tirto.id - Dalam tiga bulan terakhir, lebih dari 1,3 juta orang di seluruh dunia terinfeksi SARS-CoV-2, virus di balik wabah Covid-19. Memanfaatkan teknologi yang telah berkembang, masyarakat terus mencari informasi tentang virus tersebut.
Di Amerika Serikat, kata kunci “what is the coronavirus?” populer di Google. Lalu, ada juga kata kunci “o que fazer em caso de suspeita de coronavírus?” atau “apa yang harus dilakukan jika dicurigai terjangkit corona?” yang populer diketik masyarakat Brazil. Senada dengan itu, “korona vaayaras tips” alias “tip mencegah virus corona” melambung dicari orang India.
Seth Stephens-Davidowitz, penulis “Everybody Lies: Big Data, New Data, and What the Internet Can Tell Us About Who We Really Are,” dalam kolom opininya di The New York Times, menyatakan bahwa data pencarian Google, wabilkhusus tentang suatu penyakit atau wabah, sesungguhnya dapat dikonversikan menjadi perkiraan melihat penyebaran wabah di lokasi-lokasi di mana pencarian terkait penyakit tinggi.
Di akhir Maret hingga awal April, pencarian “I can’t smell” atau “saya tidak dapat mencium bau” meningkat dicari orang-orang di wilayah New York, New Jersey, Louisiana, dan Michigan. Menurut Stephens-Davidowitz, ada bukti kuat bahwa orang-orang yang terinfeksi Covid-19 mengalami kehilangan indera pencium alias anosmia, yang jumlahnya diperkirakan menjangkiti 30 hingga 60 persen penderita.
Di AS, wilayah-wilayah di mana pencarian “I can’t smell” itu memiliki jumlah infeksi corona yang tinggi pula. New York, misalnya, melansir data The Times hingga 7 April, tercatat ada lebih dari 140.000 total warga yang terinfeksi, dengan lebih dari 5.500 jiwa tewas karena corona.
Lalu pencarian “no puedo oler,” yang memiliki arti sama dengan “I can’t smell,” juga sering dicari orang-orang Ekuador. Sebagai informasi, Ekuador merupakan salah satu negara dengan tingkat infeksi corona tertinggi di Amerika Selatan.
Masih merujuk Stephens-Davidowitz, Joshua Gans, profesor pada Rotman School of Management, University of Toronto, menegaskan bahwa pencarian “non sento odori” (“I can’t smell”) melambung dicari orang-orang Italia di Google sesaat sebelum Covid-19 memporak-porandakan negeri itu.
Vasileios Lampos, peneliti pada University College London, dalam papernya berjudul “Tracking Covid-19 Using Online Search” menjelaskan bahwa hingga 24 Maret 2020 lalu, pencarian dengan kata kunci yang berhubungan dengan gejala-gejala Covid-19 memang tengah populer di tengah masyarakat, khususnya di AS, Kanada, Inggris, Australia, Perancis, Italia, dan Yunani.
Secara umum, kata kunci populer di Google yang dapat digunakan mendeteksi persebaran corona ialah “I can’t smell”, “I feel fever and chills”, dan “my eyes hurt”. Menurut Lampos, tingginya pencarian dengan kata kunci gejala-gejala corona memiliki prevalensi yang sebanding dengan kenyataan di lapangan.
Prevalensi antara pencarian Google dan kenyataan lapangan tak hanya terjadi kala wabah Covid-19 mendunia. Dulu, Google memiliki alat khusus bernama Google Flu Trends (GFT) untuk memetakan penyebaran flu di tengah masyarakat melalui pencarian terkait gejala-gejala flu.
Mauricio Santillana, dalam studi berjudul “What Can Digital Disease Detection Learn from (an External Revision to) Google Flu Trends?” menyebut bahwa GFT bekerja dengan mendeteksi kata kunci terkait flu. Tercatat ada 45 istilah yang kemudian diterbitkan Centers for Disease Control and Prevention (CDC) AS.
Masalahnya, menurut Santillana, metodologi GFT memetakan flu di tengah masyarakat kurang kuat. Misalnya, 45 istilah terkait flu yang milik CDC yang digunakan GFT lebih merupakan prasangka CDC sendiri, bukan kenyataan empiris bahwa benar 45 istilah itu berhubungan erat dengan penyakit flu.
Selain itu, flu merupakan salah satu penyakit yang memiliki turunan banyak. Akibatnya, istilahnya pun beragam dan berkembang seiring waktu. Ada Flu babi, H1N1, hingga H1N9, yang sayangnya tidak digunakan GFT.
Studi Kasus di Indonesia
Lantas, bagaimana dengan Indonesia?
Di Indonesia, “apa penyebab virus corona”, misalnya, menjadi salah satu kata kunci yang paling tinggi dicari masyarakat di Google.
Menurut Google Indonesia, titik lonjakan pencarian terkait Covid-19 terjadi pada 2 dan 16 Maret, saat di mana Pemerintah Indonesia secara resmi mengumumkan telah terjadi kasus positif corona di Tanah Air.
Di bulan Maret, pencarian dengan kata kunci “bagaimana cara mencegah virus corona” melonjak hingga 3.840 persen dibandingkan waktu yang sama setahun sebelumnya. Kemudian diikuti “bagaimana penyebaran virus corona” sebanyak 3.010 persen, lalu “gejala awal coronavirus” sampai 8.600 persen.
