Menuju konten utama
Hari Down Syndrome Sedunia

Memilih Pendidikan Untuk Anak Down Syndrome

Mencari sekolah untuk anak down syndrome terbilang cukup sulit dan dilematis.

Sejumlah siswa dengan "down syndrome' berfoto usai mengikuti kegiatan belajar di Sekolah Berkebutuhan Khusus (SBK) Salsabila, Periuk, Tangerang, Banten, Selasa (21/3). Pada Hari Down Syndrome Sedunia, para siswa yang didorong guru berharap tetap mendapat ruang di masyarakat untuk berprestasi. ANTARA FOTO/Fajrin Raharjo/foc/17.

tirto.id - Pada 9 Februari 2014, CoorDown, organisasi dari Italia yang berfokus pada pengidap down syndrome, mendapat surel dari seorang calon ibu yang berisi, “Aku sedang mengandung bayi yang didiagnosis mengidap down syndrome. Aku takut: kehidupan macam apa yang akan dijalaninya nanti?”

Menanggapi hal ini, mereka mengunggah sebuah video bertajuk “Dear Future Mom” di Youtube. Di dalamnya, ada lima belas pengidap down syndrome dari berbagai usia dan kewarganegaraan yang mengirimkan pesan kepada si calon ibu tersebut.

“Kepada calon ibu, jangan takut. Anakmu akan bisa melakukan banyak hal. Dia akan dapat bersekolah seperti semua orang. Dia akan mampu membantu ayahnya memperbaiki sepeda. Suatu hari nanti dia berada di tempat yang jauh karena pada akhirnya dia akan bisa berkeliling juga. Dia akan bisa bekerja dan mencari nafkah. Dari uang hasil kerjanya, ia akan dapat mengajakmu makan malam, atau menyewa apartemen dan tinggal sendiri. Kadang, rasanya akan sangat sulit, bahkan nyaris tidak mungkin [menjalani peran sebagai ibu]. Tetapi, bukankah memang seperti itu pengalaman semua ibu? Kepada calon ibu, anakmu bisa bahagia, sama seperti aku. Dan, kamu pun akan bahagia.”

“Dear Future Mom” dirilis dalam rangka memperingati Hari Down Syndrome Sedunia yang jatuh setiap tanggal 21 Maret. Pemilihan tanggal ini didasari oleh karakter genetis pengidap down syndrome yang memiliki 3 kromosom ke-21 atau yang biasa dikenal dengan nama trisomy 21.

Karena ada kelainan genetis ini, pengidap down syndrome memiliki wajah tipikal. Dilansir WebMD, beberapa ciri fisik lain yang mungkin ditemukan pada mereka adalah bentuk mata yang menyerupai almond, wajah yang lebih rata, lidah yang cenderung terjulur, jari-jari yang lebih pendek, dan satu garis horizontal pada telapak tangan yang dikenal dengan simian crease.

Kendati memiliki tampilan fisik yang khas, mereka dapat pula mempunyai karakteristik lain yang berbeda antar-individu. Soal kemampuan intelektual misalnya. Seorang pengidap down syndrome bisa saja lebih cepat menyerap informasi baru dibanding yang lainnya. Variasi kemampuan intelektual mereka pula yang bisa memengaruhi pilihan orangtua dalam memilih sekolah untuk anak pengidap down syndrome.

Melirik Sekolah Inklusif

Seperti pesan yang disisipkan dalam “Dear Future Mom”, salah satu kecemasan orangtua anak down syndrome terkait dengan pendidikan yang akan diberikan kepadanya. Sebagian orangtua memilih untuk menempatkan anaknya di sekolah luar biasa (SLB) atau pendidikan nonformal, sedangkan sebagian lainnya tidak ragu untuk menyekolahkan anaknya di sekolah biasa.

Pilihan kedua dapat muncul setelah sembilan tahun silam, Kemendiknas mengeluarkan peraturan No. 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif Bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa. Lewat peraturan ini, penyandang disabilitas dapat bersekolah di sekolah umum yang ditunjuk oleh Pemkot/Pemkab untuk menyelenggarakan pendidikan inklusif. Kurikulum yang diterapkan di sekolah tersebut akan disesuaikan bagi penyandang disabilitas berdasarkan minat dan bakatnya dan akan ada tenaga pengajar terlatih yang akan menangani mereka.

