merkuri Oksida. Proses itu menghasilkan gas yang bisa menyalakan kembali bara api.
Priestly memang selalu penasaran. Bukan tikus yang dia jadikan percobaan kali ini, tetapi dia kumpulkan sejumlah besar gas itu dan mencoba menghirupnya sendiri. Setelah beberapa lama, Priestley merasakan sebuah sensasi yang dia ungkapkan dalam Experiments and Observations on Different Kinds of Air (1775).
“Yang dirasakan paru-paru saya tidak masuk akal, berbeda dengan udara biasa; Tetapi saya merasa dada saya terasa ringan dan mudah beberapa saat kemudian,” sebut Priestley, sebagaimana dikisahkan oleh Nick Lane.
Hasil penelitian yang dilakukan saintis di Scripps Institution of Oceanography Ralph Keeling menyebutkan separuh dari oksigen yang ada di bumi dihasilkan dari tanaman darat. Sisanya diproduksi oleh alga dan cyanobacteria di danau dan laut. Sejumlah kecil Oksigen juga dihasilkan oleh reaksi penguraian uap air di atmosfer oleh radiasi matahari dan bintang.
“Namun, Scheele and Priestley belum memahami peran sebenarnya dari gas baru tersebut. Keduanya telah mengamati bahwa proses pembakaran terjadi lebih kuat dalam lingkungan beroksigen, namun mereka masih terperangkap dalam gaya berpikir ala teori phlogiston,” sebut Nick Lane.
Gagasan utama teori tersebut adalah zat tak kasat mata, yang dikenal sebagai phlogiston, dilepaskan ke udara saat terbakar. Baik Priestley dan Scheele menganggap oksigen sebagai udara phlogiston murni. Padahal (di kemudian hari diketahui bahwa) selama proses pembakaran, oksigen tidak dilepaskan ke udara, melainkan diserap oleh pembakaran itu sendiri.
Oksigen dan Revolusi Perancis
Teori phlogiston bukannya tidak ada yang menandingi. Laki-laki yang dikenal sebagai Bapak Kimia Modern Antoine Laurent Lavoisier mempertanyakan teori tersebut. Menurutnya, sebagaimana dikisahkan oleh Davis, para ilmuwan tidak bisa menjelaskan mengapa timah bertambah massanya saat terbakar. Artinya, jika pembakaran melepaskan phlogiston, seharusnya massa timah berkurang.
Lavoisier tahu tidak mungkin memiliki massa negatif dan bertekad untuk membuktikan bahwa pembakaran disebabkan oleh sesuatu yang lain. Pada 1778, Dia memanaskan Merkuri Oksida, mirip seperti eksperimen yang sebelumnya dilakukan oleh Priestley dan Scheele. Setelah itu, Lavoisier menyedar sesuatu, pembakaran dihasilkan dari reaksi kimia dengan gas ini, bukan phlogiston.
Dia lantas menjuluki gas itu "oksigen". Kata “Oxy” berarti pembuat dan "gen" berarti asam, sebuah nama yang mengacu pada kemampuannya untuk menciptakan asam.
Lavoisier melangkah lebih jauh. Dia mengumpulkan gas dan melakukan pengukuran detail dengan alat yang keseimbangannya sangat peka. Hasil penelitiannya itu menunjukkan bahwa pembakaran dan pernapasan manusia pada dasarnya adalah proses yang sama - menyerap oksigen dan bahan lain yang mengandung karbon dan hidrogen, sehingga menghasilkan karbon dioksida dan air.
Namun, pecahnya Revolusi Perancis mengakhiri hidup Lavoisier. Semasa hidup, dia adalah seorang aristokrat, dan menjadi pegawai Ferme générale. Lembaga itu adalah salah satu komponen terpenting dari apa yang disebut Ancien Régime. Kegiatan politik dan ekonomi lembaga ini memungkinkan Lovoisier mendanai penelitian ilmiahnya. Pada puncak Revolusi Prancis, dia didakwa melakukan penipuan pajak dan menjual tembakau yang telah dipalsu. Akhirnya dia dipenggal dengan guillotine pada Mei 1794.
Menanggapi kematian ini, seorang matematikawan asal Perancis Paul Lagrange berkata, "Hanya butuh beberapa saat untuk memotong kepala itu, tetapi butuh seratus tahun lagi untuk menghasilkan kepala yang lain seperti itu."
Penulis: Husein Abdulsalam
Editor: Zen RS