Menuju konten utama

LBH Kritik Pelibatan TNI-Polri di Penggusuran Kalijodo

LBH Jakarta mengkritik rencana Pemprov DKI melibatkan personel Polri dan TNI dalam penertiban bedeng-bedeng milik warga di Kolong Tol Pluit-Tomang, Kalijodo, Penjaringan, Jakarta Utara.

LBH Kritik Pelibatan TNI-Polri di Penggusuran Kalijodo
Warga kembali tinggal di kawasan kolong tol Pluit-Tomang, yang berada di Kalijodo, Penjaringan, Jakarta Utara. tirto.id/Andrey Gromico.

tirto.id - Anggota Bidang Perkotaan LBH Jakarta Alldo Felix Januardy mengkritik rencana Pemprov DKI melibatkan personel Polri dan TNI dalam penertiban bedeng-bedeng milik warga di Kolong Tol Pluit-Tomang, Kalijodo, Penjaringan, Jakarta Utara. Ia menilai rencana ini kembali mengulangi kesalahan Pemprov DKI di kebijakan penggusuran.

"Buat kami, pada dasarnya, setiap penggusuran paksa adalah melanggar HAM dan hukum. Dalam hal ini, Pemprov tidak bisa melibatkan TNI dan Polri dalam penggusuran tersebut," kata Alldo saat dihubungi Tirto pada Rabu (7/6/2017).

Menurut Alldo, fungsi dan tugas Polri dan TNI bukan untuk membantu pemerintah dalam melakukan penggusuran terhadap warga. Polri bertugas sebagai penegak hukum dan TNI berwenang di bidang pertahanan. Sebagai pengecualian, dua institusi ini bisa membantu pemda di urusan penanganan dampak bencana alam.

Rencana itu muncul sebab bangunan liar dan rumah-rumah bedeng kembali berdiri di kolong tol Pluit-Tomang tepatnya di Jalan Kepanduan 1, Penjaringan, Jakarta Utara. Tempat yang berdekatan dengan bekas lokalisasi Kalijodo itu kini menjadi sorotan karena praktik prostitusi kembali marak di sana.

Di kolong tol tersebut terdapat 16 bangunan yang dipergunakan untuk warung remang-remang yang menjajakan minuman keras dan Pekerja Seks Komersial (PSK). Sebagian dari pekerja seks tersebut, kata Camat Penjaringan, Muhammad Andri, adalah mereka yang dulu bekerja di lokalisasi Kalijodo.

Alldo juga mengkritik langkah Pemprov DKI Jakarta di penggusuran Kalijodo sebelumnya sebab tak ada kesempatan bagi warga menguji keabsahan kebijakan itu di pengadilan.

"Pemprov tidak pernah memberikan kesempatan kepada warga untuk mengajukan uji hukum atas hal ini. Bisa jadi mereka pun berpeluang untuk menunjukkan bukti kepemilikan tanah bahkan mendapat sertifikat bagi yang belum punya. Karena, mereka bisa jadi mempunyai Akta Jual Beli atau sertifikat zaman Belanda seperti Letter C," kata Alldo.

Alldo menambahkan, sesuai dengan UU Perbendaharaan Negara Tahun 2004, pemerintah wajib mendaftarkan asetnya untuk mendapat sertifikat tanah.

"Hal ini juga tidak pernah dilakukan oleh Pemprov DKI," kata dia.

Dia menilai banyak kebijakan penggusuran Pemprov DKI kerap hanya bersifat penertiban, tidak prosedural sesuai dengan hukum dan diputuskan sepihak.

"Kalaupun ini diperuntukkan untuk kepentingan publik, minimal harusnya ada musyawarah (dengan warga)," ujar dia.

Sedangkan Sosiolog dari Universitas Nasional, Nia Elviana menilai kembalinya pekerja seks komersial di kawasan Kalijodo itu menandakan bahwa pendekatan yang dilakukan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta untuk menghilangkan prostitusi di Kalijodo kurang tepat dan tidak holistik.

Ia mengatakan apa yang dilakukan Pemprov dengan menggusur kawasan tersebut dan menjadikannya Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA) tidak bisa langsung mengubah cara berpikir dan perilaku para pekerja seks. Sebab, kebanyakan dari mereka adalah warga yang tidak berpendidikan dan kemampuan untuk bersaing dalam pekerjaan lain. Apalagi, pemerintah tidak menyediakan lapangan pekerjaan lain untuk para PSK tersebut.

"Seharusnya pendekatan yang dilakukan harus holistik. Sosialisasi dulu, terus adanya training untuk skill mereka nanti setelah penutupan. Dan lahan pekerjaan mereka nanti juga disediakan. Tidak hanya asal tutup atau gusur,” ujar dia.

Baca juga artikel terkait KALIJODO atau tulisan lainnya dari M. Ahsan Ridhoi

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: M. Ahsan Ridhoi
Penulis: M. Ahsan Ridhoi
Editor: Addi M Idhom