tirto.id - Gegap gempita pesta olahraga Olimpiade musim panas Rio 2016 telah berakhir pada 21 Agustus lalu. Sejumlah prestasi telah diukir oleh atlet-atlet dari beragam negara. Nama mereka terukir dalam sejarah sebagai peraih medali.
Ibarat sebuah cerita film, torehan medali di Olimpiade mudah ditebak siapa saja jagoan-jagoan yang jadi pemenangnya. Negara-negara maju selalu menjadi langganan peraih medali terbanyak. Sementara itu negara-negara dunia ketiga gigit jari, hanya segelintir yang bisa unjuk gigi.
Pada Olimpiade Rio 2016, Amerika Serikat (AS) menjadi satu-satunya negara yang mampu menyabet medali hingga 3 digit dengan perolehan hingga 121 medali, termasuk 46 medali emas. Bila dirunut dari kategori capaian medali emas, Inggris Raya di peringkat kedua sebanyak 67 medali, termasuk 27 emas. Cina mencatatkan di peringkat ketiga dengan 70 medali, termasuk 26 medali emas. Sepuluh besar peraih medali terbanyak merupakan negara-negara dengan pendapatan per kapita yang tertinggi di atas 12.475 dolar AS per tahun.
“Perolehan medali yang membanggakan ini jauh terdistribusi secara merata dari berbagai negara. Daftar medali didominasi oleh negara-negara yang relatif kaya,” kata Profesor dari University of Liverpool, David Forrest dikutip dari thestar.com.
Sementara itu negara berkembang seperti Indonesia termasuk yang beruntung bisa meraih satu medali emas yang prestisius, dengan total raihan sebanyak 3 medali berada di peringkat 46. Indonesia memang masih di bawah Thailand duntuk perolehan medali dari kawasan Asia Tenggara. Thailand mampu menyabet 2 medali emas dari total 6 medali di peringkat 35.
Pada Olimpiade Rio 2016 ada 200 lebih negara yang ikut serta. Sayangnya hanya 78 negara yang bisa membusungkan dada bisa membawa pulang medali. Negara-negara yang pulang dengan tangan kosong kebanyakan adalah negara-negara miskin atau berpendapatan per kapita paling rendah terutama di Afrika.
Yang menarik, negara kaya tetapi bukan sebagai negara besar berhasil “mencuri” medali di Olimpiade Rio 2016. Mereka adalah Uni Emirat Arab, Qatar, Bahrain, dan beberapa negara lainnya. Negara-negara ini mampu ”membeli” medali di ajang pesta olahraga dunia ini.
Naturalisasi
Pada 15 Agustus lalu terjadi peristiwa unik saat Olimpiade Rio 2016. Dua orang asal Kenya sama-sama meraih medali dari lomba lari 3.000 meter. Mereka adalah Ruth Jebet peraih emas dan Hyvin Kiyeng Jepkemoi penerima perak. Keduanya naik di podium bersama pelari asal AS, Emma Coburn yang meraih perunggu.
Kedua wanita Afrika itu memang sama-sama dari Kenya. Bedanya, Jebet mempersembahkan medali emasnya itu untuk Bahrain, salah satu negara kaya di Timur Tengah. Sementara rekan se-tanah airnya mempersembahkan medalinya untuk Kenya. Jebet merupakan salah satu pelari berbakat Kenya yang diambil oleh Bahrain. Sebelumnya pelari dari Ethiopia Maryam Jamal, mempersembahkan perunggu untuk Bahrain dalam lari 1.500 meter pada Olimpiade London.
“Di sana tak ada dukungan di Kenya. Kami menyampaikan ke federasi Bahrain dan mereka mengatakan 'kamu bisa datang kemari dan kami akan membayar segalanya',” kata Jebet dikutip dari Reuters.
Reuters menulis lebih dari 30 atlet pelari Kenya berlaga di Olimpiade Rio, yang sebagian mengabdi untuk Bahrain dan Turki. Di Olimpiade Rio, beberapa atlet juga berhasil diambil oleh negara lain untuk mendulang mendali. Bahrain mengirimkan 30 atlet ke Rio, hanya empat atlet yang berasal dari Bahrain. Sama dengan Bahrain, Qatar termasuk negara kaya yang banyak membeli atlet dari negara lain untuk meraup medali. Tahun ini dari 38 atlet mereka, sebanyak 23 berasal dari cabutan negara lain termasuk Afrika..
