tirto.id - Sekira Agustus 1991, Parlemen Portugal dikabarkan bakal mengunjungi Timor Timur. Delegasi Parlemen Portugal itu juga dikabarkan bakal membawa jurnalis internasional. Kelompok aktivis prokemerdekaan Timor Timur sangat antusias atas kabar kunjungan itu.
Mereka lantas menyiapkan sambutan khusus untuk delegasi Parlemen Portugal itu. Sebagian persiapan penyambutan delegasi Parlemen Portugal itu dilakukan di Gereja Moteal, Dili. Tentu saja, gerakan ini dapat pengawasan dari intelijen dan TNI.
Pemerintah Orde Baru Soeharto menolak permintaan kunjungan itu. Pemerintah berdalih keberatan bila kunjungan itu disertai para jurnalis. Kemudian, Parlemen Portugal pun memutuskan untuk membatalkan kunjungan itu.
Meski begitu, intimidasi terhadap gerakan aktivis prokemerdekaan Timor Timur nyatanya tak lantas berhenti. Pada malam 27 Oktober 1991, sekelompok provokator yang bekerja untuk intelijen Indonesia mengejek para aktivis prokemerdekaan Timor Leste dan memancing mereka ribut. Anak-anak muda Timor Leste terpancing dan perkelahian pun tak terhindarkan.
Korban jiwa pun jatuh. Pagi hari 28 Oktober 1991, jasad aktivis muda prokemerdekaan Timor Leste, Sebastiao Gomes, ditemukan tergeletak di dekat Gereja Moteal.
Dua minggu kemudian, pagi 12 November 1991, sebuah misa arwah untuk memperingati kematian Gomes digelar di Gereja Moteal. Misa yang dipimpin Pastur Alberto Ricardo itu diikuti ribuan umat Katolik Timor Leste.
Begitu misa usai, sekira dua hingga tiga ribuan massa berparade keliling Kota Dili. Massa melintasi pesisir tempat jajaran kapal perang Indonesia bersauh, melewati kantor gubernur, dan kemudian menuju Pemakaman Santa Cruz—tempat Gomes dimakamkan. Sepanjang parade, massa membentangkan spanduk bergambar Xanana Gusmao, pemimpin gerakan prokemerdekaan Timor Leste, dan memekikkan “Timor Leste! Timor Leste! Timor Leste!”.
Menurut Paul R. Bartrop dan Steven Leonard Jacobs dalam Modern Genocide (2014), militer Indonesia rupanya telah bersiaga di dekat Pemakaman Santa Cruz. Mereka terdiri dari pasukan Kompi A Brimob 5485, Kompi A dan Kompi D Batalion 303, dan kompi campuran—dengan pakaian preman yang dibentuk pada malam sebelumnya. Selain itu, Batalion 744 dan personil dari Kodim 1627 juga berada di sana.
Massa kemudian berhenti di depan Pemakaman Santa Cruz untuk mengadakan doa bersama sebagai penghormatan untuk rekan mereka yang meninggal. Di antara massa itu ada wartawan Max Stahl. Menurut Hendro Subroto dalam biografi Sintong Panjaitan: Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando (2009), Max Stahl adalah satu dari sekira tujuh wartawan yang meliput prosesi itu.
Saat itulah, suasana mendadak dikacaukan oleh rentetantembakan dari arah aparat keamanan yang berjaga. Para demonstran lari tunggang-langgang. Sementara yang lain mencari persembunyian di antara nisan-nisan Santa Cruz, termasuk Stahl.
“Saya tersungkur ke tanah dan terinjak-injak. Saya lantas bergegas mencari perlindungan di antara batu nisan. Debu serta jeritan memenuhi udara. Adegan di gerbang pemakaman itu begitu membekas dalam pikiranku,” tulis Stahl dalam “Massacre among the Graves” yang dimuat buletin TAPOL (nomor 108, Desember 1991).
Di tengah suasana ricuh itu, Stahl mulai menyalakan kamera dan merekam tindakan represif militer Indonesia terhadap rakyat Timor Timur.
Para demonstran berlarian menghambur ke dalam pemakaman. Ada yang tersungkur dan merintih. Kala tembakan mulai mereda, aparat bersenjata bergerak teratur masuk ke pemakaman mencari demonstran di antara jejeran batu nisan. Di antara yang ditemukan aparat kemudian ditendang, dipentungi, atau dihantam popor senapan.
“Saya merekam semua kejadian itu, mengabaikan teriakan dan aparat yang menunjuk ke arah saya,” tutur Stahl.
Beberapa pemuda Timor yang ketakutan menghampiri Stahl. Mereka berharap Stahl bisa memberi perlindungan. Tapi, tentu saja Stahl sama tak berdaya. Militer Indonesia begitu beringas. Stahl bahkan melaporkan, dua wartawan Amerika dan seorang fotografer Inggris juga kena hajar aparat.
