tirto.id - Suatu kali, dalam Marcelo Bielsa: El dia que todoCambio [2018] karya Luis Gaston Mora Obregon, Marcelo Bielsa pernah menyampaikan alasan mengapa ia tidak senang berbicara di depan pers.
“Mereka [jurnalis] meminta saya untuk lebih sering berbicara di depan pers. Untuk apa? [Tentu] Agar mereka bisa mempermalukan saya dan mengatakan bahwa saya berbicara selama empat jam, dan bahwa hal-hal yang saya katakan tidak penting bagi siapa pun.”
Namun, pada Rabu (16/1) lalu, Bielsa terpaksa mengadakan konferensi pers di Thorp Arch, tempat latihan Leeds United. Kala itu ia berbicara selama 70 menit, dan para jurnalis seperti melihat seorang pesulap yang baru saja mengeluarkan kelinci dari dalam topi ajaibnya.
Konferensi pers itu berawal dari terpergoknya dua orang staf pelatih Leeds United yang sengaja diutus Bielsa untuk mengamati latihan Derby Country, sehari sebelum Leeds bertanding melawan anak asuh Frank Lampard tersebut. Melihat dua staf Leeds United itu berperilaku janggal sambil membawa teropong serta pemotong kawat, seseorang yang tinggal di dekat tempat latihan Derby kemudian melaporkan mereka ke polisi.
Frank Lampard mencak-mecak karena kejadian itu, dan Bielsa mengakui bahwa ia salah, tapi dengan cara yang amat brilian: di hadapan para jurnalis, dengan bantuan PowerPoint dan SpreadSheed, ia mempresentasikan secara detail bagaimana caranya ia melakukan pengamatan terhadap tim lawan.
“Dari setiap lawan, kami menyaksikan semua pertandingan mereka pada musim 2018/2019. Kami menyaksikan 51 pertandingan Derby County. Analisis setiap laga membutuhkan empat jam kerja, mengapa kami melakukan itu? Karena tu adalah apa yang dilakukan profesional," ujar Bielsa.
Memata-matai tim lawan memang dianggap tabu di Inggris, tapi tidak ada aturan khusus yang melarangnya. Maka, meski beberapa jurnalis Inggris mencoba bersikap bijak dengan membicarakan etika, mereka tak luput memberikan pujian terhadap Bielsa. Bahkan karena presentasinya itu, tak sedikit pula jurnalis Inggris yang langsung menghujani Bielsa dengan pujian tanpa sedikit pun mempermasalahkan etika.
Dalam salah satu tulisannya di The Times, Henry Winter, jurnalis senior sepakbola Inggris, berpendapat bahwa FA seharusnya memberikan hukuman terhadap Bielsa karena perilakunya itu. Namun, ia juga menulis, “Bielsa tentu memberikan peninggalan besar di Championship, dan bagi manajemen sepakbola di negara ini. Konferensi pers-nya akan ditelaah oleh calon manajer yang ingin mengikuti langkah hebatnya dan oleh manajer mapan yang ingin mengalami peningkatan. Sementara itu, manajer saingan Bielsa akan mulai berbicara dengan para pemilik klubnya tentang jumlah staf pelatih Leeds, jumlah scout, hingga jumlah tim analis yang dapat mendukung seorang pelatih kepala.”
Sementara itu, Jonathan Wilson, jurnalis sepakbola Inggris yang tahu betul bagaimana Bielsa, menyebut presentasi yang dilakukan Bielsa itu hanya mempunyai satu kesimpulan: Bielsa adalah seorang legenda. Dan setidaknya, dalam konferensi pers-nya itu, Bielsa memberikan sebuah petunjuk bahwa ia memanglah seorang pelatih legendaris seperti apa yang dibilang oleh penulis buku Inverting The Pyramid itu.
“Mengapa aku melakukan itu [memata-matai tim lawan]?,” tanya Bielsa. “Karena itu tidak dilarang. Aku tidak tahu bahwa itu akan menimbulkan reaksi seperti ini meskipun menonton latihan tim lawan sebetulnya tidak berguna. Itu hanya untuk membuatku tidak terlalu cemas.”
Ya, Bielsa sudah menonton 51 pertandingan Derby Country. Itu artinya, jika ia menghabiskan waktu 4 jam untuk mengamati sebuah pertandingan, ia berarti sudah menghabiskan waktu 204 jam hanya untuk mengamati Derby Country. Namun, meski sudah mengamati tim lawan sedetail itu, mengapa ia masih merasa cemas?
