Menuju konten utama

Lewat India, Disney+ Mencoba Menggempur Indonesia

Disney+ kini bisa diakses di Indonesia. Bagaimana peruntungannya menghadapi Netflix dan bisnis VoD lokal?

Lewat India, Disney+ Mencoba Menggempur Indonesia
Disney + di ponsel. FOTO/iStockphoto

tirto.id - “Saya telah gagal,” ucap Walt Disney mengomentari kisah buruk perusahaan pertamanya Laugh-O-gram Films, sebagaimana dikisahkan Michael Barrier dalam bukunya The Animated Man: A Life of Walt Disney (2007).

Perjalanan hidup Disney di dunia animasi dimulai pada 1921. Kala itu, seorang pengusaha bernama Milton Feld menghubunginya, meminta Disney menciptakan 12 animasi untuk program TV ciptaannya Laugh-O-gram. Usai menyelesaikan pekerjaan yang diberikan Feld, Disney mencoba peruntungan lanjutan: menjadi seorang wirausahawan. Memanfaatkan nama program dan barang-barang produksi milik Feld, ia mendirikan Laugh-O-gram Films. Sial, perusahaan yang berdiri di Kansas City, Missouri, Amerika Serikat itu gagal.

Namun, Disney menyebut kegagalannya itu justru merupakan keberuntungan. “Saya pikir penting untuk memperoleh kegagalan ketika usiamu masih mudah, saya benar-benar memperoleh pelajaran berharga dari sana,” ucap Disney. Akhirnya, kegagalan Laugh-O-gram Films mendorongnya untuk hijrah ke California.

Merujuk buku yang ditulis Barrier, Disney memutuskan untuk merantau ke California karena ingin menjadi “sutradara, sutradara film kartun”. Bagi Disney, California menjanjikan kesempatan yang besar untuk berkembang, khususnya di industri perfilman. Sejak dekade 1920-an, California menyaksikan kelahiran studio-studio film--selain, tentu saja, perusahaan-perusahaan teknologi.

Rasa percaya diri Disney untuk menjadi sutradara di California perlahan luntur. Sebagai anak baru di California, sukar bagi Disney memperoleh kepercayaan untuk menjadi sutradara. Harapannya bahkan berubah dari sutradara ke ingin bekerja “di bagian apapun".

"Apapun. Pokoknya masuk dan bekerja menjadi bagian apapun, lalu, kalau bisa, beranjak lebih tinggi.”

Anehnya, meskipun Disney telah menurunkan hasratnya untuk menjadi sutradara, ia tidak juga bekerja di bagian mana pun di studio-studio California. Saudaranya, Roy Disney, bingung atas tingkah laku Disney. Padahal, menurut Roy, Disney sangat “layak memperoleh pekerjaan”. Pasalnya, karena kemampuan menggambar Disney--dan kecakapannya menciptakan gambar bergerak--terlalu aneh jika disia-siakan studio. Keanehan yang dilihat Roy Disney semakin menjadi-jadi manakala ia tahu bahwa saudaranya pergi ke Universal Studios dan MGM, tetapi bukan untuk melamar kerja, melainkan hanya berkeliling dan mengamati segala tetek-bengek yang dilakukan Universal dan MGM.

Kebingungan Roy Disney akhirnya terjawab. Disney tidak memperoleh nol pekerjaan di studio-studio film di California karena ia, tutur Disney, “hanya ingin bekerja untuk diri sendiri”. Berbekal perlengkapan seadanya dan menumpang di garasi milik pamannya, Disney akhirnya membangun Disney Brothers Cartoon Studio pada 16 Oktober 1923.

Perlahan, Disney Brothers Cartoon Studio berkembang. Pada 1926, perusahaan ini berganti nama menjadi The Walt Disney Studio. Peruntungan terbesar Disney muncul pada 1928 melalui lahirnya Mickey Mouse--tokoh kartun paling ikonik sepanjang masa di dunia kartun selain Astro Boy dan Doraemon.