Stahl sadar belaka, dia pasti juga bakal diciduk aparat Indonesia. Sebelum itu terjadi, dia musti menyelamatkan rekaman penting yang dibawanya. Maka dikuburkanlah kaset rekaman itu di satu sudut pemakaman.
“Saya tidak bisa membantu mereka. Yang bisa saya lakukan hanyalah mengubur rekaman video itu di kuburan untuk mengantisipasi penangkapanku sendiri seraya berjanji kepada mereka bahwa pembantaian mengerikan hari itu bakal diketahui dunia,” tulis Stahl.
Dari Teater ke Jurnalistik
Max Stahl adalah wartawan dan pembuat film dokumenter asal Inggris. Dia lahir pada 6 Desember 1954 dengan nama Max Christopher Wenner. Dia tumbuh besar dalam keluarga diplomat.
Seturut pemberitaan Tempo, Stahl menempuh kuliah sastra di Universitas Oxford, Inggris. Dia juga disebut fasih berbahasa Inggris, Prancis, Jerman, Spanyol, Italia, dan Portugis. Sebelum terjun ke dunia jurnalistik, Stahl bekerja sebagai aktor dan sutradara teater.
Sekira 1978, dia bergabung dengan program televisi untuk anak-anak Blue Peter di BBC sebagai pembawa acara. Kala itu, dia dikenal dengan nama Christopher Wenner. Seturut BBC, dia baru menggunakan nama Max Stahl saat memulai karier sebagai reporter investigasi.
Sebagai jurnalis, Stahl aktif memproduksi film dokumenter dan berita. Dia kerap dikirim ke Amerika Latin, negara-negara bekas komunis, Kaukasus, Baltik, dan Balkan. Dia juga pernah bekerja sebagai koresponden perang di Beirut, Libanon.
Max Stahl makin di kenal secara internasional setelah meliput ke Timor Timur dan menjadi salah satu saksi mata Pembantaian Santa Cruz 1991.
Stahl datang ke Timor Timur pada 30 Agustus 1991. Dua tahun sebelumnya, rezim Soeharto melonggarkan kunjungan pariwisata ke Timor Timur. Maka Stahl datang ke sana dengan menyamar sebagai turis.
Sekira 271 orang tewas dalam peristiwa berdarah di Santa Cruz. Stahl ikut ditangkap dalam kericuhan di Santa Cruz. Dia kemudian diinterogasi dan ditahan di kantor Kepolisian Comoro selama sembilan jam.
Selama ditahan, dia sempatmelihat sekira 12 truk milik aparat Indonesia membawa pemuda-pemuda Timor Timur yang ditangkap. Satu truk setidaknya berisi 30-an orangdalam keadaan diikat dan ditelanjangi.
Saat diinterogasi, Stahl mempertanyakan motif yang mendorong aparat bertindak begitu brutal. Padahal, demonstrasi berjalan dengan tertib dan damai.
“Semua ‘provokasi’ yang dibutuhkan militer adalah bentangan spanduk dan slogan yang diteriakkan para demonstran prokemerdekaan,” tulis Stahl dalam laporannya di buletin TAPOL.
Rekaman yang Membuka Mata Dunia
Malam harinya, usai dibebaskan dari tahanan, Stahl kembali ke Pemakaman Santa Cruz untuk mengambil rekamannya. Stahl lantas memberikan rekaman itu kepada jurnalis dan aktivis HAM asal Belanda Saskia Kowenberg. Dialah yang membantu Stahl menyelundupkan rekaman itu ke Amsterdam.
Mata dunia terbuka lebar kala rekaman terkait Pembantaian Santa Cruz disiarkan. Ia segera mengundang reaksi geram dari dunia Internasional. Kecaman keras atas tindakan militer Indonesia di Timor Timur dilontarkan oleh Portugal, Australia, dan negara-negara Eropa Barat. Jepang—salah satu penyumbang investasi terbesar bagi Indonesia—juga menyesalkan targedi itu.
Seturut Hendro Subroto, Panglima Kodam Udayana—yang membawahi Timor Timur—Mayor Jenderal Sintong Panjaitan kemudian dicopot. Karier militer Jenderal Sintong yang sempat moncer di era Benny Moerdani jadi panglima ABRI pun mandek.
Rekaman Max Stahl itu jelas berkontribusi menyadarkan masyarakat dunia atas keadaan Timor Timur yang sebenarnya. Stahl pun dianggap sebagai pahlawan oleh rakyat Timor Leste. Pada 21 November 2019, Max Stahl pemerintah Timor Leste menganugerahkan Order of Liberty Necklace kepada Max Stahl.
"Kami menghormatinya sebagai salah satu pahlawan sejati perjuangan kami," tutur mantan Presiden Timor Leste José Ramos-Horta seperti dikutip BBC.
Max Stahl dikabarkan meninggal dunia pada 28 Oktober 2021 lalu karena kanker di sebuah rumah sakit di Brisbane, Australia.
Editor: Fadrik Aziz Firdausi