tirto.id - Tak lama usai pesawat American Airlines dan United Airlines dibajak Al Qaeda dan menabrak gedung World Trade Center di New York City, tragedi yang dikenal dengan istilah 9/11, dua maskapai terbesar di Amerika Serikat itu tak hanya mengalami kerugian instan bernilai miliaran dolar. Mereka juga, kemungkinan, mengalami kerugian lain bernilai puluhan miliar dolar atas adanya potensi gugatan hukum dari para korban.
Dan, karena tak ingin dua maskapai ini bangkrut hingga menciptakan efek negatif berantai terhadap perekonomian, pemerintah Amerika Serikat dalam tempo singkat, melahirkan Undang-Undang Keselamatan Transportasi Udara dan Stabilitas Sistem (Air Transportation Safety and System Stabilization Act) yang memberi jaminan pada maskapai tersebut.
Jaminan pertama adalah uang tunai USD5 miliar, serta tambahan senilai USD10 miliar dalam bentuk pinjaman. Jaminan kedua adalah membatasi tanggung jawab maskapai atas bencana tersebut.
Agar tak ada seteru hukum antara korban dan maskapai, dibentuk juga Dana Kompensasi Korban (Victim Compensation Fund), dengan Kenneth Feinberg, pengacara sekaligus mantan Kepala Staf Senator Ted Kennedy, sebagai ketua.
Feinberg berpengalaman meredam amarah korban tumpahan minyak Deepwater Horizon dan pemboman lomba maraton Boston hingga membuatnya menggenggam julukan "Master of Disaster". Dia, melalui Victim Compensation Fund ini, ditugasi untuk menentukan nilai kompensasi pada tiap-tiap korban (atau pewaris korban) 9/11. Tugas ini, sebagaimana dipaparkannya dalam memoir berjudul Who Gets What: Fair Compensation after Tragedy and Financial Upheaval (2012), disebutnya "memberi banderol harga pada nyawa manusia."
Tentu, secara umum, merujuk dogma agama hingga pemahaman sosial bersama di tengah masyarakat, semua manusia setara dan karenanya, andai harus diberi banderol harga, berharga sama. Hal yang, menurut Feinberg sendiri, "adil." Namun, dalam menentukan nilai kompensasi korban 9/11, hal itu tak terjadi.
"Kongres menyuruh saya untuk tidak menghitung kompensasi ini seperti itu [...] Kongres meminta saya untuk memperhitungkan potensi kerugian ekonomi yang diderita korban," tutur Feinberg.
Ini terjadi karena, melihat fakta kehidupan, tiap-tiap manusia ternyata berbeda. Jika dilihat dari kacamata ekonomi semata, seorang direktur perusahaan menghasilkan uang yang lebih besar dibandingkan, misalnya, seorang tenaga kebersihan.
Terlebih, serangan pada World Trade Center, tempat beberapa institusi keuangan terbesar di dunia, turut menjadikan orang-orang berduit tebal menjadi korban--kelompok yang, tentu, tak terima dengan kompensasi "seadanya" atau setara dengan korban-korban lain.
Namun, bak paradoks kucing Schrödinger, ada hal-hal lain yang juga harus diperhatian Feinberg. Katakanlah, meskipun seorang tenaga kebersihan menghasilkan uang yang tak seberapa dibandingkan direktur perusahaan, nilai atau "value" uang yang dihasilkan sesungguhnya bisa jadi lebih tinggi karena dia menjadi, menjadi tulang-punggung keluarga.
Hal ini, tutur Feinberg, jadi alasan beberapa janda petugas pemadam kebakaran korban 9/11 meminta kompensasi yang lebih tinggi.
"Karena mereka menggantungkan hidupnya, dan keluarganya, pada satu orang (dan orang tersebut tewas sebagai korban 9/11)," ujarnya.
Menentukan besaran kompensasi ini makin membingungkan karena secara umum tidak ada seorang pun yang ikhlas menerima uang kompensasi atas tragedi yang menimpa mereka atau keluarganya. Mereka hanya ingin korban bisa hidup kembali.
"Sayangnya, saya tak memiliki kemampuan itu."
Ini yang lantas melahirkan paradoks kedua. Memang, uang sebesar apapun tak akan pernah sebanding dengan nyawa. Namun, kata Feinberg, "seandainya saya memberikan kompensasi yang tinggi, mereka (korban/pewaris) tampak senang dan diam tak akan melakukan gugatan apapun."
Diliputi kebingungan serta paradoks, Feinberg menengahi masalah ini. Memanfaatkan matrik bertitel "Explanation of Process for Computing Presumed Economic Loss", Feinberg menentukan jumlah kompensasi tiap-tiap korban (atau pewaris korban) 9/11 dengan memanfaatkan beberapa fakta dasar. Semisal usia korban, pendapatan korban, jumlah anak/tanggungan korban, serta, bak cenayang, memperkirakan masa depan korban atas harta yang dimilikinya terhadap dirinya/keluarganya.
Dengan matrik ini, seorang janda beranak satu dari seorang pekerja berusia 25 tahun yang berpenghasilan USD125.000 per tahun yang menjadi korban 9/11, dapat memperoleh kompensasi sebesar USD4,2 juta. Sebaliknya, andai tak memiliki anak, pasangan yang ditinggalkan hanya memperoleh setengahnya, USD2,1 juta. Serta, andai korban berusia lebih tua, jumlah kompensasi yang diberikan menciut.
