Menuju konten utama

Mantan Presiden Indonesia Gemar Dirikan Lembaga Think Tank

Apakah lembaga yang dibentuk mantan orang nomor satu di Indonesia benar-benar efektif berperan sebagai think tank?

Mantan Presiden Indonesia Gemar Dirikan Lembaga Think Tank
Direktur Eksekutif The Yudhoyono Institute Agus Harimurti Yudhoyono berpidato saat peluncuran The Yudhoyono Institute di Jakarta, Kamis (10/8). ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari

tirto.id - Empat mantan presiden Indonesia setelah Soeharto semuanya mendirikan lembaga think tank. B.J Habibie mendirikan Habibie Center di tahun 1998. Sedangkan Abdurrachman Wahid mendirikan Wahid Foundation di tahun 2004 dan Megawati membuat Megawati Institute di tahun 2009. Terakhir, pada Agustus 2017, SBY meluncurkan The Yudhoyono Institute.

Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya mengatakan pembentukan lembaga-lembaga tersebut tersebut lumrah dilakukan oleh orang-orang yang sudah senior.

“Kalau di Amerika Serikat biasanya mantan presiden. Di Indonesia, ada Habibie Center, Akbar Tandjung Institute, artinya tokoh-tokoh senior yang sudah bicara mengenai negara. Jadi levelnya ketika seorang politisi sudah menjadi negarawan,” ujar Yunarto.

Di Amerika Serikat, Obama mendirikan Obama Center, Bill Clinton membuat Clinton Foundation, sementara George W. Bush menginisiasi Bush Foundation. Sedangkan Mantan Perdana Inggris Menteri Tony Blair membuat Tony Blair Faith Foundation.

Cakupan bahasan organisasi yang dibentuk eks presiden Amerika Serikat pun beragam. Ada yang menjadi penyelenggara program kesenian, perawatan museum, penyedia beasiswa dan pelatihan bagi para pemuda. Beberapa di antaranya menjelma sebagai lembaga think tank.

Di antara banyak cakupan, lembaga think tank adalah tipe yang paling diminati mantan presiden Indonesia. Istilah think tank merujuk pada organisasi yang fokus pada penelitian dan advokasi mengenai kebijakan sosial, strategi politik, ekonomi, militer, teknologi, dan budaya.

Think Tank Berkelindan Kuasa

Meskipun think tank berkembang di era modern, tapi bibit keberadaan lembaga ini dapat ditelusuri sejak abad ke-16 dan ke-17. Menurut sejarawan Universitas Southern California Jacob Soll think tank muncul semasa para raja di Eropa mulai berdebat dengan Gereja Katolik mengenai pajak. Menurut Soll, para raja kerap mendatangkan tim independen guna memberi nasehat kepada raja tentang hak finansial dan politik raja atas Gereja Katolik.

Salah satu legenda think tank yang dikenal sampai saat ini adalah Brooking Institute. Dibentuk di awal abad ke-20, lembaga ini tampil "nonpartisan". Para pengurus lembaga tersebut mencitrakan diri sebagai teknokrat berintelektulitas tinggi yang memahami dunia ini lebih baik daripada kaum sosialis atau pihak yang mempentingkan diri sendiri.

Selama masa Great Depression di Amerika Serikat, Brookings muncul dengan rekomendasi anti-New Deal. Bagi mereka kebijakan Social Security dan National Industrial Recovery adalah bentuk intervensi negara yang terlalu dalam untuk urusan ekonomi. Rekomendasi Brookings kurang laku dan tidak bisa berjalan selama pemerintahan Roosevelt.

Namun arah angin berubah, Brookings akhirnya menjadi pilar penting selama pemerintahan Kennedy dan Johnson. Rekomendasi Brookings menjadi dasar kebijakan presiden Johnson yang dikenal dengan sebutan Johnson's Great Society. Ciri khas program tersebut ialah memadukan pandangan moralistik dengan keahlian teknokratik.

