Menuju konten utama
Pahlawan Nasional 2020

Machmud Rumagesan: Penolakan Pemuda dan Masalah Buta Huruf di Papua

Machmud Singgirei Rumagesan adalah tokoh integrasi Papua yang buta huruf dan beberapa kali ditahan pemerintah kolonial Belanda.

Machmud Rumagesan: Penolakan Pemuda dan Masalah Buta Huruf di Papua
Header Machmud Rumagesan. tirto.id/Fuadi

tirto.id - Pada sebuah surat bertitimangsa 21 Maret 1956 yang ditujukan kepada Presiden Sukarno dan Perdana Menteri RI, Elly Kandiwara dan kawan-kawan menolak pengangkatan Machmud Singgirei Rumagesan sebagai anggota parlemen. Mereka adalah perwakilan pemuda Irian Barat.

”Saudara Machmud Rumagesan bukanlah seorang dari Irian Barat,” kata Elly Kandiwara dan kawan-kawan seperti terangkum dalam koleksi Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), Kabinet Presiden 1950-1959 nomor 933.

Dalam arsip itu disebutkan bahwa Machmud Rumagesan berasal dari Pulau Seram dan telah lama tinggal di Irian Barat untuk berdagang burung cenderawasih. Oleh Belanda dia diangkat menjadi lurah atau kepala desa, meski Machmud Rumagesan mengaku dirinya sebagai seorang raja.

Di masa lalu, banyak kerajaan di Indonesia yang wilayah teritorialnya kecil. Ada yang seluas kabupaten, kecamatan, bahkan hanya seluas desa. Maka tak heran jika seorang kepala desa seperti Machmud Rumagesan mengaku dirinya sebagai seorang raja.

Machmud Rumagesan adalah Raja Sekar, Distrik Kokas, Fak-fak, kini masuk wilayah Provinsi Papua Barat. Menurut Desy Polla Usmany, Saberia, dan Rosmaida Sinaga dalam Kerajaan Fatagar Dalam Sejarah Kerajaan-Kerajaan Di Fakfak Papua Barat (2014:72), raja-raja di sekitar daerah itu umumnya berdarah campuran Seram.

Sementara menurut Asisten Residen Papua Barat AL Vink, Raja Sekar merupakan putra asli daerah, dan Machmud Rumagesan dikenalnya sebagai Raja Singgirei. Machmud, imbuh Vink, adalah pengganti dari seorang laki-laki bernama Pipi.

Dalam Machmud Singgirei Rumagesan: Pejuang Integrasi Papua (2013: 8, 48-49) disebutkan bahwa dia mulai jadi raja pada 1915. Meski diangkat dan diakui oleh pemerintah kolonial Belanda, namun dia beberapa kali berseteru dengan pemerintah. Dia antara lain berontak karena penolakan Kontrolir van den Terwijk terhadap sarannya tentang pembayaran gaji penduduknya yang bekerja di Maskapai Colijn yang beroperasi di Kokas. Maka itu dia kemudian dijeboskan ke penjara.

Masih menurut catatan Rosmaida Sinaga (2013:66-67), pada 1 Maret 1946 Machmud Rumagesan pernah menurunkan bendera Belanda di Kokas hingga terjadi bentrokan. Militer Belanda kemudian menindak raja dan pengikutnya hingga Machmud pun harus pindah-pindah penjara dari Sorong, Manokwari, Jayapura, hingga Makassar.

Menurut Elly Kandiwara dan kawan-kawan, setelah Jepang menyerah, Machmud Rumagesan dimasukkan ke penjara di Makassar dan dibebaskan setelah pengakuan kedaulatan tahun 1949.

Sebagai lawan politik Belanda, Machmud adalah tokoh yang potensial bagi Republik Indonesia dalam usaha perebutan Irian Barat. Tak heran jika dalam beberapa buku soal perebutan Irian Barat, nama Machmud Rumagesan kerap muncul sebagai orang Papua yang pro Indonesia.

”Kita mengagumi ketabahan hati pemimpin rakyat, Machmud Rumagesan dari wilayah sekitar Fakfak, yaitu Raja al Alam Ugar Sekar, yang berkali-kali dijebloskan penjajah ke dalam penjara, berkali-kali pula memimpin pemberontakan terhadap pemerintah kolonial, berkali-kali ditangkap, berkali-kali lepas lagi, kemudian ditangkap lalu dijatuhi hukuman mati, tapi akhirnya lolos lagi, lari ke Jakarta,” tulis MR Dajoh dalam Irian Barat Pukul Tifa (1961:24).

Infografik Machmud Rumagesan

Infografik Machmud Rumagesan. tirto.id/Fuadi

Pada 1953, Machmud Rumagesan mendirikan Gerakan Tjenderawasi Revolusioner Irian Barat (GTRIB) di Makassar, guna membantu pemerintah Indonesia merebut Irian Barat. Pada Kongres Nasional untuk perdamaian di Jakarta pada 24-29 Januari 1955, juga dalam sidang Dewan Nasional pada 1957, Machmud menyerukan agar Irian Barat harus kembali ke Indonesia.

Seperti tokoh-tokoh lain yang dianggap pahlawan dalam usaha perebutan Irian Barat, nama Machmud Rumagesan sangat asing bagi kebanyakan orang Indonesia. Hal itu bisa dilihat saat foto Frans Keiseipo muncul dalam uang pecahan 10 ribu rupiah: mayoritas rakyat Indonesia bertanya-tanya tentang siapa tokoh tersebut.

Kini, Papua telah berkembang menjadi dua wilayah besar, yakni Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat. Jika Frans Keiseipo adalah pahlawan nasional dari Provinsi Papua, maka tahun ini Machmud Rumagesan diangkat sebagai pahlawan nasional dari Provinsi Papua Barat.

Menjadikan Machmud Rumagesan sebagai pahlawan nasional bisa jadi sebagai upaya pemerintah merebut hati rakyat Papua. Namun, sebetulnya ada yang lebih penting bagi masyarakat Papua lebih dari sekadar seremonial pengangkatan pahlawan nasional, salah satunya masalah buta huruf.

Menurut Elly Kandiwara dan kawan-kawan, Machmud Rumagesan adalah orang yang tak bisa baca tulis alias buta huruf. Hal ini disebabkan karena sejak zaman kolonial pendidikan sekolah dasar di Papua, terlebih di daerah Fakfak, memang langka. Maka tak heran jika Machmud Rumagesan yang wafat pada tahun 1964 itu juga buta huruf.

Dan sampai hari ini, Papua adalah wilayah buta huruf paling tinggi di Indonesia. Artinya, alih-alih hanya mengangkat Machmud Singgirei Rumageran sebagai pahlawan nasional, pemerintah Indonesia mestinya lebih memerhatikan pegentasan buta huruf di Bumi Cenderawasih itu.

Baca juga artikel terkait PAHLAWAN NASIONAL atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Humaniora
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Irfan Teguh