tirto.id - Sungguh merupakan pengaturan Tuhan Yang Maha Esa bahwa Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia terlaksana beberapa hari sebelum Idul Fitri. 17 Agustus 1945, hari kemerdekaan Indonesia, bertepatan dengan 9 Ramadhan 1364 H.
Islam meyakini bahwa bahwa masa antara satu sampai dengan sepuluh Ramadan adalah masa tercurah dan melimpahnya rahmat Allah. Nabi Muhammad saw pun berhasil memasuki dan membebaskan kota Mekkah dari cengkeraman kaum musyrik pada 20 Ramadan tahun 8 Hijrah atau Januari 630 M.
Wajar dan sungguh bermakna jika naskah Mukadimah UUD 1945 memuat kalimat: "Berkah rahmat Allah Yang Mahakuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan kemerdekaannya." Memang, tiada kebetulan di sisi Allah Tuhan Yang Maha Mengetahui lagi Mahakuasa.
Ada sekian banyak aspek dari Idul Fitri yang dapat dihubungkan dengan kemerdekaan, antara lain melalui analisis tentang makna dan tujuan Idul Fitri dan makna kemerdekaan suatu bangsa. ‘Id berarti "kembali", sedang fithr dapat berarti "asal kejadian", "suci", atau "beragama dengan benar".
Jika kita fokuskan pandangan pada makna asal kejadian, maka paling tidak kita dapat mengaitkan kemerdekaan dengan Idul Fitri dari dua sisi:
Asal kejadian manusia dari tanah bumi ini, yang kemudian diembuskan kepadanya Ruh Ilahi. Dari tanah manusia diciptakan, di tanah bumi ini manusia hidup, dan di sana ia akan dikebumikan.
Kemerdekaan melekat pada diri semua manusia tanpa kecuali sejak kelahirannya. Ketika anak Gubernur Mesir menampar seseorang, yang ditampar mengadu kepada khalifah ketika itu Umar bin Khatab, dan Umar menghukum yang menampar sambil berkata: Sejak kapan kalian memperbudak manusia padahal mereka dilahirkan oleh ibu mereka dalam keadaan merdeka?
Kemerdekaan bukan anugerah manusia atau bangsa, tetapi anugerah Allah kepada setiap individu dan kumpulan individu (bangsa) sejak ia menghirup udara bumi ini. Dalam bahasa Mukaddimah UUD Indonesia dinyatakan: “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.”
Bahwa asal kejadian manusia dari tanah, hal itu seharusnya mampu mengantarkan manusia memahami jati dirinya. Tanah berbeda dengan api. Sifat tanah stabil, tidak bergejolak seperti api, melainkan menumbuhkan, tidak membakar dan membinasakan seperti api. Tanah dibutuhkan oleh manusia, binatang dan tumbuhan; tapi api tidak oleh binatang dan tumbuh-tumbuhan. Jika demikian, manusia stabil dan konsisten, tidak bergejolak, selalu memberi manfaat, dan menjadi andalan yang dibutuhkan oleh selainnya. Demikian itulah antara lain siapa yang ber-Iul fitri, yang kembali ke asal kejadiannya.
Bumi di mana tanah berada, beredar sedemikian rupa. Tuhan menancapkan gunung-gunung di perut bumi agar penghuni bumi tidak oleng, begitu kata al-Qur’an (Q.S. An-Nahl ayat 15). Peredaran bumi mengelilingi matahari pun sedemikian konsisten dalam perjalanan dan waktunya. Tidak pernah menyimpang.
Kehidupan manusia di dunia ini pun terus beredar, berputar, sekali naik dan sekali turun, sekali senang di kali lain susah, demikian seterusnya. Jika tidak tertancap dalam hati manusia pasak yang berfungsi seperti fungsinya gunung, maka hidup akan kacau berantakan. Pasak yang harus ditancapkan dalam hati itu adalah “Ruh Ilahi” yang puncaknya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Itu salah satu sebab mengapa Idul Fitri disambut dengan takbir. Sebagaimana dahulu pejuang-pejuang kemerdekaan kita mengumandangkan kalimat takbir “Allah Akbar”.
