tirto.id - Penampilan istimewa Praveen/Debby ini memberikan secercah harapan tentang regenerasi di sektor bulutangkis Indonesia. Praveen yang baru berusia 22 dan Debby yang sudah berusia 27 tahun terbukti mampu berprestasi setelah senior mereka, Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir mulai meredup. Praveen/Debby juga menjadi sebuah pembuktian tentang keberhasilan proses bongkar pasang oleh PBSI.
Penampilan Istimewa di All England
Praveen/Debby berhasil mengalahkan pasangan suami istri asal Denmark, Joachim Fischer Nielsen/Christinna Pedersen dua set langsung dengan skor 21-12 dan 21-17 di Baycard Arena, Birmingham. Hasil ini tentu mengagetkan mengingat skor pertemuan sebelumnya, Joachim/Christinna menang 6-3 atas Praveen/Debby.
Kemenangan ini terasa spesial karena merupakan gelar pertama di ajang Super Series bagi Praveen/Derby yang mulai disandingkan oleh PB PBSI sejak tahun lalu ini.
“Kami bersyukur kepada Tuhan dan bangga sekali rasanya. Rasanya tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Bisa menang di All England merupakan suatu kebanggaan buat kami. Terima kasih buat seluruh dukungan yang kami dapatkan,” kata Debby dikutip dari situs resmi PB PBSI.
Perjalanan Praveen/Debby di ajang bergengsi All England 2016 bisa disebut istimewa. Unggulan kedelapan ini berhasil menekuk unggulan-unggulan utama di ganda campuran. Pada perempatfinal, mereka menekuk peringkat tiga dunia yaitu Liu Cheng/Bao Yixin. Praveen/Debby menang dua game langsung 21-14 dan 23-21. Semifinal berhasil dimenangkan setelah mengalahkan peringkat satu asal Tiongkok, Zhang Nan/Zhao Yunlei dua set langsung, 21-19 dan 21-16.
Prestasi Praveen/Debby di All England 2016 ini juga lebih baik ketimbang senior mereka di ganda campuran, Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir. Sekedar informasi, pasangan Zhang Nan/Zhao Yunlei dan Liu Cheng/Bao Yixin adalah momok yang menakutkan bagi Tontowi/Natsir. Pada tahun lalu, pasangan nomor satu Indonesia ini tak pernah sekalipun menang dari dua pasangan Tiongkok itu.
Bongkar Pasang Ganda
Hasil di All England 2016 menjadi penegas bahwa redupnya Tontowi/Liliyana bisa segera digantikan oleh kemilau cahaya baru lewat Praveen/Debby. Kehadiran Praveen/Debby di ganda campuran tentu jadi keuntungan tersendiri.
Selama ini prestasi Indonesia memang masih bergantung pada nomor ganda. Di masing-masing nomor, harapan Indonesia selalu terpusat pada satu wakil: Hendra Setiawan/Muhammad Ahsan di ganda putra, Greysia Polii/Nitya Maheswari di ganda putri dan Tontowi/Liliyana di ganda campuran.
Praveen/Debby hadir untuk merombak harapan itu. Posisi mereka bukan hanya sebagai pelapis layaknya Angga Pratama/Ricky Suwandi di ganda putra ataupun Anggia Shita/Ni Ketut Mahadewi pada ganda putri. Posisi Praveen/Debby kini sudah sejajar dengan senior-seniornya.
Di rangking BWF, posisi Praveen/Debby relatif stabil tetap berada di peringkat delapan. Lain hal dengan Angga/Ricky yang sempat di urutan enam, tapi kini terlempar ke urutan 11.
Wajar jika PB PBSI sudah berani membebankan dan mengandalkan Praveen /Debby untuk berprestasi. Target mereka sekarang tak hanya jadi juara di level ASEAN seperti medali emas Sea Games 2015 lalu, melainkan menjadi yang terbaik di dunia.
"Kualitas Praveen/Debby kini jauh lebih baik. Mereka bisa mengalahkan pasangan-pasangan unggulan. Walaupun Tontowi/Liliyana sudah kalah, Praveen/Debby tetap percaya diri melaju sendiri," ucap Richard Mainaky, pelatih tim ganda campuran dikutip dari situs resmi PB PBSI.
“Debby penampilannya konsisten, di latihan pun stabil, jadi saya tidak khawatir di pertandingan. Sedangkan Praveen masih harus tahu cara mengendalikan mood-nya,” jelas legenda bulutangkis Indonesia ini. Ucapan Rexy ada benarnya. Umur Praveen yang baru 22 tahun membuat emosinya tak stabil.
Saat masih jadi pemain junior Praveen sebenarnya biasa bermain di ganda putra. Pasangan di tim Junior adalah Rangga Yave Rianto atau Didit Juang. Tapi saat Kejuaraan Badminton Asia U-19 tahun 2012, dia bermain dobel dengan ikut juga turun di nomor ganda campuran dengan Tiara Rosali Nuraidah.
Kariernya pada nomor ini dimantapkan pada 2013. Dia dipasangkan sekaligus dimentori oleh atlet senior Vita Marissa. Secara mengejutkan pasangan ini sempat jadi semifinalis Malaysia Open Super Series 2013.
