Menuju konten utama
Mozaik

Lifta, Desa Kuno di Yerusalem yang Diserang Milisi Israel

Lifta, desa kuno di Yerusalem, adalah salah satu yang menjadi target penyerangan milisi Israel dalam rangkaian Peristiwa Nakba 1948.

Lifta, Desa Kuno di Yerusalem yang Diserang Milisi Israel
Header Mozaik Lifta. tirto.id/Quita

tirto.id - Sore hari yang cerah di akhir musim semi tahun 2011, seorang lelaki Palestina bernama Yacoub Ahmad Odeh, berjalan menaiki lereng bukit di barat laut pinggiran kota Yerusalem. Langkahnya membelah rerumputan setinggi lutut.

Saat itu, Yacoub berusia 71 tahun. Di balik langkahnya yang ringan, ia menanggung beban kenangan masa kecil. Ia lalu duduk di salah satu batu yang berserakan.

"Ini rumah saya. [...] Sekarang hanya tersisa sudut-sudutnya. Ini adalah taboun (oven luar ruangan) tempat ibu saya biasa memanggang roti," ujarnya seperti ditulis Harriet Sherwood dalam "The ruined village Palestinians will never forget" yang tayang di The Guardian.

Meski rumahnya telah hancur, tanpa rasa lelah, hampir setiap hari ia naik turun lereng bukit itu, memandu para pengunjung di desa kuno Lifta yang dulu dihuni penduduk Arab-Palestina.

Dalam Lintasan Zaman

Menurut Avinom Shalem dalam "Lifta Silence and the Making of the Uncanny Landscape of Palestine", nama Lifta tercatat dalam sumber Mesir periode Pharonic sebagai sebuah benteng di pinggiran jalan menuju pintu masuk Yerusalem pada abad ke-13 sebelum Masehi.

Masyarakat Yahudi ultra-ortodoks meyakini bahwa pada masa Raja Daud (abad 10 SM), Desa Lifta merupakan permukiman Yahudi dengan nama Mei Niftoach. Hal itu merujuk pada keterangan dalam kitab suci mereka tentang keberadaan mata air kuno bernama Nephtoah di Yerusalem.

"[Menjadi batas wilayah] suku Yehuda dengan suku Benyamin," tulis Carlos de Urabá dalam Palestinalibre.org

Saat meletus perang Romawi-Yahudi periode pertama, wilayah ini disebut Bayht Liftafi sebelum akhirnya berganti nama menjadi Nephto pada era Bizantium. Selanjutnya pada masa Perang Salib (1095-1291), wilayah ini dikenal sebagai Clepsta.

"[Hal ini, berdasarkan] reruntuhan bangunan tentara salib di inti desa tua Lifta,” tulis Avinom Shalem (2003, hlm. 26)

Merujuk Interactive Encyclopedia of the Palestine Question, barulah pada tahun 1596 Lifta tertulis sebagai nama sebuah desa di nahiya (sub-distrik) Yerusalem yang dihuni oleh sekitar 396 penduduk Muslim.

Menurut Avinom Shalem, jumlah itu terus bertambah. Pada 1845, tercatat sebanyak 50 bangunan telah berdiri di desa tersebut dengan jumlah penduduk sebanyak 600 jiwa.

Pada 1878, terjadi perubahan administratif wilayah. Desa Lifta masuk dalam distrik Beni Malik dan dikenal sebagai "desa yang makmur di lereng gunung dengan mata air yang kuat," tulis Prof. A. Socin dalam "Alphabetisches Verzeichniss von Ortschaften des Paschalik Jerusalem” (1879).

Desa Lifta di Jerusalem

pemandangan bangunan-bangunan terbengkalai di Lifta, di tepi barat Yerusalem. (AP Photo/Ariel Schalit)

Selanjutnya, merujuk Palestine Reports and Generals Abstracts of the Census of 1922 (1922), setelah Palestina jatuh ke tangan Inggris pada 1917, administratif wilayah kembali mengalami perubahan. Desa Lifta kembali menjadi bagian dari sub-distrik Yerusalem dengan jumlah penduduk Muslim sebanyak 1451 jiwa, yang terdiri dari 721 pria dan 730 wanita.

Dalam Census of Palestine 1931 (1931), komposisi penduduk desa mengalami perubahan. Ditandai dengan keberadaan penduduk Yahudi sebanyak 35 jiwa dan 14 penduduk Kristen. Mereka hidup berdampingan bersama 1844 penduduk Muslim. Selain itu, sebanyak 410 rumah telah berdiri.

Mengutip laporan berjudul Village Statistics (1945), jumlah penduduk kembali bertambah hingga mencapai angka 2.550 jiwa. Namun dalam laporan tersebut komposisi penduduk hanya terdiri dari 2.530 penduduk Muslim dan 20 penduduk Kristen.

Keberlimpahan Buah Zaitun

Semua bangunan di Desa Lifta dibangun secara vernakular dengan pengaruh gaya arsitektur Romawi dan Utsmani. Penduduk tinggal di rumah batu berbentuk kubus dengan kubah kecil di atapnya. Beberapa di antaranya memiliki 2 sampai 3 lantai dengan lengkungan-lengkungan pada bagian pintu dan jendela.

Setiap bangunan tersusun dari batu-batu yang dipotong dan dipahat dengan penuh ketelitian oleh para tukang batu setempat.

