tirto.id - Sebuah tulisan merupakan manifestasi dari bahasa yang diucapkan. Mungkin itu makna yang dapat diserap dari keberadaan tulisan dalam peradaban manusia selama ini. Salah satu evolusi yang paling berguna untuk menstandarisasi lisan adalah kehadiran huruf Alphabet.
Apakah pernah terpikirkan bagaimana huruf Alphabet yang selama ini kita gunakan untuk menulis bisa menjadi huruf yang ‘umum’ diterima oleh semua orang? Kata Alphabet ini berasal dari Bahasa Yunani ‘Alpha’ dan ‘Beta’.
Keberadaan Alphabet sebagai sebuah standar mampu membuka gerbang komunikasi melewati batasan budaya di seluruh dunia. Namun, sejatinya sebelum sistem Alphabet, terdapat beberapa sistem penulisan lain.
Mengutip dari Encyclopedia of Social and Behavioral Sciences, secara independen, terdapat setidaknya tiga sistem penulisan (writing systems) yang berkembang dari tiga wilayah di dunia, wilayah Timur (Near East), China, dan Mesoamerica. Perkembangannya bisa dibagi ke dalam empat tahap.
Jejak tulis menulis masa lampau pertama ditemukan dalam media tanah liat tiga dimensi berbentuk bola, lempengan, silinder, dan kerucut yang digunakan sebagai sistem penghitung. Misalnya, untuk bentuk bola dan kerucut diartikan oleh mereka sebagai satuan kecil dan besar untuk mengukur gandum.
Sistem penghitungan ini dikenal sebagai cuneiformdan telah ada sejak 8000 – 3500 sebelum Masehi oleh Bangsa Sumer di Mesopotamia (saat ini di wilayah Irak).
Evolusi terus berjalan lalu bergeser dengan menggunakan gambar dua dimensi untuk simbol nomor dan suku kata fonetik (phonetic syllabic signs). Sama halnya dengan cuneiform, sistem ini juga masih fokus terhadap penghitungan (accounting systems) dan mulai digunakan sejak 3500 - 3000 sebelum Masehi. Uniknya, perhitungan digambar di atas amplop tanah liat.
Pada tahap ketiga, kata-kata fonetik tersebut kemudian berkembang penggunaannya untuk melakukan transkripsi dari nama individu, ditandai dengan dimulainya tulis menulis didasari komunikasi lisan yang muncul pada 3000 - 1500 sebelum Masehi.
Bangsa Sumer pada saat itu sudah mulai memahami tentang kehidupan akhirat, dan mulai menuliskan nama-nama individu yang meninggal dalam prasasti pemakaman.
Lalu, pada tahap keempat mulai muncul dua belas huruf yang memiliki pengucapan masing-masing. Tahap inilah yang menjadi awal perkembangan huruf Alphabet yang kita kenal saat ini.
Tahun 1.750 sebelum Masehi menjadi awal kemunculan Alphabet, diambil dari huruf Proto Sinaitic. Lantas, mengapa Alphabet yang saat ini ada menjadi standar huruf secara global?
Proto Sinaitic ini awalnya digunakan di basis daerah yang luas jangkauannya di kawasan Libanon dan Mediterania. Kemudian, penggunaannya meluas dan menjadi acuan dalam Bahasa Yunani, Romawi, dan Latin, untuk membentuk Alphabet masing-masing.
Sumber Cuan dari Catatan
Mencatat berarti mengingat. Prinsip itu masih sama dari awal kemunculan tulisan di Sumer hingga saat ini. Buku catatan menjadi salah satu output yang bisa dihasilkan dari mengumpulkan informasi melalui tulisan.
Dalam konteks modern di sekolah misalnya, setiap hari para siswa dan siswi memperhatikan materi yang gurunya sampaikan, kemudian dituangkan dalam bentuk tulisan di buku catatan.
Selepas sekolah, buku catatan tersebut digunakan kembali untuk mengingat materi yang disampaikan, terutama guna membantu pekerjaan rumah (PR) atau pun menjelang ujian.
Namun, sayangnya setelah selesai digunakan, banyak orang yang justru bingung buku catatan miliknya ini harus dimanfaatkan sebagai apa lagi? Sebagian memilih untuk menghibahkannya, dan sebagian lainnya memilih membuang atau menjualnya di pasar barang bekas untuk didaur ulang.
Padahal jika ditelaah secara jeli, buku catatan ini berpotensi untuk mendulang keuntungan. Gimana caranya?
Nah, terdapat opsi yang saat ini masih minim dimanfaatkan oleh orang-orang, yaitu menjual buku catatan. Tidak dijual secara harfiah, tetapi yang dijual hanyalah rangkuman isi dari buku catatan yang selama ini digunakan. Jadi, buku catatannya masih menjadi milik sang penulis.
Sejauh ini ada situs yang mendukung peluang ini untuk terjadi, yaitu Studypool dan Stuvia. Di Studypool, kalian bisa menjual dokumen catatan yang dilihat lebih dari 10 juta siswa di seluruh dunia. Jika diamati dari pengalaman orang-orang di sana, rata-rata penjualannya adalah 6-10 dolar AS atau kisaran Rp98-163 ribu untuk satu materi (asumsi kurs Rp16.300/dolar AS).
Bayangkan ada 100 murid yang membeli, berarti sudah 600 dolar AS digenggam (belum termasuk potongan lainnya). Keunggulannya yang lain adalah, mereka mendukung semua Bahasa. Jadi, jangan khawatir dokumen berbahasa Indonesia tidak akan laku terjual.
Sementara itu ada Stuvia, sebuah platform yang telah berkembang sejak tahun 2011. Mereka juga membuka kesempatan untuk memeroleh pemasukan dari menjual catatan. Kalau di Stuvia, para kontributor buku catatan akan dibayar dengan poundsterling. 1 poundsterling setara Rp21.000. Penjual di Stuvia diperkirakan mendapatkan 62 pounsterling per bulannya
Ada dua keuntungan dari menjual catatan ini. Pertama, catatan tersebut dapat membantu orang-orang yang membutuhkan pemahaman lebih ringkas terhadap satu subjek tertentu. Karena setiap pengajar memiliki lingkup pemahaman yang berbeda-beda, maka bukan tidak mungkin tingkat kedalaman dari catatan juga bervariasi, dan ini membantu melengkapi kebutuhan orang lalin yang sedang belajar.
Kedua, buku yang dipakai mencatat tetap ada dan bisa digunakan untuk diri sendiri. Opsi lainnya, jika memang berencana untuk dijual, maka cuan-nya jadi dua kali! Dari penjualan catatan dan juga penjualan buku bekas.
Kedua platform tersebut sudah berdiri cukup lama, tetapi masih banyak orang Indonesia yang belum memanfaatkannya sebagai side-job untuk dapat menghasilkan passive income setiap bulannya. Beberapa testimoni telah membukti keberhasilan platform ini untuk menjadi ladang cuan tambahan. YouTuber Parama Suteja adalah salah satu yang memperkenalkan side-job ini melalui channel YouTubenya.
Gimana, tertarik untuk mencoba?
Editor: Dwi Ayuningtyas