Dalam musibah terbesar yang menimpa Amerika Serikat di zaman modern itu, rata-rata kompensasi yang diberikan pada korban 9/11 berada di angka USD1,5 juta (sekitar Rp23 miliar).
Tentu, tak semua korban senang dengan jumlah yang diberikan, dan tak semua korban mau menerima. Hanya
97 persen dari total keluarga atau ahli waris korban yang meminta kompensasi, mau menerima. Tentu pula tak semua musibah cocok menggunakan "Explanation of Process for Computing Presumed Economic Loss" untuk menentukan kompensasi bagi korban.
Bagaimana Pengadilan Menentukan Kompensasi
Dalam artikel Johnson & Johnson and a New War on Consumer Protection yang dimuat The New Yorker, September 2022), Casey Cep menyebut bahwa umumnya, dalam menentukan kompensasi terhadap korban, jumlah uang yang diberikan sangat tergantung terhadap seberapa besar suatu musibah dapat menggerogoti nama institusi/perusahaan/merek subjek pencipta musibah, bukan kesengsaraan yang dialami korban.
Menyebut bedak talek (talc) buatannya sebagai "aset #1" dan menjadi "produk sumber utama kepercayaan konsumen," Johnson & Johnson selalu mengklaim bahwa produk buatannya aman digunakan karena tak mengandung zat berbahaya, terutama asbestos--zat pemercik kanker.
Klaim ini didukung oleh kebijakan Food and Drug Administration (FDA atau BPOM-nya Amerika Serikat) sejak 1970-an. Mereka hanya mewajibkan produsen kosmetik/obat-obatan "setidaknya 99,9 persen bebas dari serat asbes". Johnson & Johnson juga pernah menguji rantai pasokan bahan baku talek yang dilakukan sendiri pada 1940-an. Pada pengujian itu, mereka yang tak menemukan secuilpun asbes tetapi, menurut dokumen internal, mengandung mineral lain seperti tremolite, chrysotile, dan actinolite--yang, dalam bentuk tertentu, sesungguhnya merupakan asbestos.
Naas, klaim Johnson & Johnson hanya berakhir sebagai klaim semata. Dalam sebuah studi berjudul "Talc and Carcinoma of the Ovary and Cermix" (International Journal of Obstetrics and Gynaecology, 1971), ditemukan adanya hubungan antara bedak talek dan kanker ovarium.
Berselang lebih dari tiga dekade usai studi tersebut dipublikasikan, seorang wanita bernama Deane Berg menjadi korban klaim omong kosong Johnson & Johnson ini. Dia divonis mengidap kanker gara-gara talek yang digunakannya.
Awalnya, dengan terus-terusan mengelak produk mereka adalah penyebab Berg mengidap kanker, Johnson & Johnson menawari kompensasi senilai USD800.000 (sekitar Rp12,3 miliar). Lantas Berg menuntut syarat tambahan agar Johnson & Johnson menambah label peringatan (berbahaya) pada talek produksi mereka.
Alih-alih mendapat anggukan kepala, dengan seketika pengacara Johnson & Johnson mengusulkan menambah jumlah kompensasi setengah juta dolar lagi.
Maka Cep benar: seringkali, kalau tidak selalu, jumlah kompensasi dan syarat-syarat untuk mendapatkannya sangat tergantung terhadap nama institusi/perusahaan/merek subjek pencipta musibah, bukan merujuk pada kesengsaraan yang dialami korban.
Ini juga bisa ditengok ke beberapa kasus lain.
Paul Elie dalam "What Do the Church’s Victims Deserve?" di The New Yorker (April 2019), juga menyebut bahwa Vatikan, dalam pelbagai perkara kekerasan seksual yang dilakukan pastor mereka, khususnya di Amerika Serikat, mau memberikan kompensasi tingggi seandainya korban kekerasan seksual "(mau) menandatangani surat pernyataan yang menghilangkan hak untuk menuntut Gereja."
Maka acapkali suara korban nyaris tak terdengar dan seakan tak punya hak dalam menentukan perkara kompensasi. Kecuali jika suara korban ini bisa membahayakan "nama baik" institusi/perusahaan/merek. Maka, andai seorang korban ingin memperoleh kompensasi yang besar atau layak, strategi yang dilakukan Dave Carroll, musisi asal Amerika Serikat, patut ditiru.
Dalam sebuah penerbangan United Airlines, gitar Taylor seharga USD3.500 milik Caroll rusak berat karena penanganan maskapai yang ceroboh. Ia menuntut ganti rugi, harus melewati prosesnya selama sembilan bulan, dan berakhir sia-sia.
Caroll kemudian menciptakan lagu "United Breaks Guitar", dan mengunggahnya di YouTube pada 6 Juli 2009. Dalam sehari, video lagu ini ditonton 150 ribu kali. Per Oktober 2022, sudah ditonton 21,8 juta kali. United Airlines akhirnya meminta maaf, memberi kompensasi USD3 ribu --yang kemudian disumbangkan oleh Caroll ke Thelonius Monk Institute of Jazz.
Namun, nasi sudah jadi bubur. Akibat lagu itu, selain kehilangan muka, harga saham United Airlines turun sekitar 10 persen, dan membuat perusahaan serta pemegang saham kehilangan nilai saham sekitar USD180 juta.
Editor: Nuran Wibisono