"Kamu (merujuk pada Brookings Institute) adalah institusi nasional yang sangat penting, setidaknya, bagi Eksekutif - dan saya pikir Kongres dan negara. Jika kamu tidak ada, kami harus meminta seseorang untuk membuat kamu," ujar Presiden Johnson pada pesta ulang tahun ke-50 Brooking.

Kreasi Mantan Presiden

Pertanyannya, apakah lembaga yang dibentuk mantan orang nomor satu di Indonesia benar-benar efektif berperan sebagai think tank?

Untuk menjawabnya, Tirto.id memeriksa hasil publikasi yang terdiri dari hasil riset, buku, dan kegiatan yang diselenggarakan oleh Habibie Center, Wahid Foundation, dan Megawati Institute. Tirto.id juga melakukan wawancara dengan pengurus lembaga tersebut.

Ada beberapa karakteristik yang melekat pada ketiga lembaga itu. Habibie Center memusatkan perhatian pada isu modernisasi dan demokratisasi di Indonesia. Wahid Foundation juga memiliki visi serupa, hanya ia fokus pada isu toleransi dan keberagaman. Meskipun memiliki visi berbeda, semuanya dibentuk untuk meneruskan perjuangan mantan presiden.

“Setelah Gus Dur turun dari jabatan presiden, harus ada wadah melanjutkan perjuangan beliau Yenny Wahid dan Greg Bourton akhirnya berinisiatif untuk membentuk Wahid Institute,” ujar program officer riset dan kebijakan Wahid Institute Siti Kholiza.

Dua lembaga tersebut juga melakukan riset dan mengajukan rekomendasi ke DPR dan pemerintah. Sejak 2013, setiap tahun Wahid Foundation menerbitkan laporan kondisi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB). Sedangkan Habibie Center mengeluarkan ASEAN’s Brief yang membahas isu regional ASEAN. Terakhir, Habibie Center melakukan advokasi atas RUU Minyak Bumi dan Gas. Sementara itu, Wahid Institute memperjuangkan RUU Perlindungan Umat Beragama.

“Kabar baik dari teman kita Tasikmalaya, alhamdulillah pengikut Ahmadiyah di sana sudah diperbolehkan melaksanakan salat Ied. Yang kerja tentu tidak Wahid Institute sendiri,” ujar Siti.

Sedikit berbeda, Megawati Institute berupaya melestarikan pemikiran Bung Karno dan Megawati. Mayoritas kegiatan yang dilakukan lembaga tersebut adalah pelatihan kepemimpinan yang diberi tajuk Sekolah Pemikiran Pendiri Bangsa (SPPB). Awal 2017, institut ini menerbitkan sebuah buku yang berisi tulisan karya para peserta SPPB.

Pengurus harian Megawati Institute Dida Darul Ulum mengatakan Megawati Institute tetap melakukan riset tapi hanya untuk kajian internal saja.

“Kajian yang dilakukan membantu PDIP dalam menentukan kebijakan. Contohnya soal Keislaman Bung Karno. Hal ini kan menyatakan bahwa nasionalisme dan Islam itu tidak bertentangan,” ujar Dida.

Salah satu tantangan yang dihadapi lembaga think tank adalah pendanaan. The Yudhoyono Institute masih mengandalkan dana dari keluarga SBY. Hal serupa juga pernah dilakukan Habibie Center sampai tahun 2010.

“Sampai tahun 2010, dana Habibie Center bersumber dari kantong Habibie. Namun, lekatnya citra Habibie dengan Golkar membuat pengurus khawatir citra lembaga itu jadi partisan. Maka dari itu, pada tahun 2011, Habibie Center mencari donor sendiri, seperti ke USAID,” ujar Humas Habibie Center Mila Oktaviani.

Baca juga artikel terkait SUSILO BAMBANG YUDHOYONO atau tulisan lainnya dari Yulaika Ramadhani

tirto.id - Hard news
Reporter: Husein Abdul Salam
Penulis: Yulaika Ramadhani
Editor: Yulaika Ramadhani