Selain itu, ada istilah fenomena “Cina bertanding melawan Cina” seperti yang terjadi di pertandingan tenis meja. Beberapa atlet Cina memilih mengabdi ke negara lainnya. Misalnya pemain tenis meja Han Ying mewakili Jerman melawan Li Xue dari Perancis. Hal ini juga terjadi antara Singapura dan Luxembourg. Pada Olimpiade Rio, ada 56 negara yang bersaing dalam tenis meja, sebanyak 21 negara memiliki atlet naturalisasi dari Cina. Mereka membela negara-negara seperti Swedia, Polandia, Ukraina dan lainnya.
Jonathan White dari globaltimes.cn menulis bahwa naturalisasi merupakan sebuah tindakan curang sebuah negara untuk mendapatkan sebuah medali di Olimpiade. Naturalisasi sebuah cara instan bagi negara yang ingin merasakan kegembiraan meraih medali di Olimpiade. Namun, bagi negara-negara besar dan kaya, capaian gemilang Olimpiade sebuah keharusan. Mereka mengerahkan banyak sumber daya dan dana untuk meraih banyak medali.
Modal Besar
Inggris yang masuk tiga besar peraih medali terbanyak di Olimpiade Rio telah menghabiskan uang yang tak sedikit untuk pembinaan para atletnya. Media The Guardian menulis banyak dana yang dikumpulkan publik melalui lotere dan pajak negara dialokasikan untuk dunia olahraga mereka. Nilai yang dikeluarkan hingga 350 juta poundsterling untuk keperluan Olimpiade dalam kurun waktu 2013-2017.
Inggris juga sangat loyal memberikan tunjangan kepada para atletnya. Seorang atlet yang meraih medali emas di Olimpiade akan mendapat 28.000 poundsterling per tahun. Untuk memompa potensi atletnya, Inggris memberikan tunjangan 21.500 poundsterling per tahun kepada atlet yang masuk delapan besar di Olimpiade, dengan harapan mereka bisa berprestasi di Olimpiade berikutnya.
Inggris termasuk negara maju yang memakai pendekatan pendanaan untuk memompa keberhasilan atlet mereka di Olimpiade. Ini mereka buktikan dari capaian raihan medali dari setiap Olimpiade. Pada Olimpiade Atlanta 1996 mereka hanya puas di peringkat 36 perolehan medali, lalu di Olimpiade London 2012 di peringkat ketiga.
Pendekatan uang mungkin bukan satu-satunya, beberapa negara sukses meraih medali termasuk panen medali emas karena ditopang pendanaan dan fokus pada kemampuan mereka di bidang olah raga tertentu, seperti yang dilakukan oleh Amerika Serikat, yang fokus ke olahraga seperti renang, basket, dan atletik.
Media marketwatch.com, menulis beberapa negara lain mencoba memberikan iming-iming kepada atletnya dengan bonus besar. Singapura negara yang paling banyak memberikan bonus bagi atletnya yang mendapatkan emas, dengan ganjaran bonus 753.000 dolar AS, sementara itu Indonesia di urutan kedua dalam skala negara pemberi bonus terbesar yaitu 383.000 dolar AS, diikuti Azerbaijan sebanyak 255.000 dolar AS untuk setiap medali emas yang diraih. Terbukti tiga negara ini sukses menyabet masing-masing satu medali emas di Olimpiade Rio.
Prestasi memang penting bagi seorang atlet. Namun, kepastian masa depan tentunya juga penting. Ini menjadi sebuah pelajaran penting mengingat banyak atlet yang hidupnya sengsara karena masa depannya terlantar meski berhasil meraih Olimpiade. Karena itu, kesempatan dengan mengabdi kepada negara lain tentu tidak akan disia-siakan. Apalagi jika negara tempat kelahirannya tidak mampu berbuat banyak soal kesejahteraan. Soal nasionalisme, itu mungkin urusan belakangan.