Menuju konten utama

Mengapa Zika Belum Heboh di Indonesia?

Kasus Zika sudah sampai ke Singapura. Tinggal menunggu waktu untuk sampai ke Indonesia. Namun, hingga kini belum ramai soal Zika di Indonesia. Kabar baik atau buruk?

Mengapa Zika Belum Heboh di Indonesia?
KKP Wilayah Kerja Bandara Internasional Ahmad Yani memperketat pemeriksaan terhadap penumpang dari Singapura untuk mencegah penyebaran virus Zika menyusul adanya laporan tentang penyebaran virus tersebut. ANTARA FOTO/Harviyan Perdana Putra

tirto.id - Virus Zika di Singapura semakin menyebar, dari satu distrik kini menjadi 12 distrik. Pada Selasa (7/8/2016), sebanyak 17 kasus baru kembali ditemukan. Total Zika yang terdeteksi di Singapura mencapai 275 kasus. Persebaran Zika kini sudah sampai ke Malaysia dan Filipina.

Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong, dalam pertemuan di rapat pleno KTT ASEAN di Laos, kemarin mendesak seluruh negara bekerja sama memerangi Zika. “Sangat penting bagi kami untuk bekerja sama untuk memerangi Zika, Mengingat keberadaan nyamuk Aedes yang membawa Zika jadi endemi biasa di wilayah ASEAN, seperti demam berdarah.”

“Tapi kami harus menempatkan Zika dalam konteks yang tepat," lanjut PM Lee. Dia tentu saja sedang mencari aman. Pernyataan “menempatkan dalam konteks yang tepat” yang dia maksud menunjukan Singapura enggan membuat negara itu heboh dan menyatakan status darurat nasional layaknya Brazil atau negara-negara di Amerika Selatan lainnya. Jika itu dilakukan tentu Singapura akan terisolir dan banyak negara melarang warga mereka berkunjung ke sana.

“Kami harus memperpanjang perlawanan terhadap Zika. Namun kami harus juga memastikan bahwa wilayah-wilayah yang terkena dampak epidemi Zika akan tetap kami tetap terbuka dan terhubung untuk bisnis dan perdagangan,” ucap Lee.

Dari dua inti pernyataan Lee kita bisa mengambil sebuah premis: sadar atau tidak sadar, Zika sebenarnya sudah masuk ke Indonesia. Semua tergantung pada pemerintah berhasil menemukannya atau tidak, mau membukanya ke publik atau malah menutupinya.

Dua hari lalu, diketahui seorang perempuan warga Batam diduga telah terinfeksi virus Zika. Suaminya, yang merupakan warga negara Singapura kebetulan positif terkena virus Zika. Si perempuan pun pulang ke Batam. Di imigrasi dia diisolir karena mengalami gejala mirip dengan penderita yang terkena virus Zika. Namun, hasil tes di rumah sakit ternyata negatif.

Apa yang dialami si perempuan kemungkinan besar dialami juga oleh puluhan atau bahkan ratusan orang lainnya. Pasalnya, bagi sebagian WNI, Singapura adalah rumah kedua. Kunjungan WNI ke Singapura per hari berkisar 9000 orang, entah itu untuk berwisata atau urusan bisnis. Selain itu, diketahui setidaknya ada 240 ribu WNI menetap di Singapura yang tentunya mereka bebas hilir mudik pulang ke Indonesia.

Maka akan jadi sesuatu hal janggal ketika Malaysia dan Filipina sudah mengumumkan kemunculan kasus Zika dan kita malah belum – berfikir seolah semuanya baik-baik saja. Status sebagai negara terdekat dan terbanyak yang mendatangi Singapura memang tidak cukupkah membuat Zika datang?

Ketakutan yang dibagikan PM Singapura tentang penyebaran Zika di negara-negara ASEAN itu ada benarnya. Kesamaan kontur geografi dan iklim tropis hangat membuat penyebaran penyakit akibat nyamuk khususnya nyamuk aedes aegepty amatlah masif terjadi. Seperti diketahui virus Zika disebarkan oleh nyamuk jenis ini.

Tren kenaikan kasus DBD dalam waktu setahun terakhir di Filipina, Singapura, Malaysia, dan Indonesia. WHO melansir pada 2015 kasus DBD di Filipina naik 59,5 persen jadi 169 ribu kasus, sedang di Malaysia naik 16 persen ke 111 ribu kasus. Di Indonesia kenaikan tak terlalu tajam hanya berkisar 98 ribu kasus.

Di Singapura, pada tahun ini, terjadi pemecahan rekor dalam dalam 10 tahun terakhir, hanya dalam kurun waktu 6 bulan telah terjadi 30.000 kasus disana, padahal rerata kasus di Singapura berkisar 15 ribu – 20 ribu kasus per tahun. Alasan-alasan ini yang membikin Singapura, Malaysia dan Filipina ketir-ketir menghadapi Zika.

Terlebih pada pertengahan Agustus lalu hingga akhir September nanti, belahan Asia Tenggara mengalami musim pancaroba. Kenaikan kasus DBD biasa terjadi pada periode ini, sebab aktivitas nyamuk akan meningkat saat udara lembab.

