Menuju konten utama

Mahfud MD Tuding Pansus Hak Angket KPK Cacat Hukum

Ketua Umum DPP Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara-Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN), Mahfud MD menuding pembentukan Pansus Hak Angket KPK cacat hukum sebab memuat banyak pelanggaran undang-undang.

Mahfud MD Tuding Pansus Hak Angket KPK Cacat Hukum
(Ilustrasi) Sekjen KPK Bimo Gunung Abdul Kadir (ketiga kiri) bersama Ketua panitia seleksi pemilihan penasihat KPK Imam B. Prasodjo (ketiga kanan) serta anggota pansel (kiri ke kanan) Busyro Muqoddas, Mahfud MD, Rhenald Kasali dan Saldi Isra mengangkat tangan usai memberikan keterangan terkait proses seleksi penasihat KPK di Gedung KPK Jakarta, Selasa (7/2/2017). ANTARA FOTO/Wahyu Putro A.

tirto.id - Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD menyatakan pembentukan Panitia Khusus Hak Angket (Pansus Hak Angket) KPK di DPR RI cacat hukum.

Pernyataan Mahfud itu muncul dalam kapasitasnya sebagai Ketua Umum DPP Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara-Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN).

"Cacat hukum karena tiga hal. Pertama, subjeknya keliru. Kedua, objeknya keliru. Dan yang ketiga, prosedurnya salah," kata Mahfud MD saat menggelar konferensi pers bersama pimpinan Komisi Anti-rasuah di Gedung KPK, Jakarta pada Rabu (14/6/2017) seperti dikutip Antara.

Dia menjelaskan, secara historis, hak angket DPR RI hanya dimaksudkan untuk pemerintah. Karena itu, ketika Hak Angket ditujukan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) maka subjeknya salah.

"Dulu pertama kali (Hak Angket) di Inggris itu untuk pemerintah. Lalu di Indonesia diadopsi pada 1950 ketika sistem parlementer untuk keperluan mosi tidak percaya kepada pemerintah, lalu diadopsi UUD. Hak angket itu tetap konteksnya pemerintah, tidak mungkin DPR mengawasi yang bukan pemerintah," kata Mahfud.

Sedangkan berdasar Pasal 79 ayat 3 UU MD3, Mahfud melanjutkan, Hak Angket DPR berfungsi untuk menyelidiki pelaksanaan undang-undang dan/atau kebijakan pemerintah. Makanya, dia menyimpulkan objek Hak Angket KPK salah sebab tak sesuai UU MD3.

"Disebutkan di penjelasannya bahwa pemerintah mulai dari Presiden, Wakil Presiden, para Menteri, Jaksa Agung, Kapolri, dan lembaga pemerintah nonkementerian. Basarnas, LIPI, Wantimpres itu lembaga pemerintah nonkementerian. Tetapi, di luar itu, seperti KPK, bukan lembaga pemerintah," kata Mahfud.

Berkaitan dengan prosedur pembentukan Pansus Hak Angket KPK, Mahfud menilainya juga patut diduga kuat melanggar Undang-Undang.

"Karena pertama menurut yang disiarkan di media massa pada waktu itu dipaksakan prosedurnya. Ketika itu, masih banyak yang tidak setuju tiba-tiba diketok (Rapat Paripurna DPR),” ujar Mahfud.

Ia melanjutkan, “Seharusnya di dalam keadaan belum bulat suaranya, semestinya divoting, ditanya dulu. Ini bisa dianggap sebagai manipulasi persidangan."

Apalagi, menurut Mahfud, ada kesan kuat pembentukan Pansus Hak Angket KPK dipaksakan karena baru ada tujuh fraksi di DPR RI yang mengirimkan wakilnya. "Padahal, menurut Pasal 201 Ayat 3 UU MD3, harus semua fraksi ada di dalam panitia itu. Kalau dipaksakan, melanggar prosedur," kata dia.

Mahfud juga menilai pembentukan Pansus Hak Angket KPK di DPR RI bukan hal yang strategis. "Di dalam Undang-Undang, disebutkan materi hak angket itu menyangkut hal penting yang bukan masalah rutin, hal strategis, dan mempunyai pengaruh luas di tengah masyarakat," ujar dia.

Menurut Mahfud, kesaksian mantan anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi Partai Hanura Miryam S Haryani dalam persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Kamis (23/3/2017) yang mengaku ditekan penyidik KPK adalah hal biasa dan tidak ada unsur kegawatan yang mengharuskan perlu ada Hak Angket.

"Itu kan hal biasa tidak ada hal yang gawat di situ dan itu juga sudah dibuktikan dalam sidang praperadilan (kasus penetapan Miryam sebagai tersangka kesaksian palsu) sudah benar. Ini tidak ada strategisnya dan tidak berpengaruh luas ke masyarakat. Ini masalah biasa saja dan masyarakat juga menganggap pemeriksaan Miryam itu biasa," kata dia.

Sementara apabila DPR mengelak dan menyatakan Pansus Hak Angket KPK tidak hanya berkaitan dengan soal Miryam, hal itu juga tidak diperbolehkan undang-undang. Mahfud menegaskan materi Hak Angket harus fokus pada satu masalah.

"Hak angket itu harus fokus apa yang mau diangket kalau nanti masalahnya mau dicari oleh Pansus itu tidak boleh, tidak fair (adil) secara hukum," kata dia.

Usulan Hak Angket KPK memang muncul usai KPK menolak permintaan Komisi III DPR RI untuk membuka rekaman pemeriksaan Miryam terkait korupsi E-KTP di sebuah rapat dengar pendapat pada 19 April 2017. KPK ngotot menolak permintaan untuk membuka rekaman pemeriksaan Miryam di luar persidangan itu.

Permintaan anggota dewan itu muncul sebab, di persidangan e-KTP, penyidik KPK Novel Baswedan mengatakan, saat diperiksa, Miryam pernah mengaku ditekan sejumlah anggota Komisi III DPR RI agar tak mengumbar keterangan mengenai adanya pembagian duit korupsi e-KTP ke puluhan anggota dewan periode 2009-2014. Pernyataan Novel itu keluar saat dia bersaksi untuk membantah klaim Miryam bahwa ia memberi keterangan di BAP atas tekanan penyidik KPK.

Baca juga artikel terkait HAK ANGKET KPK atau tulisan lainnya dari Addi M Idhom

tirto.id - Hukum
Reporter: Addi M Idhom
Penulis: Addi M Idhom
Editor: Addi M Idhom