Dalam El Loco: The Obsessive Genius of Marcelo Bielsa, Jonathan Wilson mengisahkan bahwa karier Bielsa sebagai seorang pemain profesional berakhir saat usianya baru menginjak 21 tahun. Empat tahun setelah itu, Bielsa diberi mandat untuk melatih sebuah universitas di Buenos Aires. Kemudian, apa yang dilakukan Bielsa bisa membikin geleng-geleng kepala: ia menyeleksi sekitar 3.000 pemain untuk mendapatkan 20 pemain terbaik di universitas itu.
Tingkah absurd Bilesa kemudian berlanjut saat ia diserahi tanggung jawab untuk mengurusi tim muda Newell’s Old Boys, mantan klubnya. Untuk mencari bakat-bakat terbaik, ia mematok peta Argentina menjadi 70 bagian, melakukan perjalanan darat sejauh lebih dari 8.000 kilometer dengan Fiat butut, karena takut bepergian dengan pesawat terbang.
Setelah itu, pada musim kedua Bielsa menangani Newell’s Old Boy, adalah kisah Bielsa paling absurd di antara yang paling absurd. Bermula dari kekalahan 0-6 Newell’s dari San Lonrenzo dalam gelaran Copa Libertadores, Bielsa mulai mempertanyakan eksistensinya.
“Aku mengunci diri di dalam kamar,” kata Bielsa. “Aku mematikan lampu, menutup tirai, dan aku menyadari arti sesungguhnya dari ekspresi yang kadang-kadang kita gunakan secara enteng: ‘aku ingin mati.’ Aku menangis. Aku tidak mengerti apa yang terjadi di sekitarku. Aku menderita sebagai seorang profesional dan aku menderita sebagai seorang fans.”
Bielsa tak jadi bunuh diri, tentu. Sebaliknya, pelatih yang berhasil membawa Newell’s menjadi juara Apertura 1991 dan Calusara 1992 -- juga membawa Newell’s melaju hingga ke final Copa Libertadores setelah kekalahan memalukan -- itu justru menyetel mentok obsesinya terhadap sepakbola hingga menembus langit. Karenanya, ia kemudian dikenal sebagai El Loco. Si gila.
Lihatlah bagaimana cara Bielsa membangun timnas Argentina saat ia menggantikan posisi Daniel Passarella pada 1998 lalu. Menurut Mercela Mora y Araujo, salah satu penulis sepakbola asal Argentina di The Guardian, Bielsa melihat ribuan video yang ia kumpulkan selama bertahun-tahun untuk mengamati setiap pemain Argentina. Selain itu, ia juga meminta lapangan latihan dibuat basah saat ada kemungkinan bahwa hujan akan turun di hari pertandingan. Dan yang paling ekstrem: ketika ia menerima pekerjaan menjadi pelatih Argentina, ia mengatakan kepada teman-temannya bahwa mereka sebaiknya menghapus nomor ponselnya.
Dengan sikap Bielsa itu, Argentina kemudian dapat melangkah gagah ke Piala Dunia 2002. Mereka lolos dengan predikat sebagai pemuncak klasemen babak kualifikasi zona Amerika Selatan, mengumpulkan 43 angka, dan unggul 12 angka dari Kolombia yang finis di urutan kedua. Sayangnya, Argentina gagal total di Piala Dunia 2002. Bielsa mengutuk dirinya sendiri, tapi publik Argentina justru menyambut para pemain Argentina seakan mereka adalah pahlawan perang.
“Untuk kebaikan dan keburukan,” bunyi sebuah spanduk di bandara Argentina, “kami akan selalu bersamamu bagaimana pun keadaannya.” Drum pun bergemuruh, dan tepuk tangan mengiri kedatangan pemain-pemain Argentina di tanah airnya.
Mengapa penggemar Argentina bertindak seperti itu meski timnya gagal total di Piala Dunia 2008? Sederhana: tim asuhan itu Bielsa selalu mengedepankan permainan yang enak ditonton.
Menurut Bielsa, sepakbola hanya mengenal empat hal: bertahan, menyerang, transisi dari bertahan ke menyerang, dan transisi dari menyerang ke bertahan. Karenanya, setiap analisis yang dilakukannya, metode pelatihan yang diterapkannya, hingga hal-hal absurd yang ia perbuat hanya mempunyai satu tujuan: membuat timnya mampu bermain secara vertikal. Formasi 3-3-1-3 pun ia pilih untuk mendukung pendekatannya itu.
Dalam bertahan, tulis Tim Vickery, kontributor BBC yang merupakan penggemar berat Bielsa: “Bielsa adalah imam besar high-pressing. Salah satu konsep utamanya adalah dalam tim yang ingin menyerang – dan timnya selalu ingin menyerang – full-back konvensional tidak berguna. Dia ingin pemain terluar berada di posisi lebih tinggi. Dia ingin full-back-nya menekan lawan, terhubung dengan pemain sayap sehingga bisa menciptakan situasi dua lawan satu di daerah sayap dan membuat bek lawan tak berkutik, memaksa mereka mendekam di daerah mereka sendiri.”
