tirto.id - Hal-hal tentang prediksi telah lama hidup dalam diri manusia. Mulai dari memprediksi saham mana yang bagus untuk dibeli, memprediksi cuaca yang akan terjadi seminggu ke depan, dan memprediksi siapa jodoh yang akan menjadi teman sehidup-semati. Termasuk, tentu saja memprediksi siapa yang akan memenangkan suatu kontestasi pemilihan umum.
Dengan kemajuan teknologi, prediksi bukan menjadi hal yang sulit dilakukan, dan tentu tak berhubungan dengan hal gaib. Memprediksi saham bisa memanfaatkan data naik turunnya nilai suatu perusahaan. Memprediksi cuaca bisa dengan menempatkan satelit di angkasa dan lantas memberikan data yang relevan untuk kemudian diolah. Memprediksi jodoh telah banyak dilakukan oleh aplikasi-aplikasi ponsel cerdas berbasis Android maupun iOS.
Apakah memprediksi pemenang kontestasi pemilihan umum, bias dilakukan dengan mengamati Twitter?
Dalam tulisan berjudul "What’s in Your Tweet? I Know Who You Supported in the UK 2010 General Election," Antoine Boutet mengawasi riuhnya Twitter dalam memahami dukungan netizen di media sosial berlogo burung tersebut. Secara sederhana, Boutet mengindentifikasi tweet dan retweet yang mengacu pada partai politik peserta pemilu, dalam hal ini Partai Buruh, Partai Konservatif, dan Partai Liberal Demokrat. Ia dan timnya juga mengidentifikasi tweet dan retweet yang berasal dari orang-orang dengan preferensi politik yang sudah diketahui.
Sebagai gambaran, tweet dan retweet yang berhubungan dengan akun resmi partai politik akan dimasukkan ke dalam basis data analisis. Juga tweet dan retweet yang menyebut akun-akun tokoh yang telah diketahui preferensi mereka. Di Indonesia ada contohnya. Akun @pandji yang punya hampir sejuta pengikut jelas-jelas mendukung Anies-Sandi, sedangkan @jokoanwar adalah salah satu akun paling berpengaruh di pihak Ahok.
Penelitian Boutet tersebut mengidentifikasi lebih dari 10.000 tweet yang diklasifikasikan dalam 419 topik. Hasilnya, grafik tweet yang berafiliasi dengan Partai Konservatif dan Partai Liberal cukup tinggi meninggalkan Partai Liberal Demokrat. Sebagaimana diberitakan BBC, Partai Konservatif memenangkan pemilihan umum di tahun 2010 tersebut.
Selain itu, dalam paper berjudul "Predicting Elections with Twitter," Andaranik Tumasjan melakukan pengamatan pada dunia Twitter di Jerman. Tumasjan mengidentifikasi 70.000 tweet yang me-mention 1 dari 6 partai politik utama dan ia juga memonitor lebih dari 35.000 tweet yang berafiliasi dengan tokoh politik.
Tumasjan melakukan analisis kata untuk mengidentifikasi dukungan sebuah tweet atau retweet. Misalnya kata “mungkin” akan diasosiasikan sebagai suatu “kesementaraan.” Artinya, tweet yang mengandung kata tersebut diasosiasikan sebagai bentuk netral. Sedangkan kata-kata misalnya “dukung” akan diasosiasikan sebagai bentuk dukungan terhadap partai atau politisi yang ia sebut.
Jurnal tersebut mengelompokkan tweet-tweet pada berbagai kelompok asosiasi. Misalnya pada orientasi masa depan, orientasi masa lalu, emosi positif, emosi negatif, kesedihan, marah, kesementaraan, dan berbagai asosiasi lain yang mungkin menggambarkan perasaan psikologis seseorang pada partai atau politisi tertentu. Tweet-tweet yang dibuat dan memiliki kata-kata yang berasosiasi dengan fokus-fokus tersebut, akan dijadikan pijakan oleh Tumasjan dan timnya, siapa mendukung siapa.
