Menuju konten utama

Menakar Masa Depan Kendaraan Bertenaga Sel Tunam Hidrogen

Mahalnya biaya produksi hidrogen dan aspek keamanan masih jadi kendala utama dalam pengembangan kendaraan hidrogen.

Menakar Masa Depan Kendaraan Bertenaga Sel Tunam Hidrogen
Mobil Hidrogen Toyota Mirai. FOTO/Toyota.com

tirto.id - Tahun 2024 menandai dimulainya persiapan Indonesia menyambut kehadiran kendaraan hidrogen. Ini terbukti dengan diresmikannya stasiun pengisian kendaraan hidrogen (SPKH) milik Perusahaan Listrik Negara (PLN) pada 21 Januari silam. Sekitar sebulan sebelumnya, Pertamina pun telah mengumumkan pembangunan SPBU hidrogen pertama di Indonesia yang sudah mulai beroperasi di Daan Mogot, Jakarta Barat.

Kendati demikian, jalan untuk menuju ekosistem kendaraan hidrogen masih sangatlah panjang. Sebab, seturut laporan Katadata, Pertamina sendiri mengaku bahwa SPBU hidrogennya itu masih sepi peminat. Sebab, menurut Ketua Umum Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), Yohanes Nangoi, harga kendaraan hidrogen sendiri masih sulit dijangkau oleh masyarakat Indonesia.

Kendaraan hidrogen merupakan alternatif ramah lingkungan dari sektor otomotif yang disebut-sebut lebih baik dari kendaraan listrik. Sebenarnya, kendaraan hidrogen secara teknis merupakan kendaraan listrik. Ia bukan kendaraan berbahan bakar gas seperti yang selama ini malang melintang di jalanan Indonesia dalam wujud bus dan taksi.

Bedanya, apabila kendaraan listrik menggunakan baterai sebagai penggerak, kendaraan hidrogen menggunakan sel tunam (fuel cell). Hidrogen dalam kendaraan ini dikonversi menjadi aliran listrik untuk menghidupkan sel tunam tersebut.

Sekilas tentang Kendaraan Hidrogen

Percaya tidak percaya, kendaraan hidrogen sebenarnya sudah eksis sejak 1860. Tepatnya, ketika seorang insinyur Belgia bernama Etienne Lenoir menciptakan Hippomobile—mobil hidrogen pertama di dunia. Kendaraan ini pun cukup laris di pasaran.

Menurut catatan Zainal Arifn, Dosen Institut Teknologi PLN dalam artikelnya di Kompas, mobil ini terjual 400 unit dari 1860 hingga 1886.

Pada 1889, mobil hidrogen dengan sel tunam pertama pun diciptakan oleh Ludwig Mond dan Charles Langer. Namun, boleh dikatakan, mobil sel tunam hidrogen ini tidaklah berkembang pesat. Baru pada 1966, teknologi ini diadopsi General Motors yang merilis Elektrovan ke pasaran. Lebih dari tiga puluh tahun kemudian, NECAR 4 karya Daimler-Chrysler diperkenalkan.

Teknologi sel tunam hidrogen baru memasuki masa pengembangan massal pertama di milenium ketiga. Saat itu, sejumlah pabrikan telah memiliki mobil dengan teknologi tersebut dalam portofolionya, seperti BMW iX5, Honda CR-V FCEV, Ineos Grenadier FCEV, serta Range Rover FCEV. Namun, masih menurut Zainal Arifin, hingga 2022 lalu, jumlah mobil hidrogen yang beredar di jalanan baru menyentuh angka 72.000 unit, sedangkan jumlah kendaraan listrik sudah mencapai 22 juta.

Keunggulan utama kendaraan hidrogen dibanding kendaraan listrik adalah aspek waktu pengisian daya serta jarak tempuhnya. Menurut Dirut Pertamina, Nicke Widyawati, dalam acara peresmian pembangunan SPBU hidrogen Daan Mogot, untuk tiga menit pengisian daya, mobil hidrogen bisa dikendarai hingga 700 sampai 800 kilometer. Sebagai perbandingan, Hyundai Ioniq 6 SE Long Range—yang merupakan mobil listrik paling efisien menurut Motor Trend—“hanya" bisa dikendarai 468 kilometer setelah diisi dayanya selama 60 menit.