The House of Mouse, singkat cerita, akhirnya menggurita. Hampir 100 tahun berdiri, Disney, yang kini bernama The Walt Disney Company juga menjadi pemilik Marvel Studios, Pixar, dan Lucasfilm. Artinya, selain menjadi pemilik Mickey Mouse, dkk, Disney juga menjadi pemilik sah Star Wars, Indiana Jones, Toy Story, Iron Man, hingga Captain America. Lalu, keperkasaan Disney bertambah manakala perusahaan ini, pada Maret 2019, membeli 21st Century Fox dari konglomerat Rupert Murdoch dengan mahar senilai USD71,3 miliar.

Disney pun sukses mempertemukan si anak hilang, X-Men, dengan orangtuanya, Marvel. Selain X-Men, pembelian 21st Century Fox pun menautkan Disney sebagai pemilik Avatar, The Simpsons, Ice Age, National Geographic Channel, Hulu, dan yang sering luput disimak, Star.

Melalui Star, The Walt Disney Company mencoba mengusik keperkasaan Netflix di dunia streaming, khususnya di negara-negara berkembang.

Banyak Saingan

Pada 2015, Star, raksasa media asal India, melalui anak usahanya bernama Novi Digital Entertainment, Pvt. Ltd meluncurkan aplikasi Hotstar. Sebagaimana Netflix, Hotstar merupakan aplikasi video on demand (VoD), yang menyajikan konten-konten Bollywood sebesar 35.000 jam tayang, lengkap dengan ketersediaan tujuh bahasa yang diakui di India. Termasuk hak siar Indian Premier League, turnamen kriket paling digemari di India.

Namun, soal strategi, Hotstar memilih jalan berbeda. Jika Netflix hanya memperbolehkan pengguna yang membayar saja yang bisa mengakses kontennya, Hotstar, selain membuka opsi berbayar, juga menyajikan versi gratis, versi yang menyajikan iklan, versi yang mengunci sebagian konten-konten eksklusifnya.

Bagi Hotstar, membuka versi gratisan bukan berarti tak bisa untung. Sanjay Gupta, Chief Operating Officer Star (yang kini menjadi Country Manager Google India), menyebut bahwa potensi iklan digital di India kelewatan besarnya. Sayang untuk dilewatkan. Tercatat, ada lebih dari 20.000 pengiklan konvensional, pengiklan yang menghabiskan uangnya untuk membeli slot di televisi. Andai saja Hotstar sukses menarik sebanyak mungkin pengguna, ia bisa menarik para pengiklan konvensional itu untuk berlabuh menjadi pengiklan digital di platformnya.

Dengan strategi tersebut, Hotstar perlahan meraih kesuksesan dan akhirnya menggondol 300 juta warga maya India. Ini menjadikannya platform ini nomor 1 di negeri yang kini dikendalikan Narendra Modi.

Kesuksesan Hotstar mempecundangi Netflix di tanah Hindustan berbanding terbalik dengan keadaan yang menimpa The Walt Disney Company di Amerika Serikat.

Tak bisa dipungkiri, The Walt Disney Company adalah raksasa hiburan. Selain memiliki portofolio film-film beken, Disney juga punya taman hiburan Disneyland. Sialnya, tatkala dunia internet kian jadi bagian tak terpisahkan masyarakat dunia, Walt Disney Company telat bergerak. Netflix, yang bermula sebagai perusahaan penyewaan DVD menjadi raja arena hiburan baru bernama streaming video. Mengutip data Statista, dari 2012 hingga 2018 Netflix sukses mendulang 122 juta pengguna baru. Menggenapkannya menjadi layanan streaming video pemilik 150 juta pengguna di akhir tahun 2018 itu.

Dengan kekuatannya tersebut, sebagaimana dilaporkan The New York Times, nilai kapitalisasi Netflix berada di angka USD156 miliar. Prestasi ini kelewatan hebatnya untuk perusahaan yang baru berusia 22 tahun. Bandingkan dengan The Walt Disney Company. Di usia hampir seabad, The House of Mouse hanya memiliki valuasi sebesar USD174 miliar. Tak terlalu jauh dibandingkan Netflix.

