tirto.id - Winnie Madikizela-Mandela, mantan istri Nelson Mandela dan pahlawan anti-Apartheid di Afrika Selatan meninggal pada Senin (2/4/2018) sore, di usia 81 tahun.
Dikutip dari The Guardian, Winnie Madikizela-Mandela meninggal di rumah sakit Johannesburg karena sakit, menurut asisten pribadinya, Zodwa Zwane.
“Dia beristirahat dengan damai dikelilingi oleh keluarganya dan orang-orang yang dicintai pada Senin [2 April 2018] sore," menurut pernyataan keluarga.
"Madikezela-Mandela adalah salah satu ikon terbesar perjuangan melawan apartheid. Dia bertempur dengan gagah berani melawan negara apartheid.... Dia mengorbankan hidupnya untuk kebebasan negara dan membantu memberikan perjuangan untuk keadilan di Afrika Selatan.”
Winnie Mandela dikagumi banyak orang. Ia menjadi salah satu yang berani menentang rezim rasis brutal. Ia menjadi salah satu dari aktivis yang tersisa dalam memimpin perjuangan melawan apartheid.
Ia dan mantan suaminya Nelson Mandela sempat dipenjara dalam perlawanannya terhadap apartheid. Perjuangan anti-apartheid mereka berlangsung selama tiga dekade. Namun ia juga berulang kali dituduh terkait kasus kekerasan dan korupsi.
Presiden Afrika Selatan Cyril Ramaphosa menyampaikan belasungkawa atas meninggalnya wanita pahlawan anti-Apartheid Winnie Madikizela-Mandela. Ramaphosa menyebut Winnie Madikizela-Mandela sebagai "lambang abadi keinginan rakyat kita untuk bebas".
"Dengan perasaan kehilangan yang sangat besar dan kesedihan yang mendalam kami mengetahui meninggalnya Winnie Madikizela-Mandela," kata Ramaphosa, seperti dikutip Antara.
"Hari ini, kita telah kehilangan seorang ibu, seorang nenek, seorang teman, seorang rekan, seorang pemimpin dan seorang lambang," kata Ramaphosa.
Selain Presiden Afrika Selatan, Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres juga turut berduka atas meninggalnya Winnie Madikizela-Mandela.
"Sekretaris jenderal berduka atas meninggalnya Winnie Madikizela-Mandela, seorang tokoh pemimpin di garis depan perang melawan Apartheid di Afrika Selatan," kata Stephane Dujarric, Juru Bicara PBB.
"Ia adalah suara yang lantang dan tak kenal takut dalam perjuangan bagi hak yang sama dan akan dikenang sebagai lambang perlawanan."
Penulis: Yantina Debora
Editor: Yantina Debora