Keunggulan lainnya, tentu saja, fakta bahwa hidrogen hijau ini bisa dihasilkan dari banyak sumber, mulai dari tenaga surya, air, angin, serta biomassa. Basuki Tjahaja Purnama, yang kala itu masih menjabat sebagai Komisaris Pertamina, mengklaim bahwa, apabila hidrogen nantinya menjadi sumber bahan bakar transportasi utama di Indonesia, impor minyak tak lagi diperlukan dan defisit anggaran migas hampir pasti bakal bisa ditutup.

Kendala-kendala Kendaraan Hidrogen

Sepintas, segala yang ditawarkan kendaraan hidrogen itu jauh lebih menggiurkan ketimbang kendaraan listrik biasa. Namun, harus diakui, perkembangannya memang masih tertinggal jauh.

Pertama, belum banyak pabrikan yang mau bermain di sektor kendaraan hidrogen. Sudah begitu, rata-rata pabrikan hanya memiliki satu atau dua varian dari kendaraan ini. Kemudian, infrastruktur penunjang seperti tempat servis dan stasiun pengisian daya pun masih sangat terbatas, bahkan di negara seperti Amerika Serikat sekalipun.

Selain itu, biaya pengisian hidrogen juga terbilang mahal. Mengisi daya mobil listrik semalaman setara dengan membeli bensin dengan harga US$1-US$2 per galon, sementara untuk mengisi hidrogen, perbandingan harga bensinnya adalah US$5 hingga US$8,5 per galon.

Biaya yang mahal ini tak bisa dilepaskan dari tingginya biaya produksi dari hidrogen yang digunakan dalam kendaraan berbasis sel tunam ini. Dijelaskan dalam Climate Portal MIT, "Hampir semua hidrogen yang digunakan saat ini diekstraksi dari gas alam dalam proses yang menghasilkan CO2 sebagai produk sampingan. Sistem penangkapan karbon dapat digunakan untuk mencegah CO2 tersebut masuk ke atmosfer (pengaturan ini disebut para ahli sebagai "hidrogen biru"), tetapi hal ini membuat hidrogen yang sudah mahal menjadi semakin mahal."

"Standar emasnya adalah "hidrogen hijau": proses yang menggunakan listrik bersih untuk mengekstraksi hidrogen dari air. Namun saat ini, ini adalah cara yang mahal untuk memproduksi hidrogen—dan seperti kendaraan listrik (EV) yang meningkatkan permintaan listrik bersih baru untuk mengisi baterai mobil kita, hidrogen hijau membutuhkan listrik bersih baru untuk memproduksi hidrogen."

Ketakutan masyarakat akan hidrogen juga menjadi kendala tersendiri. Pasalnya, pada 1937, kapal udara (airship) yang berbahan bakar hidrogen, Hindenburg, meledak di udara. Harus diakui, hidrogen adalah gas yang tidak stabil sehingga mudah bereaksi dan ketika bereaksi dengan elemen yang salah, bisa memicu ledakan.

Sebenarnya, sampai saat ini belum ada kasus mobil hidrogen meledak, tetapi sedikit-banyak citra hidrogen sebagai gas yang mudah meledak ditengarai jadi salah satu musabab belum populernya teknologi ini.

Pada akhirnya, meski dianggap sebagai solusi terbaik untuk mencapai net zero, penggunaan sel tunam hidrogen, khususnya pada kendaraan, belum bisa benar-benar dinilai hasilnya. Pada 2040 mendatang, barangkali, ketika setidaknya 20 persen bus sudah beralih ke sel tunam hidrogen seperti wacana pemerintah Indonesia, barulah efektivitasnya menurunkan emisi karbon bisa ditakar sungguh-sungguh.

Baca juga artikel terkait PERTAMINA atau tulisan lainnya dari Yoga Cholandha

tirto.id - Mild report
Kontributor: Yoga Cholandha
Penulis: Yoga Cholandha
Editor: Fadrik Aziz Firdausi