Menuju konten utama

Mati Listrik Ganggu Transportasi Umum, Kemenko Ekonomi: Ini Warning

Pemadaman PLN secara massal di Jawa dan Jabodetabek telah memengaruhi transportasi berbasis listrik. Kemenko Perekonomian menyebutkan, hal ini menjadi warning buat pemerintah.

Mati Listrik Ganggu Transportasi Umum, Kemenko Ekonomi: Ini Warning
Pekerja memasang instalasi listrik di menara Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi (SUTET) di arteri Porong, Sidoarjo, Jawa Timur, Senin (15/7/2019). ANTARA FOTO/Umarul Faruq/wsj.

tirto.id - Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian menilai pemadaman listrik PLN yang sempat mengganggu transportasi publik menjadi peringatan bagi pemerintah.

Deputi Bidang Koordiansi Percepatan Infrastruktur dan Pengembangan Wilayah, Kemenko Perekonomian, Wahyu Utomo menjelaskan, kekhawatiran itu disebabkan karena sistem transportasi publik Indonesia semakin tergantung dengan pasokan listrik.

Ia menyebutkan dua jenis transportasi publik terbaru saat ini seperti Light Rail transit (LRT) dan Mass Rapid Transit (MRT) membutuhkan pasokan listrik yang cukup. Termasuk di dalamnya commuter line (KRL).

“Menurut saya ini, kan, jadi warning buat kita semua. Sistem pengamanan terhadap listrik harus lihat benar-benar, karena ketergantungan kita dengan listrik bukan main transportasi kita,” ucap Wahyu kepada wartawan saat ditemui di Hotel Le Meridien, Jakarta, Selasa (6/8/2019).

Soal masalah ini, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi mengatakan setiap transportasi publik terutama yang berbasis listrik mau tidak mau memang memerlukan pembangkit tersendiri.

Ia menyebutkan, pengelola memang sudah seharusnya memiliki sumber listrik cadangan sehingga ketika ada gangguan pada aliran listrik PLN, layanan tidak sampai berhenti.

“Saya rekomendasi dari sejak saya di Jakpro kalau kegiatan strategis seperti MRT, kereta listrik harus punya pembangkit sendiri jadi dobel sehari-hari di-cover oleh situ, tapi jaringan jawa Bali tetap cover,” ucap Budi kepada wartawan saat ditemui di Kemenko Kemaritiman pada Senin (5/8/2019).

Sepengetahuan Budi, bagi MRT diperlukan sekitar 130-150 megawatt untuk mengakomodasi sampai fase 2, tetapi bila baru fase 1 maka keperluannya hanya 60 megawatt. Lalu untuk KRL atau KCI memerlukan 250 megawatt pembangkit untuk melayani keperluan layanan se-Jabodetabek.

Soal keperluan listrik bagi PT KAI, Budi mengatakan hal itu bisa saja dilakukan. Sebab pada pemadaman kemarin, layanan kereta api juga sempat terganggu dan sebagian tertunda.

“Semestinya demikian jadi kalau kota-kota besar mestinya demikian (ada pembangkit sendiri),” ucap Budi.

Pemadaman listrik terjadi di beberapa wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) hingga Senin (5/8/2019). Mati listrik massal ini mulai terjadi pada Minggu (4/8/2019).

PLN awalnya mengatakan, penyebab listrik padam adalah gangguan pada gas turbin 1 sampai 6 di Pembangkit Listrik Tenaga Uap Cilegon, Banten dan Pembangkit Listrik Tenaga Gas Turbin di Cilegon.

Namun, pernyataan ini diralat. Penyebab blackout, kata PLN, adalah gangguan transmisi Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi (SUTET) 500 kV Ungaran dan Pemalang.

Direktur Pengadaan Strategis 2 Djoko Raharjo Abumanan mengatakan, gangguan transmisi terjadi karena ada kelebihan beban listrik khususnya di Jakarta, Bekasi, dan Banten. Logikanya sama seperti listrik 'jetrek' di rumah.

Baca juga artikel terkait MATI LISTRIK atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Dewi Adhitya S. Koesno