tirto.id - Prabowo Subianto dan Joko Widodo tengah menjadi sorotan pasca debat pilpres putaran kedua pada Minggu (17/2/2019).
Beberapa pernyataan kedua calon presiden ini menuai respons dari sejumlah pihak. Mulai dari istilah “unicorn” yang tak dipahami Prabowo hingga klaim Joko Widodo tentang tak ada pembakaran lahan selama tiga tahun pemerintahannya.
Hal-hal tersebut yang menjadi pembahasan masyarakat di media sosial. Di twitter, pelbagai tagar seperti #capres01bohong, #bohonglagijokowi, hingga #PrabowoBicaraBenar masih belum surut hingga kini.
Tagar-tagar tersebut tak jarang pula dibagikan dengan konten dari suatu media untuk menambah validitasnya. Pengguna media sosial meyakini hal ini memiliki pengaruh besar terhadap proses pemilihan umum.
Jika di awal kemunculannya, media sosial hanya berfungsi sebagai alat eksistensi diri, fungsi tersebut kini merambah untuk mempengaruhi iklim politik suatu negara. Pernyataan ini dikemukakan oleh Peneliti Ilmu Komunikasi Natalie Stroud. Dalam penelitiannya yang dilakukan di University of Texas at Austin, Stroud mengamati bagaimana media berperan menarik perhatian pengguna media sosial lewat konten yang mereka bagikan.
“Saya menemukan bukti bahwa orang-orang memilih media berdasarkan kecenderungan mereka. Dalam pemilu Amerika lalu, pendukung Republik akan memilih Fox News, sementara pendukung Demokrat akan memilih MSNBC,” ujar Stroud.
Sebagai Direktur Manajemen Produk Facebook, Samidh Chakrabarti mengakui mencegah intervensi dalam demokrasi menjadi tantangan yang berat bagi pihaknya.
Sejak awal, Facebook yang dimaksudkan menjadi wadah berkomunikasi dengan orang terdekat kini tak jarang menjadi alat untuk menyebar propaganda politik. Chakrabarti menyebutkan dalam kurun waktu dua tahun, Rusia berusaha melakukan intervensi terhadap hasil pemilihan umum Amerika Serikat pada 2016 lalu dengan mengunggah sekitar 80.000 postingan.
Pihaknya memperkirakan postingan-postingan yang dilengkapi berita palsu itu telah disebar ke 126 juta pengguna media sosial di negeri Paman Sam.
Seolah tak ingin mendapat serangan serupa, masyarakat Malaysia bersikap waspada terhadap media internasional saat Pemilu 9 Mei 2018 lalu. Dalam penelitian yang dilakukan University of Nottingham Malaysia dan Reuters Institute, publik negeri Jiran lebih percaya terhadap media lokal ketimbang media internasional.
Malaysia kini menjadi media yang meraih kepercayaan tertinggi dari publik yakni 44 persen. Sementara itu, dari jajaran media asing, masyarakat hanya mempercayai Yahoo! News sebagai media dengan netralitas tertinggi.
Masih dari Pemilu Malaysia, Facebook menjadi media sosial dengan penyebaran informasi tertinggi yakni 64 persen. Data ini diikuti Whatsapp sebanyak 54 persen dan Youtube sebanyak 33 persen. Tak seperti “sang kakak”, Instagram hanya meraup 17 persen porsi penyebaran informasi. Porsi kecil ini diikuti pula oleh Twitter yang hanya meraih angka 13 persen.
Di Austria, media sosial berpengaruh pula terhadap reputasi Sebastian Kurz selama pemilihan umum. Sebelum resmi menduduki kursi kanselir, Kurz menghadapi serangan dari lawan politiknya, Partai Kebebasan, lewat pemberitaan palsu di Facebook.
Jurnalis Armin Woolf dituding oleh kader Partai Kebebasan terlibat dalam penyebaran hoaks lewat medianya, ORF News Online. Padahal, ORF sebelumnya dikenal sebagai media dengan reputasi terpercaya.
Akibat tudingan ini pula, kepercayaan publik terhadap media menurun. Penyebaran berita di Facebook pun menurun dari 34 persen menjadi 30 persen.
“Saya pikir orang-orang perlu memikirkan setiap tindakan yang mereka lakukan di media sosial. Kita semua punya peran dalam membentuk lingkungan di sana yang juga berimbas pada demokrasi. Berita dan opini politik yang Anda bagikan, orang-orang yang Anda ikuti, dan alat yang tersedia di sana berefek pada politik. Saya pikir, jurnalis punya peran untuk meningkatkan level percakapan yang produktif di Facebook dengan menjawab pertanyaan setiap pembaca,” tambah Stroud.
Editor: Yulaika Ramadhani