Kenyataan tersebut tentu saja mengkhawatirkan Disney. Terlebih, usaha mereka di dunia streaming ya ng diterjemahkan lewat aplikasi Hulu (hasil kerjasama dengan Fox, Comcast, dan AT&T) mengalami kegagalan. Hingga pertengahan 2019, Hulu hanya memiliki 25 juta pelanggan. Namanya hampir tidak terdengar di luar Amerika Serikat. Maka, untuk mencegah Netflix berkuasa di jagat hiburan, The Walt Disney Company akhirnya merilis Disney+, rumah baru bagi keluarga Mickey di dunia maya.

Keputusan Disney serius masuk ke dunia streaming jelas mengusik Netflix. Apalagi, banyak konten-konten Netflix berhubungan langsung dengan Disney. Konten-konten berlabel “Netflix Original” seperti Iron Fist, Jessica Jones, Luke Cage, The Punisher, dan Daredevil merupakan properti intelektual milik Marvel, alias milik Disney. Yang paling mengusik Netflix adalah fakta bahwa Disney kini menjadi pemilik sah 21st Century Fox dan Star, anak usaha 21st Century Fox. dengan kata lain, Disney merupakan pemilik Hotstar.

Infografik Disney Plus

Infografik Disney Plus. tirto.id/Fuadi

Akhirnya, Disney mendelegasikan pertarungannya dengan Netflix, khususnya di negara-negara berkembang, pada Hotstar. Hotstar kemudian bersalin rupa menjadi Disney+ Hotstar. Di pasar India, 'merger' antara Disney+ dan Hotstar terjadi pada Maret 2020 silam. September 2020 ini, Disney+ Hotstar akhirnya mendarat di Indonesia, negeri yang pasar VoD berbayarnya dikuasai Netflix. Netflix, merujuk data yang dipublikasikan Statista, memiliki lebih dari 906 ribu pelanggan.

Keputusan Disney+ masuk ke Indonesia via Hotstar bukan dengan brand “Disney+" tentu saja diambil karena Hotstar sukses mempecundangi Netflix di India. Dan pasar Indonesia pun memiliki kesamaan dengan India: pengguna internetnya tengah tumbuh, mayoritas mengakses internet melalui ponsel, dan sensitif terhadap harga. Maka, Disney sangat mungkin menganggap Hotstar tahu persis cara berbisnis di negara berkembang. Langkah awal Disney+ mengusik Netflix di Indonesia adalah dengan menawarkan paket berlangganan yang jauh lebih murah. Per bulan, untuk menikmati konten-konten Disney+, warga maya Indonesia dibebani tarif Rp39.000. Di sisi lain, paket berlangganan termurah Netflix--yang hanya bisa diakses melalui ponsel atau tablet--dihargai Rp54.000.

Strategi lain yang terbilang unik: Disney+ masuk ke Indonesia dengan menggandeng Telkomsel, provider seluler terbesar di Indonesia yang pernah semena-mena memblokir Netflix. Keputusan menggandeng Telkomsel jitu, karena selain di Pulau Jawa, Telkomsel merupakan harapan terbaik masyarakat untuk bisa mengakses internet. Dengan menggandeng Telkomsel, Mickey punya kekuatan untuk mendulang sebanyak-banyaknya pelanggan.

Yang perlu diingat, Disney+ tak hanya bertarung dengan Netflix di Indonesia yang memiliki pemain lokal, misalnya Goplay (anak usaha Gojek), Mola TV (anak perusahaan usaha Djarum yang menggenggam lisensi Liga Inggris dan baru-baru ini bekerjasama dengan HBO Go). Disney+ juga akan bersaing dengan pemain kawasan Asia Pasifik, misalnya iFlix dan Viu. Umumnya, pemain-pemain lokal dan kawasan ini mencoba peruntungan dengan menghadirkan konten-konten lokal.