Kesadaran akan kehadiran dan keesaan Tuhan adalah inti keberagaman. Itulah fitrah atau fitri manusia yang atas dasarnya Allah menciptakan manusia, begitu yang dinyatakan dalam QS. Ar-Rum ayat 30.
Memang, konsistensi diperlukan dalam segala hal. Bahkan tidak keliru jika dinyatakan bahwa di celah kehadiran Idul Fitri pada 1 Syawal setiap tahun pun menunjukkan adanya konsistensi dan stabilitas.
Karena manusia diciptakan Allah dari tanah, maka tidak heran jika nasionalisme, cinta tanah air, merupakan insting manusia. Bertebaran pandangan bahwa cinta pada tumpah darah adalah naluri manusia. Dalam teks-teks agama Islam pun ditemukan hal demikian.
Tidak heran jika Allah menyandingkan dan menyejajarkan agama dengan tanah air dalam firman-Nya: Allah tidak melarang kamu berlaku adil (memberi sebagian hartamu) kepada siapapun yang tidak memerangi kamu dalam agama atau mengusir kamu dari negeri kamu (QS. Al-Mumtahanan ayat 8).
Asal kejadian juga harus mengingatkan manusia tentang pengalaman hidup manusia pertama di surga. Di sana kehidupan serba-nyaman: tersedia sandang, pangan dan papan. Rasa aman pun dinikmati oleh penghuninya, tetapi di sana ada iblis penggoda Tuhan. Mengingatkan Adam dan istrinya, Allah berfirman: Sesungguhnya ini (Iblis) adalah musuh bagimu dan bagi istrimu, jangan sampai kalian berdua tergoda oleh iblis yang menyebabkan engkau bersusah payah. Di surga engkau tidak akan lapar dan tidak juga tanpa busana, tidak juga kehausan dan tidak juga disengat sinar matahari. (QS. Thaha ayat 117-120).
Di surga juga tercipta kedamaian. Di sana tidak ada sesuatu yang tidak wajar, tidak juga dosa. Yang ada hanya damai dan damai (QS. Al-Waqiah ayat 25-26).
Nah, pengalaman itu menjadi pelajaran dan bekal manusia untuk melaksanakan tugas kekhalifahan: membangun dunia. Tugas minimal manusia adalah menciptakan kedamaian dan memenuhi kebutuhan pokoknya, yaitu sandang, pangan, papan. Mengisi kemerdekaan adalah menciptakan rasa damai di dalam hati -- damai dari segala yang mengkhawatirkan-- baik itu politik, ekonomi, sosial, budaya dan minimal memenuhi kebutuhan pokok manusia itu.
Kemerdekaan adalah wewenang mengelola sesuatu yang dimiliki serta kemampuan mengantar appa yang berada dalam wewenang siapa yang merdeka mencapai tujuannya. “Kemerdekaan adalah menjadi tuan di negeri sendiri, mengelola diri dengan baik sesuai dengan tujuan yang direncanakan. Yang merdeka adalah individu yang menguasai wilayahnya dan mampu mengelolanya dengan baik dan benar yang ditandai oleh tunduk dan patuhnya bak tentara dan rakyat yang berada dalam wilayahnya serta pencapaian kesejahteraan mereka”.
Wilayah kekuasaan setiap manusia adalah kalbu dan pikirannya. Bala tentara adalah syahwat, amarah, dan nafsunya. Rakyatnya adalah lidah, mata, tangan, dan seluruh anggota badannya. Nah, bila semua itu ia kuasai dan tidak menguasainya, menaatinya dan bukan ia taat kepadanya, serta semua itu sejahtera tanpa ada yang tidak terpenuhi kebutuhannya, maka ketika itu ia telah mencapai tingkat kemerdekaan di alam manusia.
Kalau itu telah tercapai, maka seseorang atau satu bangsa telah mencapai kemerdekaan yang sebenarnya. Demikian, Wa Allah A’lam.
=====
*) Naskah diambil dari buku "Kumpulan 101 Kultum Tentang Islam" yang diterbitkan oleh penerbit Lentera Hati. Pembaca bisa mendapatkan karya-karya Prof. Quraish Shihab melalui website penerbit
Penulis: M. Quraish Shihab
Editor: Zen RS