Menuju konten utama

Menanti Gebrakan BPOM Meredam Kasus Keracunan Makanan

Menurut data World Health Organization (WHO), ada dua juta orang meninggal tiap tahun akibat keracunan makanan dan minuman. Di Indonesia, sekitar 200 kasus keracunan makanan terjadi tiap tahunnya. Minimnya pengawasan membuat korban-korban terus berjatuhan. Masih tingginya laporan kasus keracunan makanan di Indonesia di atas menunjukkan bahan makanan berbahaya masih menjadi ancaman bagi konsumen di Indonesia.

Menanti Gebrakan BPOM Meredam Kasus Keracunan Makanan
Warga korban keracunan makanan mendapatkan perawatan di dalam tenda di halaman Puskesmas Girijaya, Kecamatan Nagrak, Sukabumi, Jawa Barat, Senin (18/1). Sedikitnya 91 warga Kampung Bojong Kawung Hilir mengalami keracunan setelah mengkonsumsi makanan dari acara tahlilan pada Sabtu (16/1) malam dan hingga Senin (18/1) masih terdapat 10 warga dirawat di rumah sakit dan 30 warga rawat inap di Puskesmas. ANTARA FOTO/Budiyanto/foc/16.

tirto.id - Senin, 19 Januari 2016, Puskesmas Girijaya di Sukabumi, Jawa Barat, didatangi puluhan orang yang mengeluh pusing dan sakit perut. Para pasien ini keracunan usai mengkonsumsi makanan dalam acara hajatan. Daya tampung yang terbatas membuat pihak Puskesmas kewalahan. Dari 84 orang, hanya 42 yang bisa ditangani. Sebagian dirawat di selasar dan tenda yang dipasang di halaman pekarangan Puskesmas.

Sebanyak 10 orang dirujuk ke RSUD Sekarwangi karena perlu penanganan serius. Sisanya dibolehkan pulang menjalani rawat jalan. Satu korban yang dirawat di RSUD Sekarwangi dilaporkan meninggal dunia sehari kemudian.

Kasus keracunan makanan di Kabupaten Sukabumi merupakan yang tertinggi di Indonesia. Seperti dilansir Antara (19/1/2016), Kepala Bidang Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL) Harun Alrasyid mengatakan, untuk tahun 2015 saja jumlah kasus keracunan di wilayah ini mencapai 16 kasus.

Pada awal 2016, sudah 4 kasus dilaporkan, dengan total jumlah korban mencapai lebih dari seratus orang menjalani perawatan di Rumah Sakit atau Puskesmas. Satu orang dilaporkan meninggal dunia akibat kasus di Girijaya.

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Kementerian Kesehatan yang telah melakukan Survei Konsumsi Makanan Individu (SKMI) pada 2014 menemukan fakta bahwa ada sekitar 200 laporan Kejadian Luar Biasa (KLB) keracunan makanan terjadi di Indonesia tiap tahunnya.

Untuk 2015, Sentra Informasi Keracunan Nasional Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) merilis ada 100 kasus keracunan pangan yang dilaporkan terjadi hingga akhir triwulan ketiga 2015. Tak hanya akibat jajanan dan makanan jasa boga, ada pula korban keracunan dikarenakan minuman ringan serta minuman keras oplosan.

Temuan lain yang diungkap BPOM mengenai jenis pangan bermasalah pun masih sama seperti tahun-tahun sebelumnya. Es batu, bakso berformalin, dan sirup dengan pewarna tekstil adalah tiga jenis makanan berbahaya yang paling banyak beredar di pasar dan dikonsumsi masyarakat.

Pada triwulan pertama 2015 (Januari-Maret) tercatat 25 kasus keracunan pangan dengan perincian 14 insiden yang disebabkan oleh pangan jasa boga, 5 insiden keracunan yang disebabkan oleh pangan jajanan, 3 akibat minuman, serta 2 akibat pangan olahan rumah tangga. Tidak ada laporan korban yang meninggal pada periode ini. Jumlah itu lebih sedikit dibanding periode sama pada tahun 2014 dimana tercatat ada 29 kasus dengan 36 orang dilaporkan meninggal.

Pada triwulan kedua 2015 (April-Juni), ada 50 kasus keracunan pangan. 8 insiden yang disebabkan oleh pangan jajanan, 18 insiden keracunan akibat pangan rumah tangga. Berikutnya 1 insiden keracunan yang tidak diketahui jenis pangannya, 15 insiden keracunan akibat pangan jasa boga. 1 Insiden keracunan akibat air minum dalam tangki yang terkontaminasi, 2 insiden keracunan akibat minuman lain, 3 insiden keracunan akibat minuman keras oplosan, serta 1 insiden keracunan akibat minuman keras. Dalam periode ini dilaporkan ada 18 orang meninggal dunia.

