tirto.id - Ribuan email Amerika Serikat (AS) yang dimiliki para pejabat puncak Partai Demokrat berhasil disusupi para peretas Rusia. Hal itu terjadi setelah orang dekat bekas kepala tim kampanye Hillary Clinton, John Podesta, salah mengetikkan kata yang seharusnya "illegitimate" menjadi "legitimate".
Kesimpulan ini didapatkan dari hasil penyelidikan yang dilakukan surat kabar New York Times. Pernyataan tersebut juga sejalan dengan temuan badan intelijen Amerika Serikat CIA pekan lalu yang menyatakan Rusia sengaja mengintervensi Pemilihan Presiden AS demi menaikkan Donald Trump yang kini menjadi presiden AS berikutnya.
Menanggapi temuan tersebut, Trump marah dengan menyebut kesimpulan yang didapat CIA itu "menggelikan", seperti yang dilansir Antara, Kamis (15/12/2016).
New York Times menuliskan bahwa pada masa kampanye Pilpres AS lalu, Komite Nasional Demokrat (DNC) menerima berbagai email phishing, yakni pengelabuan yang digunakan untuk melakukan penipuan guna memancing informasi keuangan dan kata sandi pengguna email.
Salah satu email pishing itu dikirimkan kepada John Podesta. Seorang pembantu dekat Podesta bernama Charles Delavan menerima pesan virus ini dan mengirimkannya kepada akun pribadi Podesta. Pesan itu sendiri berisi permintaan kepada Podesta untuk mengubah password atau kata sandi akun email-nya.
“Delavan tahu itu pesan 'phising' dan kemudian mem-forward pesan itu kepada seorang teknisi komputer,” demikian yang tertulis dalam New York Times.
Masalahnya, dia melakukan typo atau kesalahan mengetikkan kata, dengan menulis "Email ini legitimate [sah atau benar]". Delavan menambahkan kalimat dalam pesannya itu, "John mesti segera mengganti password-nya".
Blunder ini tak pelak membuat para peretas Rusia seketika bisa mengakses 60.000 email dalam akun pribadi Gmail milik Podesta.
Menurut para pejabat intelijen AS, Rusia kemudian memberikan semua cache atau tembolok email-email itu kepada WikiLeaks yang kemudian merilisnya ke publik pada Oktober. Segera setelah itu skandal email Hillary pun mendominasi siklus berita dan dieksploitasi oleh Donald Trump.
Menurut New York Times, FBI sudah tahu Rusia tengah melancarkan upaya sistematis besar-besaran untuk meretas lembaga politik-lembaga politik AS, termasuk Gedung Putih dan Departemen Luar Negeri.
Pada September 2015, FBI telah menemukan sebuah tim mata-mata siber yang ada kaitannya dengan pemerintah Rusia telah berhasil masuk DNC.
Namun alih-alih mengirimkan tim penyelidik dan mewanti-wanti Demokrat, FBI malah hanya mengutus seorang agen untuk menelepon Demokrat. Sang agen bernama Adrian Hawkins itu menelepon DNC yang diteruskan kepada bagian IT lembaga Demokrat itu. Dia mengungkapkan sebuah rahasia kepada kontraktor IT yang tengah bertugas, Yared Tamene, bahwa satu kelompok menamakan diri "The Dukes" telah meretas jejaring komputer DNC.
Tamene mengira pesan telepon Hawkins itu lelucon belaka. Dia kemudian mencari kata "Dukes" di internet namun tak menemukan apa-apa. Karena menganggap tidak serius, Tamene tidak melaporkan panggilan telepon itu kepada atasannya, apalagi dia menemukan tak ada tanda-tanda log sistem komputer DNC telah disusupi peretas.
Pendekatan gampangan FBI itu telah membuat para peretas Rusia leluasa menyusup sistem komputer DNC selama hampir tujuh bulan, sebelum para pejabat Demokrat akhirnya menyadari adanya serangan peretasan itu dan menyewa para pakar keamanan siber dari luar.
Pemerintahan Presiden Barack Obama dinilai lamban menanggapi ancaman siber dari peretas ini, menyepelekan keseriusan serangan peretasan ini dan menyianyiakan beberapa kesempatan untuk menghentikan serangan-serangan itu.
“Akibatnya, serangan email itu telah membuat berantakan prospek keterpilihan Hillary Clinton dan sebaliknya menguntungkan Trump sehingga bisa memenangkan Pemilu seperti diinginkan Rusia,” demikian yang terlansir di New York Times.
Penulis: Yuliana Ratnasari
Editor: Yuliana Ratnasari