Sementara itu, anak asuh Bielsa juga tak kalah vertikal saat menyerang. Saat Chili asuhan Bielsa mengalahkan Peru 2-0 pada babak kualifikasi Piala Dunia 2010, proses gol Mati Fernandez bisa menjadi contoh. Kala itu lebih dari separuh pemain Chili ikut maju ke depan.
“Jumlah pemain Chili yang masuk ke daerah seperti akhir kadang-kadang menakutkan. Ambil contoh gol Mati Fernadez ke gawang Peru, di mana ia adalah salah satu dari tujuh pemain Chili yang jaraknya hanya sekitar 20 meter dari gawang Peru,” tulis Michael Cox, analis sepakbola asal Inggris, menyoal gol itu.
Pada tahun 2012 lalu, saat Bielsa menangani Athletic Bilbao, cara bermain anak asuh Bielsa itu kemudian dijabarkan secara ringkas oleh Pep Guardiola. Kata Pep, “Mereka semua berlari ke depan... dan mereka kemudian semua berlari ke belakang lagi. Maju, mundur, maju, mundur. Mereka sangat menarik.”
Pertandingan antara Athletic Bilbao melawan Barcelona di San Mames, Bilbao, pada November 2011 silam adalah salah satu alasan Pep berkata seperti itu. Dalam pertandingan yang berakhir dengan skor 2-2 tersebut, tidak hanya membuat Barcelona kesulitan, Bilbao juga bermain tanpa rasa takut, yang membuat Sid Lowe, jurnalis Inggris, menyebut bahwa “Bilbao melawan Barcelona dibentuk seperti sebuah reuni sepasang kekasih yang sudah lama tidak bertemu, roh yang sama – sepasang penyair yang bersatu dalam syair.”
Ada adu pressing di tengah lapangan yang basah karena hujan, ada adu filosofi, ada adu taktik kelas satu, dan hasilnya, menurut Sid Lowe, itu barangkali adalah pertandingan terbaik di La Liga musim 2011-2012. AS, media ternama asal Spanyol, lantas mengamini ucapa Sid Lowe itu dengan satu kata yang sangat mengena: “memorable.”
Yang menarik, pertandingan itu ternyata juga bisa menunjukkan mengapa Bielsa sejauh ini tidak bisa meraih kesuksesan di Eropa. Kala itu, ia baru mengganti para pemainnya di menit-menit akhir pertandingan. Alasan Bielsa: “Aku ingin mengganti seseorang yang tidak bermain bagus atau tidak mau berlari. Namun, tidak ada seorang pemain pun yang seperti itu.”
Gaya main tim-tim Bielsa yang membuat para pemain-pemainnya terus berlari seakan tidak memiliki hari esok tentu sangat melelahkan. Menurut Juan Manuel Llop, mantan anak asuh Bielsa sewaktu di Newell’s, gaya itu tidak hanya melelahkan secara fisik, melainkan juga membuat lelah pikiran juga gairah. Dan saat itu terjadi, penampilan tim-tim asuhan Bielsa akan mulai mengalami penurunan. Newell’s, Bilbao, hingga Marseille lantas mengalami siklus yang seragam: adaptasi di awal, kencang di tengah, dan memble di akhir kompetisi.
Namun, apakah Bielsa pernah mengubah filosofinya itu? Tidak. Ia justru lebih suka mengatakan “Jika para pemain adalah robot, aku tidak akan pernah kalah.” Kemudian, Apakah ia memang benar-benar gila? Tidak, tapi, menurut Iker Muniain, mantan anak asuhnya di Bilbao, “Bielsa sangat gila.”
Dan untuk semua obsesinya, untuk semua tingkah absurdnya, dan untuk semua kegilaannya itu, Bielsa pernah mengatakan, “Keberhasilan dan kegagalan hubungan telah menjadi dasar dalam hidupku, tetapi kesuksesan dan kebahagiaan tidak pernah berfungsi sebagai sinonim. Ada orang-orang sukses yang tidak bahagia, dan ada orang-orang yang tidak perlu sukses untuk bahagia."
Bielsa barangkali satu-satunya pelatih sepakbola bisa memandang sepakbola dengan cara seperti itu. Maka, seperti apa yang dibilang oleh Jonathan Wilson, Bielsa memang pantas menjadi seorang legenda.
Editor: Nuran Wibisono