Menuju konten utama

Majelis Umum PBB Gelar Sidang Darurat Pasca-Veto AS soal Yerusalem

Permintaan untuk sidang Majelis Umum PBB diajukan sekelompok negara Arab, Turki, dan OKI sebagai representasi "suara kolektif dunia Muslim."

Majelis Umum PBB Gelar Sidang Darurat Pasca-Veto AS soal Yerusalem
Sidang Majelis Umum PBB di New York, Amerika Serikat, Kamis (21/9/2017). ANTARA FOTO/Aditya Wicaksono

tirto.id - Majelis Umum PBB akan mengadakan pertemuan darurat setelah AS memveto resolusi Dewan Keamanan PBB yang menolak keputusan Donald Trump untuk mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel.

Permintaan untuk sidang Majelis Umum PBB ini diajukan oleh sekelompok negara Arab, Turki, dan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), yang dianggap sebagai representasi "suara kolektif dunia Muslim."

Pada 6 Desember lalu, Presiden AS Donald Trump menyatakan pengakuannya atas Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Keputusan ini dianggap telah membalikkan periode kebijakan luar negeri AS dan membuat dunia Arab dan sekutu-sekutu Barat hancur.

Seperti diwartakan Al Jazeera, Presiden Majelis Umum PBB Miroslav Lajcak mengatakan bahwa sidang darurat akan dilakukan sesegera mungkin. Sementara itu, Duta Besar Palestina untuk PBB, Riyad Mansour, memperkirakan pertemuan akan diadakan pada Rabu (20/12/2017) atau Kamis (21/12/2017).

Mansour mengatakan bahwa permintaan atas pertemuan tersebut menyebutkan bahwa sidang harus diadakan sesuai dengan prinsip "Uniting for Peace", mengacu pada Resolusi 377A Majelis Umum 1950.

Menurut resolusi tersebut, Majelis Umum dapat diminta menghelat sidang sendiri untuk membahas pertimbangan lebih jauh mengenai rekomendasi yang pantas bagi para anggota jika Dewan Keamanan gagal menjalankan tanggung jawab utamanya memeliharaan perdamaian dan keamanan internasional.

Turki, yang telah sangat vokal dalam mengkritik pemerintah AS atas keputusannya soal Yerusalem, berada pada barisa terdepan yang mendorong adanya sidang Majelis Umum.

"Resolusi [soal Yerusalem] tersebut dapat disahkan dengan mendapatkan setidaknya dua pertiga suara anggota Majelis Umum PBB," seorang sumber Kementerian Luar Negeri Turki, yang ingin tetap anonim, mengatakan kepada Al Jazeera.

"Kami sudah mendapat jumlah [suara], tapi Turki, dan juga anggota OKI lainnya, bekerja keras untuk meningkatkannya," kata salah satu sumber.

Hukum internasional mempertimbangkan Yerusalem Timur yang diduduki itu menjadi ibu kota negara Palestina masa depan, dan tidak mengakui aneksasi wilayah oleh Israel.

Berbicara setelah veto AS atas Dewan Keamanan, Mansour mengatakan: "Sungguh paradoks bahwa sementara kami menunggu rencana perdamaian dari AS, pemerintah malah memutuskan untuk terus menghalangi perdamaian dan menunda realisasinya.”

"Keputusan AS justru mendorong Israel untuk terus melakukan kejahatan terhadap rakyat Palestina dan melanjutkan pendudukan di wilayah kami," tambahnya.

Duta Besar AS untuk PBB Nikki Haley, melalui Twitter, mengancam akan mengingat negara manapun yang mendukung resolusi itu.

"Di PBB kami selalu diminta untuk berbuat lebih dan lebih. Oleh karena itu, ketika kami membuat keputusan, atas mandat rakyat Amerika mengenai di mana kami menempatkan kedutaan besar kami, kami tak ingin mereka yang telah kami bantu malah menentang kami. Kamis nanti mungkin ada voting yang mengkritik pilihan kami. AS akan mencatat nama-nama [negara yang mengkritik keputusan AS mengakui Yerusalem ibu kota Israel]," tulis dia.

Sidang darurat Majelis Umum PBB sebelumnya hanya 10 kali digelar. Terakhir kali sidang terjadi pada 2009, menyangkut wilayah Yerusalem Timur dan Palestina yang diduduki Israel. Sidang istimewa darurat Kamis nanti akan menjadi kelanjutan dari sidang istimewa darurat 2009 itu.

Baca juga artikel terkait YERUSALEM atau tulisan lainnya dari Yuliana Ratnasari

tirto.id - Politik
Reporter: Yuliana Ratnasari
Penulis: Yuliana Ratnasari
Editor: Yuliana Ratnasari