Selain sekolah yang ditunjuk Pemkot/Pemkab, inisiatif untuk merangkul penyandang disabilitas juga bisa datang dari pihak swasta. Sekolah High/Scope Jakarta adalah salah satunya. Rani, staf pusat informasi sekolah tersebut, menyatakan bahwa di sana ada siswa-siswa pengidap autisme, ADHD, disleksia, dan keterlambatan bicara.

“Mereka ditempatkan sekelas dengan siswa-siswa yang tidak berkebutuhan khusus. Sebelum atau sesudah sekolah, mereka juga diberikan program tambahan sesuai dengan kebutuhannya,” terang Rani.

Mengenai kuota anak dengan disabilitas di Sekolah High/Scope, Rani menyatakan tidak ada batasan tertentu. Penentuan jumlah siswa penyandang disabilitas dalam satu kelas bergantung pada berat ringan atau jenis disabilitas yang mereka punyai. Hal ini diketahui dari tes awal oleh psikolog di sekolah tersebut.

Kendati sudah ada upaya pemerintah dan swasta untuk mengikutsertakan anak penyandang disabilitas dalam kegiatan belajar mengajar di sekolah biasa, tidak berarti pengidap down syndrome seratus persen mendapatkan angin segar. Rina Niawati, perwakilan Persatuan Orang Tua Anak Down Syndrome (POTADS) mengungkapkan bahwa dirinya masih menemukan sekolah inklusi negeri di Bandung yang memilih-milih siswa.

Kebanyakan dari sekolah inklusi negeri lebih menerima siswa dengan keterbatasan fisik. Kalaupun menerima siswa dengan keterbelakangan mental, sekolah macam itu menerapkan syarat seperti batas IQ minimal yang tidak sanggup ditembus anak-anak down syndrome. Opsi pun beralih ke swasta, tetapi hal ini mendatangkan kendala lain seperti perkara biaya sekolah yang lebih tinggi dibanding sekolah negeri.

Sikap pilih-pilih siswa yang ditunjukkan pihak sekolah juga terlihat dalam sebuah kasus di Australia. Tahun 2015, Joel Deane pernah hendak mendaftarkan anaknya yang mengidap down syndrome ke sekolah biasa di Australia. Alih-alih diterima dengan baik, ia malah mendapat respons pihak sekolah yang mengecewakan.

src="//mmc.tirto.id/image/2018/03/20/down-syndrome--mild--quita-01.jpg" width="860" alt="Infografik Down Syndrome" /

Belajar di Sekolah Luar Biasa

SLB lebih sering dipilih oleh orangtua anak pengidap down syndrome karena ada anggapan bahwa tempat tersebut memiliki staf pengajar yang kompeten dan fasilitas yang cukup baik. Bukan hanya penguasaan materi saja yang menjadi syarat pengajar SLB, tetapi juga pendekatan-pendekatan yang berbeda saat mengajar siswa mereka dibanding dengan peserta didik tidak berkebutuhan khusus.

Ane Tewiane, Wakil Kepala Sekolah SLB C1 Dharma Asih Depok, Jawa Barat, mengisahkan pengalamannya mengajar anak down syndrome. SLB ini menampung 53 siswa down syndrome, mulai dari level SD sampai SMA. Usia mereka mulai dari 8 hingga 20 tahun.

“Sekarang lagi ujian SMA, sudah dua hari ini satu siswa mengikutinya. Ya walaupun hanya seorang yang ikut, persiapannya sama kayak sepuluh anak yang ikut ujian. Kami bikin soal sendiri, validasi ke gugus, lalu ke dinas, lalu ada pengawas juga yang periksa ke sini. Terus tadi, kami butuh dua jam untuk membujuk siswa yang akan ujian tersebut untuk masuk ke ruangan,” terang Ane.

Disinggung soal jumlah pengajar di sekolah tersebut, Ane mengatakan ada delapan orang yang bertugas di bagian C1, sudah termasuk kepala sekolahnya. “Seharusnya satu guru mengajar 5 siswa, tapi kenyataannya di sini saya mengajar 10 siswa dalam satu kelas,” imbuh Ane. Kemudian soal ruangan, kelas-kelas di SLB yang tahun ini genap berusia 40 tahun tersebut dipakai secara bergantian: pagi hari oleh siswa SLB C dan C1, siang hari oleh siswa SLB B.