Jumlah itu lebih besar dibanding periode yang sama tahun 2014 di mana tercatat ada 43 insiden dengan 16 orang dilaporkan meninggal.

Pada triwulan ketiga 2015 (Juli - September), ada 25 kasus keracunan pangan. Keracunan akibat pangan itu berturut-turut disebabkan oleh 9 insiden yang disebabkan pangan jasa boga, 5 insiden keracunan akibat pangan jajanan, 4 insiden keracunan akibat pangan rumah tangga, 5 insiden keracunan akibat minuman keras oplosan, dan 2 insiden keracunan akibat minuman ringan. 11 Orang tercatat meninggal dunia dalam periode ini.Jumlah yang sama dengan periode yang sama pada 2014 sebanyak 25 kasus tapi dengan jumlah korban meninggal lebih sedikit yakni 4 orang.

Pengawasan Kurang

Angka kasus keracunan makanan di atas seharusnya bisa menyentil pemerintah agar serius melakukan pencegahan. Namun, BPOM sebagai institusi paling berwenang soal keamanan pangan terlihat kurang ada greget. Dalam beberapa kasus keracunan makanan, BPOM baru sigap melakukan tindakan seperti operasi pasar dan razia makanan berbahaya setelah jatuh korban.

Kepala BPOM Roy Sparringa tak membantah pandangan miring mengenai lembaganya. Roy mengatakan, tingginya kasus keracunan makanan di Indonesia salah satunya memang karena lemahnya pengawasan. Namun, ia menampik jika BPOM dianggap lalai. Roy mengaku BPOM selama ini terus mengawasi bahan pangan berbahaya yang beredar bebas di masyarakat.

Untuk tahun ini, ia menjanjikan BPOM akan lebih gencar lagi melakukan operasi pemberantasan obat dan makanan ilegal. "Untuk obat, kami mengejar produk palsu, dan untuk produk makanan, yang dipermasalahkan umumnya yang kedaluwarsa," tandasnya.

Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Sudaryatmo juga mengeluhkan lemahnya pengawasan makanan berbahaya. Ia menganggap kinerja BPOM lemah dalam mengawasi pangan berbahaya. Selain itu, mudahnya memperoleh bahan berbahaya yang dilarang menjadi bahan makanan juga persoalan tersendiri.

Sudaryatmo mengambil contoh formalin yang sering ditemukan pada beberapa kasus keracunan. Hasil penyelidikan terhadap para pembuat makanan menunjukkan keracunan terjadi karena makanan diberi bahan pengawet yang biasa digunakan untuk mengawetkan jenazah. Formalin, bahan pengawet mayat itu, bisa didapat dengan bebas di pasaran.

"Pemerintah seharusnya punya data penjual mana saja yang bisa memperjualbelikan formalin. Penjual formalin seharusnya juga memiliki data siapa saja pembeli dan akan digunakan untuk apa. Dengan demikian, peredaran formalin dapat terpantau," Sudaryatmo menegaskan.

Soal penegakan hukum dalam kasus keracunan makanan juga menjadi sorotan YLKI. Sebetulnya, kata Sudaryatmo, telah ada seperangkat undang-undang yang melindungi konsumen. Apalagi sejak Menteri Kesehatan mengeluarkan Peraturan Menkes (PMK) No. 2 Tahun 2013 tentang Kejadian Luar Biasa (KLB) Keracunan Pangan. Hanya saja, penegakan hukum belum efektif karena berupa penindakan, yang biasanya muncul setelah kejadian keracunan makanan.

Masih tingginya laporan kasus keracunan makanan di Indonesia di atas menunjukkan bahan makanan berbahaya masih menjadi ancaman bagi konsumen di Indonesia. Angka itu masih di luar kasus-kasus yang tidak dilaporkan pada pihak terkait. Penindakan hukum yang bersifat kuratif saja tak cukup. BPOM harus melaksanakan fungsi pengawasan supaya kasus keracunan dapat dicegah.

“Indonesia sudah memiliki Undang-Undang (UU) tentang Perlindungan Konsumen, UU tentang Pangan, dan sejumlah peraturan lain. Namun, itu saja tidak cukup. Pemerintah harus menjamin semua produk yang beredar di pasar dapat dikonsumsi masyarakat dengan aman dan bebas dari bahan berbahaya," tandasnya.

Baca juga artikel terkait KERACUNAN MAKANAN atau tulisan lainnya

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Reza Yunanto