Namun, menurut laporan BBC, Pierre Kloppers, pemimpin BrandsEye, firma analisis media sosial mengatakan “algoritma sangat susah untuk memahami perasaan seseorang.” Apa yang dilakukan Boutet dan Tumasjan terlalu matematis dan terlalu fokus pada algoritma yang bekerja selayaknya sebuah robot.
BrandsEye juga melakukan analisis terhadap Twitter. Saat pemilihan presiden Amerika Serikat tahun lalu, BransEye memprediksi kemenangan akan berada di pihak Trump. BransEye melakukan komparasi Tweet yang pro terhadap Trump dan pro terhadap Clinton. BrandEye mengambil 200.000 tweet dan dicek oleh mata manusia, bukan algoritma.
Hal tersebut berdasarkan asumsi bahwa manusia mampu menangkap maksud sebuah tweet lebih baik daripada algoritma komputer. Misalnya tweet yang berbunyi “saya mendukung Ahok menyelesaikan kasus Al Maidah.” Algoritma hanya akan fokus pada kata “mendukung” dan lantas memasukkan tweet tersebut ke dalam kelompok “pro Ahok.” Sedangkan manusia, akan berpikir bahwa tweet tersebut apakah sebuah bentuk dukungan, satir, atau justru anti terhadap Ahok.
Dalam karya Tumasjan, dijelaskan bahwa Twitter telah menjadi komunikasi yang sah dalam arena politik, terutama setelah apa yang terjadi di 2008 saat Barack Obama memanfaatkan Twitter dengan sangat cerdik untuk berkampanye. “Twittersphare” merupakan indikator dari opini politik yang berkembang di masyarakat. Menangkap apa yang terjadi dalam “Twittersphare” artinya memahami apa yang terjadi dalam dunia politik akar rumput.
Sayangnya, terlalu banyak bot atau botnet yang bertebaran di dunia Twitter. Hal tersebut mengakibatkan opini yang bertebaran di Twitter, merupakan opini yang dibuat-buat oleh kelompok kecil tertentu dan seakan-akan merupakan opini umum yang terjadi di dunia maya.
Hal senada juga diutarakan Ismail Fahmi, pendiri Media Kernel Indonesia. Ia mengatakan bahwa memprediksi kemenangan pemilu di dunia nyata, khususnya di Indonesia baik di tahun 2012 saat pilkada DKI berlangsung maupun 2014 saat pilpres berlangsung dan kini 2017 melalui Twitter, “agak susah, bukan sentimen publik.”
Ismail lebih lanjut mengatakan bahwa dalam Pilkada DKI yang kini sedang berlangsung, buzzer memiliki peran yang besar dalam riuhnya dunia Twitter di Indonesia.
Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa pasangan nomor 2, Ahok-Djarot memiliki buzzer yang lebih unggul daripada pasangan nomor 1 dan 3. “Luar biasa Teman Ahok, sangat terorganisir dan tokoh-tokohnya banyak.”
Sentimen yang ada di riuhnya dunia Twitter dalam masa pilkada DKI kini, lebih banyak di-tweetkan oleh bot dan buzzer. Ismail menyoroti tim cyber pasangan nomor 1 dan 3 yang dinilainya “kurang modal.” Akibatnya, jauh lebih banyak percakapan yang melibatkan pasangan nomor 2 daripada pasangan lainnya.
Tumasjan yang melakukan penelitian dalam dunia Twitter di masa pemilu di Jerman, didapatkan fakta bahwa 40 persen diskusi-diskusi yang terjadi di Twitter dalam pemilu Jerman, hanya dilakukan oleh 4 persen pengguna Twitter saja. Hal ini tentu merupakan sesuatu yang perlu dipikirkan oleh pihak-pihak yang berkepentingan memanfaatkan Twitter sebagai medium analisis.
Jika Twitter telah dipenuhi bot, bagaimana dengan suara asli netizen di Twitter? Nampaknya, hanya hasil resmi pemilihan umum-lah yang akan menjawab segala keraguan.
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Maulida Sri Handayani