Mengenai kerja sama dengan psikolog, Ane mengatakan bahwa psikolog biasanya datang pada awal tahun ajaran baru atau pengujung tahun saja. "Nggak setiap bulan atau setiap minggu gitu. Bentuknya juga pertemuan aja, bukan pendampingan setiap kegiatan," kata Ane.

Pilihan Pendidikan Nonformal

Jika orangtua tidak ingin menyekolahkan anaknya di SLB, pengidap down syndrome masih bisa mengecap pendidikan di lembaga nonformal, seperti di Center of Hope yang dibentuk Aryanti Rosihan Yacub. Sebelumnya, perempuan ini lebih dulu mendirikan Ikatan Sindroma Down Indonesia (ISDI) sejak 21 April 1999. Kala itu, informasi soal down syndrome masih begitu terbatas sehingga fokus kegiatan ISDI adalah sharing pengalaman dan pengetahuan antar-orangtua yang memiliki anak down syndrome.

Sepuluh tahun sejak ISDI berdiri, Aryanti merasa perlu membekali anak-anak down syndrome dengan keterampilan khusus agar mereka pun bisa berprestasi layaknya anak-anak lain. Lewat Center of Hope-lah, ia mendidik anak-anak dengan materi yang diracik sendiri olehnya dan sejumlah pengurus lain. Seiring waktu, Aryanti mengajukan materi pendidikan nonformal yang dikreasikannya ke Kemendiknas sampai akhirnya materi tersebut disahkan dan kegiatan belajar-mengajar di sana diberi izin untuk diteruskan.

Untuk pelajaran Bahasa, siswa Center of Hope lebih diarahkan pada kemampuan berbicara. Sementara untuk pelajaran Matematika, mereka lebih mengarahkan siswa untuk menguasai kemampuan berhitung sederhana seperti ketika berbelanja di supermarket. Bila mereka ingin berkegiatan seni atau olahraga, Center of Hope memfasilitasinya dengan membuka program ekstrakurikuler renang, senam, hip-hop, karate, dan angklung.

Beragam program ekstrakurikuler yang ditawarkan Center of Hope tidak lepas dari kebutuhan fisik pengidap down syndrome. “Otot mereka kan cenderung lemah, jadi lewat kegiatan-kegiatan ini mereka bisa melatih fisik dan menjaga staminanya,” jelas Aryanti.

Kembali Pada Kebutuhan Anak

Menurut Elizabeth Wahyu Margareth Indira, psikolog di Lembaga Psikologi Terapan Talenta, Semarang, pilihan tempat menyekolahkan anak down syndrome harus dikembalikan lagi pada kebutuhan mereka masing-masing.

“Bila anak mengalami gangguan mental berat, sebaiknya memang di SLB dengan pertimbangan guru serta sarana dan prasarananya lebih siap. Namun, bila kondisinya memungkinkan, anak down syndrome bisa juga dimasukkan ke sekolah inklusi,” jabar perempuan yang akrab disapa Ira ini.

Dengan bergabung bersama anak-anak lain yang tidak berkebutuhan khusus, anak down syndrome bisa mendapat stimulasi, mengamati, dan belajar dari teman-teman yang karakternya berbeda dengan dirinya. Kebutuhan anak juga bisa diketahui dari hasil pemeriksaan oleh psikolog atau dokter.

Ira mengatakan, tekniknya bisa melalui wawancara dengan orangtua atau pengasuh, observasi, dan tes kepada anak. Dari hasil pemeriksaan tersebut akan terlihat kekurangan dan kelebihan anak sehingga dapat diprediksi apakah ia mampu mengikuti pendidikan atau tidak.

Dalam catatan Talenta sendiri, sampai kini ada empat klien anak yang mengidap down syndrome usia 3-6 tahun dan semuanya bersekolah di sekolah inklusi. Sejauh ini, mereka mampu mengikuti pelajaran dengan baik.

Baca juga artikel terkait DOWN SYNDROME atau tulisan lainnya dari Patresia Kirnandita

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Patresia Kirnandita
Penulis: Patresia Kirnandita
Editor: Nuran Wibisono