Di ajang turnamen kelas dua yakni Grand Prix, Praveen/Vita mampu menyabet tiga gelar yakni New Zealand Open, Malaysia Open dan Indonesia Open. Menariknya pada Indonesia Open, di babak final lawan yang dikalahkan adalah pasangan nomor satu di Indonesia, Tontowi/Liliyana.
Umur Vita kala itu 33 tahun. Kesenjangan umur yang cukup jauh otomatis membuat permainan jadi terganggu. Fisik Vita jadi sebabnya. Hal ini membuat PB PBSI mencarikan pasangan lain. Pilihan jatuh ke Debby Susanto. Pasangan Debby sebelumnya, Muhammad Rijal ditukar dan dipasangkan dengan Vita.
Fisik dan teknik bukan satu-satunya hal utama saat bermain di nomor ganda. Chemistry saling memahami satu sama lain jadi kunci lainnya. Bagi Praveen/Debby tak mudah untuk membangun itu. Pada musim pertamanya dipadukan, prestasi mereka tidak begitu bagus.
Prestasi mereka di ajang Super Series amat buruk, selalu mentok di babak penyisihan. Pada All England dan Singapore Open, Praveen/Debby malah harus terisih di babak kualifikasi. Capaian terbaik adalah lolos ke perempatfinal di Malaysia Open dan India Open.
Nama baik mereka bisa terselamatkan setelah berhasil mendulang perunggu di Asian Games Incheon, Korea Selatan dan finalis turnamen level dua, Malaysia Grand Prix.
Drop di penghujung tahun membuat PB PBSI mencoba menduetkan Praveen dengan Liliyana Natsir di Hongkong Open. Hasilnya mereka tersingkir di babak kedua. Liliyana pun uring-uringan. “Mungkin dia mau tampil bagus dan sempurna tapi tidak bisa. Jadi tidak bisa mengontrol dirinya dan ini kelihatan sekali di lapangan. Praveen harus belajar lagi dan cari pengalaman lebih banyak lagi,” keluh Liliyana.
Mental Rapuh
Penampilan Praveen/Debby semakin membaik pada tahun lalu. Jumlah turnamen yg diikuti pun meningkat dari tahun sebelumnya dari 14 turnamen jadi 21 turnamen. Praveen/Debby bahkan turun di semua ajang Super Series yang berjumlah 13 seri.
Dalam soal prestasi, penampilan mereka pun cukup memuaskan. Meskipun tak pernah bisa juara, di ajang super series mereka bisa lolos ke final satu kali, semifinal dua kali dan perdelapan final tiga kali.
Pada tahun 2015 lalu, pasangan ini mempunyai kekurangan yang cukup besar. Kekalahan pada laga-laga penting sekelas semifinal atau final biasanya disebabkan ulah mereka sendiri yang gagal mempertahankan keunggulan poin.
Mental pasangan ini amatlah mudah rapuh, terutama saat menghadapi para unggulan. Pada semifinal melawan unggulan nomor satu asal Cina, , Zhang Nan/Zhao Yunlei di All England 2015, misalnya. Pada awal set pertama, Praveen/Debby sempat unggul delapan poin, 13-5. Mental yang buruk membuat lawan membalikan kedudukan, menutup set pertama 15-21. Game berakhir setelah pada set kedua, Zhan/Zhao menang 10-21.
Pada Hongkong Open dan China Open, kesalahan ini kembali dilakukan. Praveen/Debby sebenarnya sudah unggul pada set pertama. Namun, pada set kedua dan ketiga giliran lawan yang menghantam mereka.
Pada final Denmark Open, pasangan Korea Selatan, Ko Sung Hyun/Kim Ha Na berhasil memanfaatkan kelemahan ini. Gelar juara pun bisa mereka dapat. Joachim Fischer Nielsen/Christinna Pedersen selalu menang dari Praveen/Debby dengan kunci kesabaran.
Lemahnya aspek mental ini diakui sang pelatih ganda campuran, Richard Mainaky. “Karena dalam pengamatan kami, terkadang mereka lengah di aspek mentalnya,” keluhnya.
Jika berkaca pada hasil All England kemarin, Praveen/Debby ternyata bisa mempertahankan leading point. Penegasan itu bisa dilihat dari hasil di final dan unggulan asal Cina yang mereka tekuk dua set langsung.
Namun, semua tak boleh lengah. Turnamen super series masih panjang. Jangan lupakan juga event Olimpiade di Rio De Janiero, Brazil
Jika menilik dari data performa dua tahun terakhir, Praveen/Debby cenderung akan on fire pada awal-awal tahun, periode Januari - Maret. Lalu setelah itu mereka akan perlahan melempem di pertengahan tahun. Jika pada tahun ini repetisi itu kembali terjadi, maka jangan harap kita bisa melihat Praveen/Debby berprestasi di Olimpiade, yang akan digelar bulan Agustus mendatang. Gelar All England memang sudah didapat, tetapi jangan terlalu jumawa karena pekerjaan di depan masih berat.
Penulis: Aqwam Fiazmi Hanifan
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti