Menuju konten utama

Menaiki Kereta Mewah ala Jepang

Shiki-shima dianggap sebagai kereta paling mewah di dunia. Harga tiketnya bisa mencapai Rp120 juta per orang. Di satu sisi, Paul Theroux menulis catatan perjalanan terbaiknya dari kereta yang penuh sesak dan karenanya menawarkan banyak cerita.

Menaiki Kereta Mewah ala Jepang
Percobaan kereta mewah Shiki Shima, 13 Februari 2017. Foto/Wikipedia

tirto.id - Nyaris tiga abad berlalu sejak Coalbrookdale Company mulai memasang plat besi pada kereta kayu di 1760. Masa itu menandai awal industri kereta api modern. Jelas ada banyak perubahan sejak itu. Sekarang kereta api tidak hanya sekadar moda transportasi biasa. Ia bisa melambangkan kecanggihan, kecepatan, ketepatan waktu, juga kemewahan.

Jepang menjadi salah satu negara yang industi kereta apinya paling maju. Pada 1964, Jepang mulai meluncurkan jalur kereta cepat pertamanya, Tokaido Shinkansen. Jalurnya merentang sepanjang 515 kilometer, dari Tokyo hingga Osaka. Ada tiga kereta yang melintasi jalur ini dari Nozomi yang paling cepat dan mulai beroperasi sejak 1992, atau Kodama yang paling santai.

Pada mulanya, kereta cepat di jalur Tokaido Shinkansen bisa membuat jarak Tokyo-Osaka atau sebaliknya bisa ditempuh dalam waktu 4 jam. Setahun kemudian durasinya bisa diperpendek jadi 3 jam 10 menit. Pada 2015, saat kereta Nozomi sudah bisa mencapai kecepatan 285 kilometer per jam, jarak tempuh dua kota ini jadi 2 jam 22 menit saja.

Soal kecepatan, kereta maglev Jepang saat ini memegang rekor saat 2015 silam mencapai kecepatan 600 kilometer per jam. Kereta Lo Series itu bisa menempuh jarak 1,8 kilometer dalam waktu 11 detik saja.

Kini tak hanya soal kecepatan saja, industri kereta Jepang bisa menepuk dada dengan predikat baru yang didapat: kereta paling mewah di dunia, lengkap dengan tiket yang termahal. Predikat ini didapat saat kereta Shiki-shima diluncurkan dan langsung mendapat perhatian luas. Kereta wisata ini berangkat dari Stasiun Ueno di Tokyo, menuju resor di pegunungan Yuzawa. Perjalanan berlangsung 3 hari 2 malam.

Sebagai bayangan awal, mari longok harga tiketnya. Yang paling murah dibanderol 500 ribu yen (kurang lebih 4.500 dolar) atau sekitar Rp58 juta per orang untuk suite kapasitas 2 orang. Yang paling mahal adalah kelas Shiki-Shima Suite (maisonette type), yang harga tiketnya adalah 700 ribu yen, atau sekitar Rp120 juta.

Kereta ini terdiri dari 10 gerbong, menampung maksimal 34 penumpang. Di bagian depan dan paling belakang ada gerbong observatory yang dindingnya terbuat dari kaca. Penumpang yang ingin melihat pemandangan bisa langsung dari gerbong itu.

Apa yang membuat tiket kereta ini dihargai begitu mahal? Pertama, dari segi desain dan interior. Di situs resmi JR East, disebut bahwa konsep desain kereta ini menggabungkan estetika Jepang dengan semangat masa depan. Desainer interior kereta ini adalah Ken Okuyama, yang kerap bekerja dengan Ferrari, Porsche, dan Maserati. Di tangannya, bilik kereta bisa serupa apartemen mewah. Ken menyebut desain kereta ini akan serupa, "...hutan yang sepi dan tenang."

Kedua, fasilitas. Karena perjalanan kereta ini berlangsung selama 3 hari 2 malam, atau bisa juga 4 hari 3 malam, maka gerbongnya didesain lengkap dengan kamar tidur. Jika melongok foto-fotonya, aman dibilang kalau kamar di kereta ini lebih mirip kamar hotel ketimbang di dalam gerbong kereta. Gerbong kereta ini juga dilengkapi kamar mandi dengan dinding dan lantai dari kayu, lengkap dengan kotatsu, pemanas tradisional Jepang.

Selain itu, penumpang juga dipastikan dengan makanan yang disajikan oleh Katsuhiro Nakamura. Namanya harum sebagai juru masak pertama Jepang pertama yang mendapat bintang Michelin. Ia pernah melanglang dari Swiss, Perancis, hingga sekarang kembali ke Jepang. Ia ditemani oleh Hitoshi Iwasaki yang menjabat sebagai Head Chef kereta Shiki-shima ini. Gaya masakannya disebut sebagai, "...makanan ala Perancis yang disantap dengan sumpit." Menggambarkan perpaduan antara kuliner Prancis dan Jepang.

Shiki-shima dianggap sebagai kereta paling mewah di dunia. Simon Cadler dari Independent bahkanmenulis bahwa kereta ini "mahal di antara kereta mahal lainnya." Namun apakah ini artinya penumpang akan berpikir panjang untuk beli tiketnya?

Ternyata tidak juga. Tiket kereta ini sudah habis dipesan hingga Maret 2018. Stasiun televisi Jepang NHK mengatakan proporsi pembeli tiket ini adalah: 76 orang yang berusaha membeli tiket, hanya 1 yang bisa dapat tiketnya.

Shiki-shima, yang berarti Pulau Empat Musim, tidak mengutamakan kecepatan. Jika digeber maksimal, kecepatannya mentok di angka 112 kilometer per jam. Namun, dengan kemewahan seperti itu, siapa yang butuh kecepatan?

Apa yang dilakukan Shiki-shima ini melengkapi apa yang sudah dilakukan oleh Seven Star in Kyushu, sebuah kereta wisata di Jepang yang sebelumnya dianggap sebagai kereta termewah di Jepang. Ada 7 gerbong yang mengangkut maksimal 30 orang. Sama seperti Shiki-shima, penumpang harus antre untuk bisa mendapatkan tiket kereta ini. Semua penumpang diundi. Harga tiket dimulai dari 2.200 dolar per orang.

Infografik SHIKI SHIMA

Kereta mewah tentu tidak hanya ada di Jepang. Mulai kereta The Transcantabrico Gran Lujo yang melintasi Spanyol, Maharajas' Express di India, Rovos Rail di Afrika, hingga Golden Eagle yang membelah Moskow hingga Vladivostok. Tiket kereta mewah ini mencapai ribuan dolar. Tentu tidak akan terjangkau oleh orang kebanyakan.

Kereta api memang mengalami banyak transformasi. Semenjak jalur kereta dibangun, para petualang sering menjadikan ular besi itu sebagai sarana berpetualang dan melihat dunia. Kereta api menjanjikan perjalanan yang kaya. Ia tak secepat pesawat terbang, dan bisa menampung lebih banyak penumpang. Waktu perjalanan yang lebih lambat dan jumlah orang yang banyak, itu adalah sumber cerita bagus bagi para petualang maupun penulis perjalanan.

Epos petualangan melalui kereta api yang paling masyhur tentu saja adalah The Great Railway Bazaar (1975). Dalam hampir semua daftar buku perjalanan terbaik, buku buatan Paul Theroux ini selalu ada. Kalaupun tidak ada, sudah pasti penulis artikelnya belum pernah baca Theroux.

Buku itu mengisahkan petualangan Theroux yang menaiki kereta api selama 4 bulan. Berangkat dari London pada 1973, melewati Timur Tengah, India, Asia Tenggara, lalu kembali lagi dengan kereta api Trans-Siberian.

Buku ini menjadi literatur klasik dalam jagat penulisan perjalanan bukan tanpa alasan. Mata Theroux serupa elang yang nyaris tak pernah melewatkan apapun. Telinganya mendengar dengan tajam. Kemampuan naratifnya yang juga dibantu oleh kemampuan menulis fiksinya, lebih dari cukup untuk membuat sebuah babad perjalanan yang menjadi kitab suci para avonturir.

Tak bisa disangkal, kereta api menjadi tulang punggung cerita perjalanan Theroux. Di dalam kereta itu, Theroux seperti menemukan dunia dalam rupa lebih kecil. Di sana, kejutan banyak terhampar.

"Semuanya jadi mungkin di dalam kereta: makanan enak, pesta arak, kunjungan dari seorang penjudi, tipu daya, tidur malam yang nyenyak, hingga monolog orang asing yang serupa cerpen Rusia," tulis Theroux.

Terinspirasi oleh Theroux, Ayos Purwoaji melakukan perjalanan nyaris serupa: naik kereta api dengan rute terpanjang di Indonesia, Krakatau. Meski tidak mewah seperti Shiki-shima, kereta ini menawarkan pengalaman yang amat menarik. Kereta ini berangkat dari Stasiun Kediri, Jawa Timur, menuju Merak, Banten. Panjang rute ini sekitar 925 kilometer. Menempuh perjalanan ini, Ayos melintasi 6 provinsi. Kereta berhenti di 18 stasiun. Durasi tempuhnya sekitar 19 jam.

Di dalam kereta, Ayos juga menemukan hal yang memberikan kejutan, tak jauh berbeda dengan Theroux. Di atas gerbong Krakatau, Ayos bertemu dengan penumpang yang dulu pernah hampir mati saat akan jatuh dari kereta, pemburu Pokemon, Stasiun Merak yang ternyata sepi, hingga raibnya pedagang asongan di kereta.

"Tuntas melintasi Jawa, pulau padat di mana 60 persen populasi negeri menetap, di mana Republik diproklamasikan dan kekuasaan terus diperebutkan, saya sebetulnya mengangankan penutupan yang megah, grandeur, seperti Katedral Santiago de Compostela atau Gunung Kailash yang menyambut peziarah usai menaklukkan jarak yang panjang. Tapi di hadapan saya yang tampak justru kebalikannya: stasiun kecil yang sepi dan diselimuti kegelapan. Nyaris dilupakan," tulis Ayos dalam catatan perjalanannya.

Theroux, Ayos, ataupun para penulis perjalanan yang punya romantisme khusus dengan kereta api, mungkin hanya akan garuk-garuk kepala melihat kereta mewah dengan harga selangit dan minim penumpang ini. Kemewahan dan kenyamanan memang melenakan. Namun ada satu hal yang kurang di sana: kekayaan cerita. Di kereta yang hanya berpenumpang 30 orang tentu kamu tak akan bisa bertemu dengan penjudi, penjual kera dan landak, pedagang asongan, penipu, perayu, ataupun orang stres yang bermonolog laiknya cerpen-cerpen Rusia.

Baca juga artikel terkait KERETA API atau tulisan lainnya dari Nuran Wibisono

tirto.id - Gaya hidup
Reporter: Nuran Wibisono
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti & Nurul Qomariyah Pramisti