Dalam laporan berjudul “Asia-on-Demand: The Growth of VoD Investment in Local Entertainment Industries” (2018), AlphaBeta, firma analisis pasar digital asal Australia, menyebut konten lokal sebagai primadona di negara-negara kunci Asia, seperti Indonesia dan India. Di Indonesia, 44 persen pengguna VoD mengkonsumsi konten lokal. Di India, angkanya mencapai 53 persen. Karena permintaan pasar atas konten lokal besar, investasi layanan-layanan VoD untuk menciptakan konten lokal pun meningkat. Pada 2022, investasi perusahaan-perusahaan VoD dalam mencipta konten lokal, menurut AlphaBeta, diprediksi akan mencapai angka USD10,1 miliar. Dari angka USD10,1 miliar itu, USD5,4 miliar akan dikeluarkan perusahaan-perusahaan VoD untuk menciptakan konten asli, atau dalam istilah Netflix, "Netflix original". Sisanya, uang senilai USD4,6 miliar akan dibelanjakan untuk melisensi konten-konten lokal milik produser-produsen lokal.

Demi menyajikan konten lokal, pemain lokal dan kawasan tancap gas. iFlix sejak 2016 bekerjasama dengan rumah produksi lokal Screenplay Films. Viu memilih jalan yang berbeda dalam menghasilkan konten lokal. Daripada bekerjasama langsung dengan rumah produksi lokal, Viu bekerjasama dengan institusi pendidikan, dalam hal ini Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Dalam kerjasama tersebut, Viu mencipta ekosistem perfilman lokal dengan mengadakan Viu Pitching Forum dan Viu Shorts. Tahu bahwa pasar Indonesia sangat menggemari drama Korea, Viu, jika kita lihat aplikasinya, memilih menggempur pasar dengan jenis konten ini.

Goplay pun tak mau ketinggalan. Layanan milik Gojek ini menghadirkan Filosofi Kopi The Series garapan Visinema. Lalu, ada pula Wiro Sableng, garapan Angga Dwimas Sasongko, Chief Operating Officer Visinema. Selain dua nama film itu, ada pula Aruna & Lidahnya serta Kulari ke Pantai. Yang unik, Visinema merupakan rumah produksi yang didukung GDP Venture, modal ventura milik Djarum yang juga menggelontorkan uang ke Gojek (selain ke Mola TV). Sementara itu, Aruna & Lidahnya dan Kulari ke Pantai disokong Ideosource, modal ventura lokal yang didirikan oleh Sugiono Wiyono dan Andi Boediman, serta didukung Indra Widjaja dari Sinarmas Group. Tapi, perlu diingat, kedua film ini pun memperoleh pendanaan dari Gojek melalui GoStudio.

Kekuatan lain Goplay: menawarkan paket berlangganan komplit dengan layanan-layanan Gojek lain. Misalnya, dengan hanya Rp29.000, selain dapat mengakses Goplay, penggunanya juga memperoleh voucher Gotik, Gosend, dan Gofood.

Soal konten lokal sendiri, Disney+ menawarkan sekitar 300 judul film.

Kecuali Anda sanggup membayar biaya berlangganan semua layanan VoD yang ada di Indonesia, memilih satu dari sekian banyak VoD adalah keputusan yang cukup bisa membuat Anda mengernyitkan dahi. Ada konten-konten bagus yang hanya terdapat di Netflix, atau eksklusif di Disney+, Goplay, Mola TV, atau iFlix. Anda bisa memilih antara Pengabdi Setan (Netflix) atau Perempuan Tanah Jahanam (Goplay), yang sama-sama digarap Joko Anwar, memilih Irishman (Netflix) atau menyaksikan kawan-kawan Mickey (Disney+), atau memilih menyaksikan Liga Inggris (Mola TV)--untuk yang satu ini Mola tidak memiliki lawan sepadan.

Baca juga artikel terkait DISNEY PLUS atau tulisan lainnya dari Ahmad Zaenudin

tirto.id - Teknologi
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Windu Jusuf