Musim berkembang biak tentu tidak didasarkan iklim saja. Faktor kepadatan penduduk bisa memengaruhi penyebaran DBD. “Di Asia Tenggara, yang memiliki kota-kota besar dengan populasi antara lima sampai 10 juta orang, nyamuk tumbuh subur di lingkungan perkotaan padat,” ucap Eng Eong Ooi, wakil direktur program Emerging Infectious Disease di Duke-NUS Medical School di Singapura kepada CNN.

Semakin padat populasi, biasanya sanitasi yang ada akan semakin buruk. Di negara serapi Singapura saja penyebab banyaknya aedes aegypti disebabkan hal sepele yakni genangan air di pot bunga, apalagi di Indonesia dan Filipina yang memiliki banyak pemukiman kumuh.

Kita harus waspada dengan hal ini, sebab berdasarkan pemetaan Universitas Oxford baru-baru ini, sekitar 2,6 miliar orang di Asia dan Afrika berisiko terkena virus Zika. Pemetaan itu didasarkan atas data endemik DBD, iklim. kondisi sanitasi dan fasilitas kebersihan serta kesehatan. Di Asia Tenggara, diprediksikan Filipina dan Indonesia-lah yang jadi negara terparah penyebaran virus Zika.

Dikutip dari VOA Indonesia, para ahli di kawasan ini mengatakan laporan penyebaran Zika di seluruh Asia Tenggara kemungkinan akan lebih rendah ketimbang kawasan lain. Sinisme terjadi karena otoritas-otoritas kesehatan gagal melakukan penyaringan yang layak.

Indonesia belum mampu melakukan pemeriksaan secara menyeluruh terhadap kemungkinan wabah Zika. Hal ini diakui langsung oleh Muhammad Subuh, Direktur Jenderal Pencegahan dan Penularan Penyakit, Kementerian Kesehatan. “kita tidak mampu untuk benar-benar menguji kemungkinan penyebaran wabah zika.”

Biaya tes yang mahal jadi sebab.” Pada saat ini, kami tidak bisa menguji setiap orang yang dicurigai terinfeksi virus zika karena terlalu mahal.” Bagi Kemenkes mengurusi DBD lebih penting ketimbang Zika. “Ada prioritas lain seperti virus demam berdarah, yang lebih berbahaya, dan kita harus mengalokasikan sumber daya untuk itu.”

Subuh mengatakan biaya tes Zika bisa menghabiskan $150 atau Rp2 jutaan per sekali test. Namun, jika merujuk tarif tes yang dirilis Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) Amerika Serikat, biayanya bisa membengkak beberapa kali lipat. Untuk tes RT-PCR per sampel berkisar $260 (Rp3,4 juta). Ternyata tidak hanya satu tes saja, tes MAC-ELISA senilai $150 (Rp 2 juta) harus dilakukan. Biaya di atas belum ditambah $45 (Rp 500 ribu) sebagai uang jasa tes. Alhasil total per orang harus mengeluarkan biaya Rp5,9 juta.

Angka ini terlalu berat jika dibandingkan dengan alokasi anggaran kesehatan per kapita di indonesia yang hanya sebesar $99 (Rp1,3 juta). Angka ini lebih buruk ketimbang Filipina $135 (Rp1,7 juta) dan jauh sangat dengan Malaysia $606 (7,9 juta) atau Singapura $2572 (Rp33,6 juta)

Masalah lain muncul saat minimnya fasilitas pengujian dan penelitian, seperti yang dikeluhkan Tedjo Sasmono, ilmuwan di Lembaga Eijkman Jakarta, kepada VOA Indonesia. "Tantangan terbesar saat ini adalah bahwa kita mungkin melewatkan pasien-pasien yang terinfeksi Zika karena kurangnya fasilitas dan pengujian.”

Meski dikritik banyak pihak, pemerintah dengan bangga gembar-gembor perang mereka terhadap Zika cukup memuaskan. Kebijakan memperketat bandara dan pelabuhan lewat alat thermal scanner di rasa sudah mampu membendung Zika. Padahal sebenarnya tidak.

Kenapa? Karena thermal scanner hanya akan mendeteksi mereka yang tubuhnya lebih dari suhu normal. Memang betul, demam tinggi merupakan gejala dari Zika. Namun, hal yang mesti diingatkan adalah jika merujuk penelitian CDC, masa inkubasi virus ini masuk ke tubuh berkisar 3-12 hari setelah digigit nyamuk. Pada masa-masa inkubasi itulah gejala akan sukar terdeteksi karena kondisi tubuh si pasien akan relatif normal. Bukan tidak mungkin, dari ribuan orang yang hilir mudik itu, sehari atau dua hari sebelum masuk ke Indonesia, mereka terlibih dahulu digigit nyamuk Zika. Alhasil thermal scanner bisa dikelabui.

Karena itu ketimbang berupaya menenangkan publik dan mengatakan Zika belum endemi di Indonesia, alangkah baiknya pemerintah bersikap terbuka dan rajin melakukan sosialisasi waspada terhadap gejala-gejala Zika secara masif.

Baca juga artikel terkait KESEHATAN atau tulisan lainnya dari Aqwam Fiazmi Hanifan

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Aqwam Fiazmi Hanifan
Penulis: Aqwam Fiazmi Hanifan
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti