Menuju konten utama

Lester Bangs dan Bagaimana Menulis Musik dengan Gairah

Ini cerita tentang bagaimana seorang begundal mampu membuat dunia tulis-menulis musik menjadi seperti candu yang menggebu.

Lester Bangs dan Bagaimana Menulis Musik dengan Gairah
Aktor Eric Jensen yang memerankan Lester Bangs dalam lakon How to Be a Rock Critic. FOTO/Craig Schwartz

tirto.id - Untuk mengawali pembahasan mengenai Lester Bangs, sebaiknya kita buka dengan sajian percakapan berikut ini, yang terekam dalam film kondang garapan Cameron Crowe, Almost Famous (2000):

“Aw, nak. Kamu berteman dengan mereka. Lihat, pertemanan mereka seperti minuman keras yang diberikan padamu. Mereka ingin kamu mabuk, karena mereka merasa memilikimu.”

Well, itu menyenangkan.”

“Karena mereka membuatmu merasa keren. Dan, hey! Aku sudah bertemu denganmu. Kamu enggak keren.”

“Aku tahu. Bahkan, ketika aku pikir aku merasa seperti itu, tapi aku tahu itu enggak bener.”

“Itu karena kita enggak keren. Dan, sementara perempuan akan selalu menjadi masalah bagi kita. Dunia seni punya masalah yang sebagian besar sama. Orang yang tampan enggak punya tulang belakang. Seni mereka enggak pernah berakhir. Meski mereka mendapatkan para perempuan, tapi kita harus lebih pintar.”

“Aku benar-benar bisa melihatnya sekarang.”

“Ya, seni yang hebat adalah soal konflik dan rasa sakit. Rasa bersalah, kerinduan, dan cinta yang seringkali disamarkan sebagai seks. Begitu juga sebaliknya. Dan, mari kita hadapi itu. Kamu mendapat awal mula yang besar.”

“Aku senang kamu di rumah.”

“Aku selalu di rumah karena aku enggak keren.”

Pilar Dua Majalah Musik Besar

Begitulah kira-kira isi perbincangan antara Lester Bangs dengan William Miller. Obrolan tersebut berangkat dari kegundahan Miller, pemuda ingusan yang berusaha jadi jurnalis musik ternama, yang sedang ikut tur bersama band Stillwater.

Miller lalu menghubungi Bangs yang dianggapnya sebagai mentor untuk meminta satu-dua nasihat. Di film ini, gambaran akan sosok Bangs nyaris sempurna; bicara apa adanya tanpa tedeng aling-aling.

Dunia musik mengenal Bangs sebagai kritikus musik ternama di era 1970-an. Namanya menjulang tinggi, reputasinya tertancap tegak dengan segala kontroversi di dalamnya. Tulis-tulisannya kerap dijadikan acuan tentang bagaimana menilai musik. Tak ada tendensi berlebih. Bangs semata hanya mengungkapkan pendapatnya secara jujur dan tak dibuat-buat.

Nama Bangs melejit pertama kali saat ia menulis untuk majalah Rolling Stone pada 1969. Waktu itu, ia masih berstatus mahasiswa San Diego State University. Di majalah yang didirikan Jann Wenner ini, Bangs menulis banyak soal Miles Davis, The Allman Brothers Band, sampai Black Sabbath.

Sejak awal, gaya bertutur Bangs yang ceplas-ceplos sudah terlihat. Ia tak peduli dengan predikat “anak bau kencur” yang disandangnya. Musik yang diulasnya dibabat habis dengan konteks yang sederhana, namun tetap mendalam.

Dalam album Miles Davis berjudul In a Silent Way (1969), misalnya, ia menulis bahwa lagu-lagu di yang termaktub di album tersebut begitu dahsyat. Album itu, tulis Bangs, dibuat dengan perhitungan matang ditambah pengalaman panjang para musisinya. Lalu, ia juga menyebut Tout Mask Replica (1969) yang dibikin Captain Beefheart and his Magic Band merupakan “karya yang keras dan kasar” serta berasal dari “kesadaran yang unik dan asli.”

Meski rutin menyumbang naskah untuk Rolling Stone, karier Bangs di sana cuma mentok di level kontributor. Ia tak pernah (atau tak mau bergabung) di jajaran keredaksian. Alasannya macam-macam. Tapi, yang paling menonjol ialah faktor ia tak menyukai keberadaan Jann yang dinilainya “terlalu mengontrol.”

Memasuki 1971, Bangs memutuskan pindah ke Detroit dan bekerja di majalah Creem. Ia tak lagi menyandang status kontributor, melainkan sudah jadi editor. Di Creem, ia bekerja bersama Jaan Uhelszki. Pada fase ini pula, mereka menelurkan jargon berbunyi: “Bintang rock bukan teman kami.”

Menurut penuturan Uhelszki kepada Spin, masa-masa di Creem adalah masa yang kompleks. Di ruangan kerja berukuran kecil, keduanya seperti keluarga disfungsional yang mengalami banyak hal. Emosi, tensi, dan perang ego merupakan rutinitas yang harus mereka hadapi saban waktu.

Sepanjang mereka bekerja bersama, Bangs, dalam pandangan Uhelszki adalah sosok yang jorok, tak teratur, kotor, dan lebih mirip pecundang yang menghabiskan waktu dengan mabuk-mabukan serta mengisap ganja sepanjang hari.

Namun, di luar tabiatnya yang dekaden tersebut, Bangs diakui Uhelszki, merupakan penulis yang total dan mendedikasikan seluruh hidupnya hanya untuk musik. Ia tak ragu untuk mendengarkan musik dengan teliti, mengulangnya berkali-kali, agar dapat menilai secara maksimal, apakah musik yang sedang disajikan memenuhi kualifikasi bagus atau tidak.

Walhasil, dari proses itu, ditambah imajinasinya yang kuat, lahirlah tulisan-tulisan mendalam yang mendedah tiap musik dari band tertentu. Mulai Keith Richards, Iggy Pop, Allman Brothers, sampai Eagles ditulisnya dengan apik yang memberikan standar baru dalam penulisan musik era modern.

Mengutip penjelasan Robert Christgau dalam artikelnya di The Village Voice pada Mei 1981, tulisan Bangs di Creem mendefinisikan karakternya yang ugal-ugalan sembari makin menghidupkan mimpi rock and roll. Ia seketika menjadi kritikus terbaik Creem pilihan pembaca serta menjadi panutan ribuan anak muda di era itu yang mendambakan kebebasan hidup di tengah dinamika politik yang kompleks—invasi Amerika ke Vietnam, Gerakan 1968, maupun Perang Dingin.

Lima tahun dirasa cukup bagi Bangs berkarier di Creem. Ia kemudian melanjutkan perjalanannya ke New York pada 1976. Di kota yang geliat musiknya luar biasa itu, ia kian menajamkan kemampuan menulisnya. Bangs, selama momen ini, tercatat berkontribusi untuk The Village Voice, New Musical Express (NME), Stereo Review, sampai Musician Player and Listener.

Gaya menulis Bangs yang slengean kerap membuatnya dimasukkan dalam barisan pelaku jurnalisme gonzo. Secara garis besar, jurnalisme gonzo merupakan salah satu bentuk jurnalisme yang ditulis tanpa klaim objektivitas. Jurnalisme ini disusun atas narasi dari orang pertama.

Gaya “gonzo” sendiri pertama kali dicetuskan oleh Hunter S. Thompson lewat tulisannya berjudul “The Kentucky Derby is Decadent and Depraved” yang dipublikasikan di Scanlan's Monthly pada 1970. Jurnalisme gonzo melibatkan pendekatan elaborasi antara pengalaman pribadi, emosi, humor, serta kombinasi kritik sosial dan satire.

Infografik Laster Bangs

Di lain sisi, tak sekadar menulis musik saja, Bangs juga turun ke gelanggang rock dengan merilis album Juke Savages on the Brazos (1981) di bawah kolektif Lester Bangs and the Delinquents. Sayang, meski album ini cukup direspons positif oleh kritikus, secara komersil Juke Savages gagal memenuhi ekspektasi secara penjualan. Kegagalan itu membuat Bangs sadar bahwa dunianya di depan mesin tik dan kritik rock adalah yang terbaik untuknya.

Jalan hidup Bangs berakhir tak lama setelahnya. Pada 30 April 1982, Bangs meninggal di apartemennya yang berlokasi di 542 Sixth Avenue akibat overdosis, dampak akumulasi gaya hidupnya yang tak jauh dari alkohol, obat-obatan, dan pesta liar.

Ia merenggang nyawa, terlentang di sofa dengan botol bir berserakan maupun piringan hitam yang bejibun jumlahnya, di usianya yang masih 33. Bahkan di ujung usianya, ia secara harfiah masih dikelilingi oleh musik.

Yang Dicinta dan Dibenci

Bangs lahir dan dibesarkan di El Cajon, California. Ayahnya, Conway, merupakan pemabuk berat yang tewas saat Bangs masih belia. Sedangkan ibunya, Norma, adalah anggota Saksi Yehuwa yang taat.

Masa kecil Bangs bisa dibilang tak menyenangkan. Ia tumbuh di bawah kekangan dan aturan ketat yang dibuat orangtuanya. Bangs tak mengenal hadiah Natal, pesta ulang tahun, ataupun musik, karena keluarganya tidak menghendaki adanya hal itu.

Seiring waktu, Bangs memberontak. Ia diam-diam mencari kebebasannya sendiri di tengah batasan keluarganya. Ia mulai mencuri kesempatan mendengarkan John Coltrane sampai Miles Davis dan juga membaca komik Superman atau fiksi ilmiah, di samping rutin melahap karya-karya Allen Ginsberg dan William Burroughs yang kelak jadi inspirasi besarnya.

Maria Bustillos dalam “Lester Bangs: Truth-teller” yang terbit di New Yorker menyebut pengalaman masa kecilnya itu yang membuat Bangs melepaskan diri dari pertalian keluarga, mengutuk kebohongan agama. Segala rupa tersebut lalu ia tuangkan ke dalam setiap naskahnya. Salah satu contoh yang kentara ialah ketika ia mengulas album Van Morrison, Astral Weeks (1968). Di situ ia menulis:

“[...] Astral Weeks adalah bukti bahwa ada sesuatu yang tersisa untuk mengekspresikan nilai artistik selain nihilisme dan kehancuran. Kedengarannya seperti orang yang membuat Astral Weeks berada dalam fase kesakitan luar biasa. Ada elemen penebusan dalam kegelapan, belas kasih untuk penderitaan orang lain, kecantikan murni, serta kekaguman akan hal-hal mistis yang menembus jantung.”

Selain itu, konflik batin yang dialaminya selama bertahun-tahun saat bersama keluarga juga membentuk mental pemberontak Bangs, mirip karakter Holden Caulfield karakter rekaan J. D. Salinger dalam mahakaryanya, The Catcher in the Rye (1951). Ia menjadi seorang yang berani menentang apapun yang dirasa mengganggunya—atau setidaknya tak sesuai dengan benaknya.

Lagi-lagi, Bangs menyalurkan jiwa mbalelo ini ke dalam tulisan musiknya. Dalam “Better Than the Beatles (and DNA, Too)” yang terbit di The Village Voice pada 1981, contohnya, ia tak ragu mengatakan bahwa album Philosophy of the World (1969) milik The Shaggs, band rock perempuan dari New Hampsire, berhasil mendefinisikan ulang apa makna seni. Sesuatu hal, yang menurut Bangs, tidak bisa dilakukan The Beatles.

Ia juga berani mengatakan band Eric Clapton, Cream, sebagai sekelompok orang malas dan egois yang punya gejala superstardom, menelan hype mereka sendiri, mengais uang tunai dari panggung, sembari meninggalkan jejak serupa bagi penerus macam Black Sabbath.

Tak ketinggalan pula, dalam “Lou Reed: A Deaf Mute in a Telephone Booth” (1973) yang dimuat di Let It Rock seperti dilansir The Guardian, Bangs menyebut band Lou Reed, The Velvet Underground, adalah band “yang sengaja aseksual sebagai reaksi terhadap glam-rock dan citranya sendiri.” Kemudian, menghujat David Bowie sebagai “bajingan tidak berbakat” serta menilai karyanya, The Rise and Fall of Ziggy Stardust and the Spiders from Mars (1972) sebagai album sampah belaka.

Namun, itulah Bangs. Ia adalah gambaran tentang kritikus musik yang berani, penuh gairah, kurang ajar, bertele-tele, kadang tidak bisa dimengerti, serta mengutamakan kebenaran perspektifnya dalam memandang sebuah karya.

Ia merupakan pecandu yang sepanjang hidupnya dihabiskan dengan duduk di depan mesin tik, datang dari satu konser ke konser lainnya, memancing kontroversi, serta membedah kemungkinan baik-buruk yang bisa dihasilkan album musik. Ia memberontak sekaligus menjaga. Memuji sekaligus mencela. Semua dilakukannya hanya untuk mengungkapkan bagaimana perasaannya terhadap rock and roll dan budaya populer.

Bagaimanapun juga, di balik segala yang pernah ia lakukan, Bangs cuma manusia biasa dari El Cajon yang punya jiwa sensitif dan rapuh.

“Aku pikir sisi humanis muncul dalam setiap tulisannya. Namun, banyak yang tidak menangkapnya,” ungkap John Mortland, editor buku Bangs, Mainlines, Blood Feasts and Bad Taste (2003).

“Semua orang menganggapnya bajingan besar. Tapi, Bangs hanya suka musik.”

Tak bisa dipungkiri, Bangs punya andil besar dalam musik rock. Kiprahnya adalah upaya untuk menegaskan bahwa marwah rock and roll masih bisa diselamatkan. Tulisannya merupakan gelora api yang senantiasa menjaga antusiasme tetap menyala di samping juga memantik dan memacu generasi muda setelahnya untuk mengikuti jejaknya yang tak sebatas hitam dan putih, jelek atau bagus.

Baca juga artikel terkait MUSIK ROCK atau tulisan lainnya dari M Faisal

tirto.id - Musik
Penulis: M Faisal
Editor: Nuran Wibisono