tirto.id - Presiden Joko Widodo menyampaikan keinginannya agar Indonesia tak lagi menjadi pemasok tenaga kerja informal di luar negeri. Prosesnya akan dilakukan secara bertahap, hingga akhirnya semua tenaga kerja yang dikirim ke luar negeri adalah kaum profesional.
"Harapannya bertahap, pada 2018 proses itu sudah semuanya profesional. Artinya, bekerja di perusahaan, bukan di rumah tangga sebagai pekerja domestik," ucap Jokowi di Bandung, 13 Mei lalu.
"Saya memberikan target kepada Menteri Tenaga Kerja (Red, Hanif Dhakiri) untuk membuatkan roadmap yang jelas, dan kapan kita stop yang namanya pengiriman PRT. Kita harus punya harga diri dan martabat," tutur Presiden Jokowi.
Hal senada sempat juga diungkapkan Wapres Jusuf Kalla. “Masa di mana kita mengirimkan tenaga kerja sebagai asisten rumah tangga harus segera kita akhiri dan memang juga sudah tidak menarik lagi sebenarnya," kata dia pada Oktober 2015 lalu.
Ambisi ini menurut JK realistis jika merujuk pertumbuhan ekonomi dalam negeri di masa depan yang akan berkisar 5-7 persen per tahun.
Upaya merealisasikan ambisi ini sudah dilakukan sejak 26 Mei 2015 lalu. Kala itu, Kementerian Tenaga Kerja mengeluarkan Keputusan Nomor 260 Tahun 2015 tentang Penghentian dan Pelarangan Penempatan TKI di sektor informal untuk pengguna pereorangan di 21 negara kawasan Timur Tengah.
Seringnya pelanggaran seperti perdagangan manusia dan norma ketenagakerjaan jadi sebab pemerintah bertindak tegas dengan aturan ini.
Moratorium dan Turunnya Izin Keberangkatan
Jika menilik data yang dimiliki BNP2TKI, moratorium memang jadi satu-satunya jalan untuk menekan laju TKI ke luar negeri. Tren izin pengiriman TKI ke luar negeri memang cenderung turun dalam waktu 10 tahun terakhir, tetapi persentase turunnya cukup kecil berkisar 1-2 persen.
Namun, saat moratorium diberlakukan, persentase penurunannya bisa lebih dari 7 persen. Misalnya pada 2009, pemerintah memutuskan memboikot pengiriman tenaga pembantu rumah tangga ke Malaysia, keberangkatan TKI ke luar negeri berkurang hampir 9 persen.
Hal yang sama terjadi ketika Menteri Tenaga Kerja kala itu, Muhaimin Iskandar menyetop pengiriman tenaga informal ke Arab Saudi, Kuwait, Yordania dan Suriah pada awal 2011, penurunan bahkan mencapai 16 persen -- sebuah capaian terbaik selama kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono.
Lantas secara angka, tindakan tegas yang dilakukan pemerintahan Jokowi pada 2015 lalu menuai hasil sama seperti periode sebelumnya.
Dalam setahun, pemerintahan Jokowi berhasil menekan keberangkatan TKI ke luar negeri bahkan sampai dengan 35 persen, yang merupakan persentase angka terbaik sepanjang sejarah. Pada 2014, TKI yang berangkat mencapai 429.782 orang, turun drastis pada 2015 jadi 275.736 orang.
Angka Tak Terungkap
Jika kita mengerucutkan lebih detail dan membagi pekerjaan TKI itu jadi dua: sektor formal dan sektor informal, maka persentase pekerja di sektor informal selalu mendominasi.
Pada tahun 2008, selisih perbandingan antara sektor formal dan informal mencapai 20 persen berbanding 80 persen. Tapi kebijakan pembatasan pengiriman TKI ke Saudi tahun 2011 itu berdampak efektif menekan laju pekerja informal dan menaikan sektor formal.
Angka penempatan tenaga kerja pun berbalik 58 persen berbanding 42 persen. Tapi setelah moratorium ini dicabut pada 2014, persentase sektor informal kembali bertambah jadi 45 persen berbanding 55 persen. Dan angka ini bertahan sampai 2015.
Saat moratorium ke Timur Tengah diberlakukan lagi 2015 lalu idealnya angka sektor informal ini kembali turun drastis sama seperti periode 2011. Namun, kondisi tak terjadi demikian, malah cenderung statis.
Melihat pola ini, tampaknya terlalu utopis jika menelisik target Jokowi yang ingin menihilkan angka pekerja sektor informal Indonesia di luar negeri pada 2018 nanti.