"Semua pembangunan [di Desa] Lifta tidak menggunakan mortar atau semen," terang Antoine Raffoul, seorang arsitek kelahiran Palestina dalam The Electronic Intifada.

Menurut Daphna Golan, dkk, dalam "Lifta and the Regime of Forgetting: Memory Work and Conservation", sebelum akhir tahun 1947, luas wilayah desa terhitung mencapai 2.160 hektare dengan jumlah penduduk sebanyak 2.958 jiwa.

Di atas lahan tersebut, terdapat sebuah masjid, tempat pangkas rambut, toko daging, alun-alun, dua kedai kopi, dua toko pertukangan, sumur, tempat pemerasan zaitun, serta sekolah dasar khusus laki-laki dan perempuan.

Keberadaan sumber mata air kuno mengairi kolam penampungan air, kolam pemandian, serta lahan pertanian penduduk yang ditanami gandum, buah tin, plum, delima, dan almon atau badam.

"Kami memiliki lebih banyak buah zaitun daripada yang kami butuhkan, sehingga kami menjualnya di Yerusalem” terang Yacoub Ahmad Odeh dikutip kembali dari Harriet Sherwood dalam The Guardian.

Malapetaka di Desa Lifta

Mengutip kembali Daphna Golan, dkk. dalam "Lifta and the Regime of Forgetting: Memory Work and Conservation" (2013), pada 27 Desember 1947 kedamaian di Desa Lifta hancur.

Paramiliter Zionis bernama Gang Stren--dikenal juga sebagai pasukan Lehi--melakukan serangan terhadap sebuah kedai kopi menggunakan senapan mesin dan granat, menyebabkan enam orang tewas dan tujuh lainnya mengalami luka-luka.

Perlawanan sempat dilancarkan oleh milisi Arab. Namun, karena kurangnya koordinasi, milisi Arab akhirnya meninggalkan Lifta. Hal ini menciptakan ketakutan yang lebih besar bagi penduduk desa. Sebab, mereka tidak lagi memiliki pasukan pertahanan.

Memasuki Januari 1948, pasukan paramiliter zionis lainnya, Haganah, terlibat dalam serangkaian serangan di Desa Lifta. Situasi itu pada akhirnya memaksa 3.000 penduduk desa untuk mengungsi.

Setelah itu, dilakukan penghancuran terhadap 450 rumah yang telah dikosongkan. Atap rumah dilubangi untuk menghindari kedatangan kembali pemiliknya. Namun, dari pelbagai aksi penghancuran, sebanyak 55 rumah tidak mendapat kerusakan yang berarti dan dibiarkan tetap berdiri.

Mengetahui hal itu, para Liftawis--sebutan untuk penduduk Desa Lifta--sempat berusaha untuk kembali pulang ke desanya, ketika perang Arab-Israel pertama usai pada tahun 1949. Namun, hal itu dilarang oleh Pemerintah Israel. Lebih lanjut, mereka tidak berhak menuntut pengembalian aset yang telah dirampas dan dihancurkan.

Desa Lifta di Jerusalem

Desa Lifta di Jerusalem. (FOTO/iStockphoto)

Di saat yang bersamaan, Pemerintah Israel memasukkan imigran Yahudi dari Yaman dan Kurdistan Irak ke Desa Lifta. Hal ini terus berlangsung setidaknya hingga tahun 1953. Sementara para Liftawis mengungsi ke daerah-daerah di sekitar Yerusalem, seperti Ramallah.

Selain itu, di sekitar bekas lahan pertanian penduduk Lifta, Pemerintah Israel telah membangun gedung Knesset (parlemen), Rumah Sakit Hadassah, Universitas Ibrani, Mahkamah Agung, dan stasiun bus pusat kota.

Pada 2006, keluar sebuah rencana untuk membangun museum Yahudi, hotel mewah, pusat perbelanjaan, dan permukiman mewah untuk masyarakat Yahudi di Desa Lifta.

Tiga tahun kemudian, otoritas purbakala Israel (Israel Antiquities Authority) menyetujui rencana tersebut. Warsa 2010, pemasaran untuk pembangunan telah dibuka secara resmi. Namun, hal ini mendapat penentangan dari koalisi organisasi penyelamatan Lifta.

Mereka mengajukan keberatan ke pengadilan di Yerusalem. Hasilnya, diputuskan bahwa rencana tersebut harus dibatalkan dan pengadilan memerintahkan untuk dilakukan survei mendalam terhadap wilayah Desa Lifta.

Berpacu dengan waktu, upaya penyelamatan Lifta dilakukan dengan mendaftarkannya sebagai situs budaya ke World Monument Fund pada 2018.

Setelah dilakukan survei, Otoritas Pertanahan Israel (Israel Land Authority) menyebut bahwa Lifta layak untuk dilestarikan. Namun, mereka labil. Pada Juni 2021, mereka mengumumkan "akan menerima penawaran tender untuk mengembangkan Lifta," tulis Nada AlTaher dan Juman Jarallah dalam The National.

Rencana tersebut kembali dibatalkan setelah Wali Kota Yerusalem, Moshe Lion, melakukan kunjungan ke Desa Lifta.

"[Ia ingin] melestarikan desa tersebut dan mengubahnya menjadi situs warisan dunia," tulis Sue Surkess dalam The Times Of Israel.

Baca juga artikel terkait MOZAIK atau tulisan lainnya dari Andika Yudhistira Pratama

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Andika Yudhistira Pratama
Penulis: Andika Yudhistira Pratama
Editor: Irfan Teguh Pribadi