tirto.id - Jepang akan berinvestasi di Sovereign Wealth Fund (SWF) atau Lembaga Pengelola Investasi (LPI) Indonesia--yang diberi nama Nusantara Investment Authority (NIA)--dengan nilai Rp57 triliun. Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan bilang dia telah mengantongi komitmen Gubernur Japan Bank for International Cooperation (JBIC) Maeda Tadashi.
“JBIC siap mendukung pendanaan SWF Indonesia sebesar 4 miliar dolar AS (Rp57 triliun),” ucap Luhut dalam keterangan tertulis, Jumat (4/12/2020) kemarin. “[Jumlahnya] dua kali lipat lebih besar dari yang disampaikan US International Development Finance Corporation (DFC)–lembaga pembiayaan asal Amerika Serikat.” November 2020 lalu, DFC menyatakan komitmen dengan nilai dana senilai Rp28 triliun.
Komitmen ini disampaikan Luhut sebagai hasil kunjungan dari Tokyo, Jepang. Dia dan Menteri BUMN Erick Thohir ke Jepang pada 3-4 Desember lalu. Keberangkatan mereka merupakan tindak lanjut dari kesepakatan Presiden Joko Widodo dan Perdana Menteri Jepang Yoshihide Suga pada Oktober lalu.
Selain JBIC, Luhut dan Erick juga menemui sekurang-kurangnya 20 investor potensial asal Jepang di bidang keuangan dan energi.
Pejabat Indonesia itu juga menemui Menteri Ekonomi, Perdagangan dan Industri (METI) Jepang Kajiyama Hiroshi. Salah satu agenda yang dibahas terkait komitmen Jepang untuk menyelesaikan MRT Jakarta Fase 2 tepat waktu. Lalu ada juga pembicaraan mengenai target “Carbon Neutral” atau bebas polusi per 2050 sekaligus proyek Carbon Capture Storage yang tengah dibangun di Gundih, Jawa Tengah.
Selain Jepang, Luhut rencananya bakal langsung bertolak ke Abu Dhabi dan Saudi Arabia, hari ini Sabtu (5/12/2020), juga dalam rangka menjajaki dukungan untuk pembentukan NIA.
SWF lahir melalui Undang-Undang Cipta Kerja. Kementerian Keuangan bilang lembaga ini bisa menjadi mitra investor dalam membangun infrastruktur seperti tol, bandara, pelabuhan, sampai metropolitan baru Ibu Kota Negara (IKN).
Lembaga ini juga digadang-gadang dapat menjadi jalan keluar ketika utang sederet perusahaan pelat merah mulai terlampau tinggi dan mereka semakin kesulitan mencari utang baru sehingga mengalami tantangan lebih besar dalam merealisasikan ambisi pemerintah menggenjot proyek infrastruktur.
Meski demikian, ekonom menilai rencana ini tidak akan 100 persen berjalan mulus.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Rio Apinino