Menuju konten utama

Mahfud MD: KPK Bisa Jemput Paksa Setya Novanto Tanpa Izin Presiden

Mahfud MD menilai KPK bisa menjemput paksa Setya Novanto tanpa izin Presiden Joko Widodo. Rujukan hukumnya UU MD3 Pasal 245 ayat 3 butir c.

Mahfud MD: KPK Bisa Jemput Paksa Setya Novanto Tanpa Izin Presiden
Mantan Ketua MK, Mahfud MD. Antara foto/Sigid Kurniawan.

tirto.id - Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD menilai, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bisa menjemput paksa Setya Novanto tanpa izin dari Presiden Joko Widodo untuk dimintai keterangan terkait korupsi e-KTP.

"Kalau sudah tersangka, untuk dipanggil KPK tidak perlu persetujuan presiden, bisa dijemput paksa juga," kata Mahfud di Kompleks Kepatihan, Yogyakarta, seperti dikabarkan Antara, Selasa (7/11/2017).

Menurut Mahfud, Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) Pasal 245 ayat 3 butir c menyatakan bahwa untuk kasus pidana khusus, pemeriksaan terhadap anggota DPR tidak perlu izin presiden.

"Tidak harus izin, bisa langsung diambil. Tapi ya tidak sampai ke sana, untuk apa dijemput paksa, biasa aja dateng kok," kata dia.

Menurut Mahfud, saat Setya Novanto menang praperadilan, pada dasarnya memang sangat memungkinkan untuk ditersangkakan kembali karena saat itu dua alat bukti sudah mencukupi.

"Saya sudah bilang begitu dia menang di praperadilan tidak sampe satu jam, saya bilang itu bisa ditersangkakan lagi. Karena dalam logika publik dan logika hukum yang saya pelajari memang sudah cukup dua alat bukti," kata dia.

Meski demikian, Mahfud berharap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bisa bertindak lebih cepat untuk segera melimpahkan kasus Novanto ke pengadilan. Tujuannya, kata dia, agar tidak dipraperadilankan lagi.

"Kalau soal keberanian saya salut KPK berani artinya tidak takut tekanan dari manapun tekanan politik," kata dia.

Juru Bicara KPK Febri Diansyah membenarkan bahwa KPK memang menerbitkan Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) baru dalam pengembangan kasus korupsi e-KTP, namun belum bisa mengungkap nama tersangka.

"Jadi, ada surat perintah penyidikan di akhir Oktober (2017) untuk kasus KTP ektronik ini. Itu Sprindik baru dan ada nama tersangka," kata Febri Diansyah di gedung KPK, Jakarta, pada Selasa (7/11/2017).

Meski demikian, Febri enggan menjelaskan nama tersangka atau Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) terkait pengembangan kasus e-KTP itu. "Terkait dengan informasi lain yang lebih teknis, misalnya, soal SPDP atau soal nama tersangka atau peran yang lain, kami belum bisa konfirmasi hal itu hari ini. Tetapi kami pastikan KPK akan terus berjalan menangani kasus KTP elektronik," ujar Febri.

Dia beralasan KPK masih mencari waktu yang tepat untuk menyampaikan pengumuman lebih lengkap mengenai penetapan tersangka baru korupsi e-KTP itu. "Ada kebutuhan, humas dan penyidik harus berkoordinasi lebih lanjut untuk mencari waktu tepat untuk pengumuman lebih lengkap," kata Febri.

Pernyataan Febri ini mencuat menyusul berdarnya foto surat dengan kop dan cap KPK bernomor B-619/23/11/2017 perihal pemberitahuan dimulainya penyidikan tertanggal 3 November 2017. SPDP itu menyatakan bahwa Ketua DPR RI Setya Novanto kembali menjadi tersangka korupsi e-KTP.

Baca juga artikel terkait KORUPSI E-KTP

tirto.id - Hukum
Sumber: antara
Penulis: Agung DH
Editor: Agung DH