tirto.id - Istilah burnout secara umum diidentifikasikan sebagai bentuk kelelahan ekstrem khususnya pada pekerjaan.
Namun, siapa sangka jika burnout tidak hanya menjadi ancaman bagi para pekerja, tetapi juga orang tua.
Sebuah penelitian yang dipublikasikan oleh Clinical Psychological Science pada 2019 lalu menyebutkan bahwa orang tua juga bisa mengalami burnout yang selanjutnya dikenal sebagai parental burnout.
Mengutip dari penelitian tersebut, parental burnout diartikan sebagai kondisi kelelahan yang intens terkait dengan peran orang tua.
Kondisi ini membuat para orang tua terlepas secara emosional dari anak-anaknya dan meragukan kapasitasnya untuk sebagai orang tua yang baik.
Akibatnya, para orang tua yang burnout mengalami penurunan interaksi dan jarang terlibat dalam hubungan dengan anak-anak mereka.
Gejala parental burnout
Menurut Psychology Today, gejala utama parental burnout adalah kelelahan luar biasa dengan segala sesuatu yang berkaitan dengan kegiatan pengasuhan.
Namun, selain kelelahan, terdapat tiga gejala lainnya, antara lain:
- Menjaga jarak secara emosional dari anak-anak
- Merasa muak dengan pengasuhan
- Kehilangan rasa pencapaian karena menjadi orang tua
Fase parental burnout
Mengutip dari Education world, ada sejumlah fase dalam parentalburnout, antara lain:
Fase Gung-Ho
Yakni fase yang dimulai saat masa kehamilan. Dalam fase ini orang tua mulai kewalahan dengan peran baru mereka, bertekad untuk melakukan semuanya sendiri. Fase ini ditandai dengan penentuan jelas kemana arah pengasuhan anak.
Fase ketidakpastian
Yakni ketika orang tua dilanda sejumlah keraguan. Orang tua dapat menjadi mudah marah dan kesal pada anak-anak. Fase ini juga menyebabkan gangguan fisik seperti sakit kepala, pegal-pegal, dan hipertensi.
Fase transisi
Yakni fase yang menjadi jembatan pada fase lebih parah berikutnya, yaitu orang tua sering kali mengalami kesal hingga menyalahkan diri sendiri.
Fase penarikan
Yakni saat para orang tua mulai ingin melepaskan diri dari keluarga dan anak-anaknya. Pada fase ini orang tua juga menjadi lebih emosional ditandai dengan bertindak berlebihan dengan kecelakaan kecil yang dilakukan anak-anaknya.
Orang tua lebih sering merasa sangat bersalah, membenci diri sendiri, atau kecewa dalam hidup.
Sehingga, pada fase ini, orang tua rentan melarikan diri ke hal-hal lain seperti alkohol hingga obat-obatan.
Fase kekecewaan kronis
Yakni fase terakhir di mana hidup tampak hampa, kecenderungan untuk bunuh diri muncul, tidak memiliki hasrat seksual, hingga masalah pernikahan.
Harus diwaspadai
Sama seperti kondisi kelelahan ekstrem lainnya, parental burnout juga perlu diwaspadai.
Dr. Robyn Koslowitz, pakar parenting serta direktur pendidikan dari Targeted Parenting Institute menyebutkan bahwa parental burnout bisa lebih buruk daripada yang dibayangkan.
Dalam artikelnya, Koslowitz menebutkan bahwa kondisi tersebut berimplikasi pada tindakan orang tua yang berfantasi meninggalkan segala sesuatu yang berkaitan dengan pengasuhan anak dan pemicunya yang berujung pada perilaku lalai.
Belum lagi risiko adanya kekerasan verbal juga kekerasan fisik pada anak.
Hal ini diperparah dengan stigma bahwa tidak ada kata lelah sebagai orang tua.
"Kita diajari, baik secara eksplisit maupun implisit, bahwa mengasuh anak begitu bermanfaat, memuaskan, dan indah sehingga satu senyuman dari anak tercinta akan langsung memenuhi orang tua, bahwa tugasnya begitu menyenangkan sehingga sesekali mengalami kesulitan" tulis Koslowitz.
Padahal pemikiran semacam ini yang menyebabkan orang tua tidak mau, malu, atau takut mengakui bahwa mereka kelelahan.
Menurut Koslowitz, menjadi orang tua bukan berarti “tidak boleh” keberatan dibangunkan pada pukul 2 pagi, terlambat bekerja, melewatkan promosi jabatan karena pembagian prioritas, atau menjadi sasaran kemarahan remaja.
Sama seperti manusia lainnya, orang tua memiliki 'baterai' energi yang bisa habis. Maka dari itu, sebelum baterai itu habis, ada baiknya untuk mengisinya untuk bisa melanjutkan rutinitas dengan lebih baik.
Cegah parental burnout
Dilansir dari Relief Parenting, parental burnout pada dasarnya dapat dicegah dengan dua hal, dukungan dan perawatan diri.
Dukungan, terutama dari pasangan dan keluarga sangat diperlukan untuk mencegah parental burnout. Maka dari itu menjaga komunikasi antar pasangan penting untuk dilakukan.
Selain dukungan, perawatan diri juga menjadi faktor penting dalam mencegah parentalburnout.
Dr. Oscar Serrallach, peneliti dan penulis The Postnatal Depletion Cure memberikan akronim dalam hal ini, SPAN atau Sleep (tidur), Purpose (tujuan), Activity (aktivitas), Nutrition (nutrisi).
Hal ini termasuk tidur selama delapan jam sehari, mengurangi kewajiban melakukan pekerjaan rumah (seperti membaginya dengan pasangan atau menyewa jasa asisten rumah tangga), olahraga rutin dan aktivitas refreshing, dan makan makanan bernutrisi.
Bagi orang tua, merawat diri sendiri mungkin lebih sulit karena prioritas mereka adalah anak-anak.
Namun, jika dilihat lebih dalam lagi, merawat diri sama pentingnya dengan memberikan kesempatan diri sendiri untuk bisa merawat anak-anak dengan lebih baik.
Penulis: Yonada Nancy
Editor: Nur Hidayah Perwitasari