Menuju konten utama

Membaca Arah Google Setelah Membeli HTC

Google merogoh uang $1,1 miliar untuk mengakuisisi divisi mobile HTC.

Membaca Arah Google Setelah Membeli HTC
Ponsel HTC One A9. Joan Cros/NurPhoto

tirto.id - “Masa depan para Googler (sebutan bagi karyawan Google) sungguh menakjubkan, kami siap bekerja bersama secara lebih dekat (dengan teknisi baru dari HTC) pada lini ponsel pintar Pixel, dan kami sangat bergairah untuk melihat apa yang bisa kami lakukan dalam sebuah tim.”

Rick Osterloh, mantan Presiden Motorola yang kini menukangi divisi perangkat keras Google, optimistis menyongsong masa depan dunia perangkat keras Google. Pernyataan Osterloh tercetus selepas hari Kamis (21/9/2017) lalu Google telah sepakat membeli bagian divisi mobile HTC senilai $1,1 miliar. Aksi akuisisi ini memang unik. Google tak membeli secara menyeluruh divisi mobile HTC. The Verge bahkan mengatakan bahwa akuisisi yang dilakukan Google merupakan “akuisisi karyawan bertalenta (HTC) daripada aksi akuisisi tradisional.”

Dalam aksi korporasi ini Google berhak atas lebih dari 2.000 karyawan HTC yang bekerja merancang ponsel pintar bagi perusahaan yang berbasis di Taiwan itu. HTC sendiri, menurut Chief Financial Officer HTC Peter Shen mengatakan bahwa perusahaannya itu masih mempekerjakan sekitar 2.000 karyawan divisi mobile yang bertugas melakukan penelitian dan rancang desain produk. Dalam aksi korporasi ini, divisi mobile HTC terpangkas jumlah karyawannya. Namun, selain soal karyawan, Google pun berhak atas portofolio kekayaan intelektual milik HTC.

Akis Google membeli sebuah divisi perangkat keras terutama yang bermain di dunia ponsel pintar bukanlah yang pertama. Enam tahun lalu alias di 2012 Google membeli Motorola Mobility dengan harga $12,5 miliar. Larry Page, sang pendiri Google dan kala itu masih berstatus CEO Google, mengatakan bahwa pembelian Motorola “akan membuat pengalaman pengguna yang paling menakjubkan dan memberi ruh pada seluruh ekosistem Android.”

Sayangnya, pada 2014 Google akhirnya menjual Motorola Mobility. Salah satu perusahaan yang merintis cikal bakal ponsel dengan meluncurkan DynaTAC 8000X di dekade 1970-an itu akhirnya dijual pada Lenovo seharga $2,91 miliar oleh Google. Hitung-hitungan sederhana jelas mengindikasikan bahwa Google merugi $9,59 miliar atas penjualan Motorola.

Namun, aksi jual murah Motorola pada Lenovo dilakukan bukan tanpa alasan. Google telah terlebih dahulu melucuti paten-paten penting Motorola. Paten-paten tersebut berguna untuk menyokong kehidupan Android. Terutama selepas banyak kasus sengketa paten antara Android terutama dengan Apple.

Baca juga:Membaca Masa Depan Google dengan Google I/O

Aksi akuisisi Google terhadap divisi mobile HTC kali ini nampaknya tak akan bernasib seperti apa yang terjadi pada Motorola. Perusahaan yang di 2010 pernah mencicipi pangsa pasar ponsel pintar sebesar 7,7 persen itu dipercaya akan dimanfaatkan oleh Google untuk mengembangkan dunia perangkat keras mereka, terutama ponsel pintar. Sebuah dunia yang menjadi titik terlemah Google.

Infografik Nasib HTC

Dalam sejarahnya Google memang telah berulang kali mencoba peruntungan bertarung di dunia perangkat keras. Chromecast, Chromebook, Google Home, Google WiFi, Pixel, serta program Nexus, merupakan ikhtiar-ikhtiar Google di dunia perangkat keras. Namun, bukannya sukses besar, perangkat-perangkat keras bikinan Google itu gagal menjajah pasar. Chromebook meskipun sukses di dunia pendidikan AS, tapi gagal membendung dominasi laptop bersistem operasi Windows.

Google Home sebagai tempat bersemayamnya Google Assistant, belum sukses membendung kekuatan Amazon Echo. Program ponsel pintar berlabel Nexus, gagal merebut pasar Android yang kini dikuasai Samsung dan beberapa produsen asal Cina. Pixel, flagship berlabel “made by Google” gagal menghadang laju seri Galaxy S dari Samsung dan iPhone dari Apple.

Salah satu bukti kegagalan Google di bidang perangkat keras adalah data soal pendapatan mereka. Pada 2016, Google mendulang pendapatan sebesar $89,46 miliar. Dari angka itu, $79,4 miliar disumbang dari pendapatan iklan digital mereka. Ini artinya, 88 persen pemasukan Google disumbang dari jualan iklan mereka. Pemasukan Google dari sumber-sumber lain seperti lisensi, fee Google Play, serta produk perangkat keras, hanya menyumbang $10,08 miliar alias 11,2 persen saja dari total pendapatan Google tahun lalu.

Ini jelas membikin risau Google. Sebagai pemilik sistem operasi mobile paling mahsyur saat ini, Google seakan tak berkutik di bidang perangkat keras, terutama ponsel pintar. Angka gabungan pendapatan Google di luar sektor iklan digital itu, bahkan kalah dibandingkan pendapatan Samsung di segmen mobile communication. Melalui mobile communication, Samsung mengantongi pendapatan sebesar $85,33 miliar pada tahun yang sama.

Baca juga:

Bila melihat dunia ponsel pintar lebih jauh, segmen ini memang terasa sangat menguntungkan. Apple misalnya, pada 2016 lalu sukses memperoleh pendapatan sebesar $136 miliar dari jualan iPhone.

Kesuksesan Samsung melalui divisi mobile communication dan bergairahnya pendapatan Apple melalui iPhone jelas pukulan telak bagi Google. Sebagai pemilik Android serta bergelar “mbah” bagi dunia digital, Google harus segera berbenah dan mengambil keuntungan di segmen perangkat keras terutama ponsel pintar.

Apalagi, merujuk laporan Goldman Sachs yang diwartakan Business Insider, efektivitas iklan digital Google di perangkat mobile kalah dibandingkan efektivitas iklan digital di web. Padahal, dunia kini sedang berekspansi ke ranah mobile melalui ponsel pintar sebagai penggerak utamanya. Dalam laporan itu bahkan disebut bahwa pengguna Android tidak terlalu sering meng-klik iklan digital dari Google di perangkat mobile.

Google tentu tak mau tertinggal dari segi pendapatan dari pesaing-pesaingnya terutama di dunia ponsel pintar. Pembelian divisi mobile HTC merupakan tanda yang kuat, bahwa Google ingin juga menikmati kue manis perputaran uang bisnis ponsel pintar.

Baca juga artikel terkait GOOGLE atau tulisan lainnya dari Ahmad Zaenudin

tirto.id - Teknologi
Reporter: Ahmad Zaenudin
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Suhendra