Terlebih ketika menyandarkan peran dan jabatan TKI di luar negeri dari data pemisahan sektor formal dan informal sebenarnya terlalu naif. Apa sebab? Banyak pekerjaan kasar atau buruh rendahan yang tetap dimasukan klasifikasi sebagai pekerja formal karena statusnya yang bekerja di sebuah perusahaan berbadan hukum.
Analisa ini bisa dibuktikan dari data klasifikasi jabatan TKI kita di luar negeri yang dimiliki BNP2TKI. Sebuah data miris muncul bahwa meskipun persentase pekerja formal kita naik hingga 55 persen, nyatanya 60 persen TKI yang dikirim ke luar negeri bekerja sebagai pekerja kasar. Meski begitu, Angka 60 persen ini lebih baik ketimbang lima tahun lalu yang dimana persentase pekerja kasar mencapai 70 persen.
Kesimpulannya, penurunan izin pengiriman di sektor informal bukan jaminan TKI kita di luar negeri sana kini mendapat posisi jabatan yang srategis.
Jangan terkecoh dengan data BNP2TKI
Hal penting yang patut dicatat adalah angka-angka yang dirilis BNP2TKI di atas bukanlah cerminan jumlah TKI secara keseluruhan. Statistik di atas didapat hanya dari izin keberangkatan. Lantas angka detail TKI yang bekerja dan menetap di luar negeri itu kita bisa merujuk data dari BNP2TKI yang kemudian diolah oleh Bank Indonesia.
Dari data Bank Indonesia, terlihat ada ketidaksinkronan klaim penurunan yang dikatakan BNPT2TKI. Nyatanya dalam lima tahun terakhir penurunan drastis itu hanya terjadi di izin keberangkatan saja, bukan di jumlah total TKI yang kini menetap di luar negeri.
Pada periode 2010-2015, persentase penurunan izin keberangkatan mencapai 52 persen -- dari 575,804 izin pada 2010 jadi 275,736 pada 2015. Angka itu amat jauh dengan penurunan jumlah TKI di luar , yang persentase penurunan selama 5 tahun terakhir hanya 12 persen saja – dari 4,2 juta orang di 2010 jadi 3,6 juta pada 2015.
Jika membandingkan rataan angka per tahun pada periode itu, maka penurunan izin keberangkatan berkisar 12 persen per tahun. Angka ini sangat jauh dibandingkan penurunan jumlah TKI di luar negeri yang hanya 3 persen per tahun saja. Jika kita melihat grafis di bawah, jumlah TKI yang ada di luar negeri malah cenderung landai – tak terlihat angka penurunannya.
Dari data di atas muncul sebuah konklusi bahwa pemerintah memang sukses menahan laju orang untuk bekerja di luar negeri. Namun, di sisi lain pemerintah pun gagal merayu para pekerja itu untuk pulang ke tanah air.
Jadi sebuah paradoks, secara kuantitas jumlah TKI kita menurun, tetapi angka remitansi -- uang yang dikirim dari luar negeri -- tiap tahunnya cenderung meningkat. Hanya dalam waktu 5 tahun, sejak 2010 angka remitansi naik hingga 40 persen dari $67,35 juta pada 2010 jadi $94,18 juta pada 2015. Jika dirata-rata per tahun kenaikan itu berkisar 7 persen.
Sebenarnya ada dua faktor kenapa remitansi ini meningkat, yang pertama adalah bertambahnya tenaga kerja di sektor formal yang berkisar 13 persen per tahun.
Faktor kedua adalah kesuksesan diplomasi pemerintah untuk meningkatkan upah para TKI, khususnya di Malaysia dan Timur Tengah – Hukuman moratorium yang dilakukan Indonesia di masa lalu jadi senjata andalan untuk menekan dalam proses diplomasi.
Pasca moratorium dengan Malaysia dicabut tahun 2011, Indonesia sukses menaikan daya tawar upah minimum TKI di sana dari 450 ringgit pada 2011 jadi 900 ringgit pada 2015. Kondisi sama terjadi di Arab Saudi, dari 600 riyal menjadi 1500 riyal. Kenaikan linear sama juga terjadi di Singapura, Hong Kong, dan Taiwan.
Menghentikan total pengiriman TKI ke luar negeri sepertinya sulit dilakukan. Karena itu, yang bisa dilakukan negara adalah dengan terus memperjuangkan para buruh migran ini. Mereka adalah pahlawan-pahlawan devisa bagi negara. Karena itu, negara memberikan jaminan keamanan, kenyamanan dan kehidupan lebih layak bagi mereka yang bekerja luar negeri sana. Caranya? Dengan kebijakan diplomasi dan regulasi yang jelas dan tegas.
Penulis: Aqwam Fiazmi Hanifan
Editor: Aqwam Fiazmi Hanifan