Sementara itu, di minggu pertama April 2020, pencarian “coronavirus tips” meningkat lebih dari 1.700 persen dalam sistem Google.
Kata kunci atau kueri yang berhubungan erat dengan gejala virus corona pun melonjak. Dalam 90 hari terakhir, kata “batuk”, misalnya, mulai mengalami titik lonjakan pencarian di Google sejak 3 Maret. Kata “batuk” melonjak ke angka 60, di mana 100 merupakan titik tertinggi minat netizen Indonesia mencari hal terkait sebuah kueri.
Kemudian pada 6 Maret, pencarian “batuk” melonjak ke angka 66, 8 Maret ke angka 70, 15 Maret ke angka 88, dan 22 Maret lonjakan pencarian “batuk” berada di titik tertinggi, 100. Kemudian pencarian tentang “sesak nafas” juga ikut melonjak, di mana pencarian paling besar terjadi pada 22 dan 25 Maret.
Sementara itu, wilayah yang paling tinggi melakukan pencarian dengan kueri tersebut ialah Sulawesi Tengah, Jawa Barat, serta Banten. Hingga 1 April 2020, Jawa Barat dan Banten merupakan dua wilayah dengan jumlah penderita Covid-19 tertinggi. Tercatat, ada 220 orang positif terkena corona di Jawa Barat dan 152 positif di Banten. Di Sulawesi tengah sendiri, baru 2 orang yang positif terkena corona.
Kemungkinan tingginya pencarian terkait gejala corona di Jawa Barat dan Banten terkait erat dengan konektivitas yang tinggi dari kedua provinsi ini dengan DKI Jakarta, wilayah di Indonesia yang paling parah terkena corona.
Sementara itu, tingginya pencarian di Sulawesi Tengah sangat mungkin berhubungan dengan gelaran Ijtima Dunia, yang semula hendak digelar di Gowa, Sulawesi Selatan, sebelum akhirnya dibatalkan. Hanya saja, ketika itu sudah terlanjur hadir ribuan orang, termasuk dari luar negeri, untuk menghadiri acara tersebut.
Lebih spesifik lagi, selama sepekan pertama April 2020, masyarakat di Bali adalah yang paling getol mencari informasi seputar corona di Google. Tercatat, dari 10 wilayah di mana masyarakatnya paling banyak mencari informasi corona di Google, 5 berasal dari Bali: Kuta Utara (nomor 1), Karangasem (3), Abiansemal (5), Gianyar (6), dan Kuta (8).
Alasan kuat di balik mengapa warga Bali sangat penasaran soal corona dikarenakan adanya penerbangan dari Wuhan, tempat pertama virus corona muncul, ke Pulau Dewata tersebut. Menurut analisis Joseph T Wu dalam “Nowcasting and Forecasting the Potential Domestic and International Spread of the 2019-nCoV Outbreak Originating in Wuhan, China: A Modelling Study” terdapat 2.432 orang asal Wuhan yang terbang ke Bali setiap pekannya.
Sebagai perbandingan, menurut data BPS, ada 70 penerbangan Semarang-Bali setiap bulan per akhir 2019 lalu. Jika, katakanlah, penerbangan itu diangkut pesawat berjenis ATR 72, pesawat yang lazim digunakan untuk penerbangan jarak pendek dan memiliki daya angkut hingga 78 penumpang, ada 5.460 orang Semarang tiba di Bali setiap bulan.
Artinya: orang Wuhan yang ada di Bali berjumlah hampir setengah dari jumlah orang Semarang yang sedang plesiran di Pulau Dewata itu.
Hingga 1 April, terdapat 25 orang positif terkena corona di Bali. Angka yang relatif kecil jika dikaitkan dengan konektivitas yang cukup tinggi antara Bali-Wuhan. Selain itu, terdapat pula beberapa kasus positif corona lain di luar negeri yang memiliki riwayat sempat singgah di Bali. Ia adalah seorang berusia 60 tahun dan menjadi pasien corona pertama di Selandia Baru.
Melansir RNZ, pasien itu awalnya berada di Iran. Lalu, ia pulang ke Selandia Baru menggunakan maskapai Emirates dengan kode penerbangan EK450. Sebelum mencapai Selandia Baru, pasien diketahui transit terlebih dahulu di Denpasar, Bali.
Lalu, ada pula seorang warga Jepang yang positif terkena corona di negerinya tak lama selepas ia pulang berlibur dari Bali.
Selain berguna untuk melihat keterhubungan antara minat pencarian terkait corona dengan kenyataan lapangan, Google pun dapat dimanfaatkan untuk mengetahui seberapa efektif pembatasan pergerakan warga untuk membendung corona yang dilakukan pemerintah.
Melansir data Google Indonesia, mobilitas warga berkunjung ke restoran, kafe, mall, dan pusat perbelanjaan menurun hingga 47 persen dibandingkan keadaan normal. Lalu, mobilitas warga pergi ke titik-titik layanan transportasi publik, seperti halte Transjakarta ataupun stasiun kereta api, turun hingga 54 persen.
Sayangnya, meskipun kini Work From Home (WFH) tengah digencarkan, Google mencatat penurunan warga untuk pergi ke kantor hanya berada di angka 15 persen. Artinya, tingkat kunjungan ke tempat-tempat rekreasi menurun cukup drastis, tetapi kunjungan ke kantor relatif masih tinggi.
Editor: Eddward S Kennedy