Menuju konten utama

Laba KRL Tinggi, Tapi Penumpang Masih Keluhkan Layanan Dasar

Sejak 2013, KRL memang sudah berbenah, mulai dari memberlakukan tarif sesuai jarak, penerapan e-ticketing, serta penerapan mesin pembelian tiket otomatis. Akankah pembenahan tersebut menjawab keluhan para penumpang?

Laba KRL Tinggi, Tapi Penumpang Masih Keluhkan Layanan Dasar
Penumpang KRL berjalan melintasi di Stasiun Cilebut, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Jumat (6/1). PT KAI Commuter Jabodetabek (KCJ) menargetkan jumlah penumpang KRL mencapai 292 juta atau naik 2,4% pada tahun 2017 naik dari tahun sebelumnya yakni 285 juta. ANTARAFOTO/Yulius Satria Wijaya.

tirto.id - Novita, warga Kabupaten Bogor yang sehari-harinya bekerja di Jakarta termasuk salah satu dari ribuan pekerja yang mengandalkan transportasi publik Commuter Line atau kereta rel listrik (KRL) Jabodetabek. Ia memilih mode transportasi ini karena lebih efisien waktu dan terjangkau.

Saat ini, Commuter Line memang menjadi satu-satunya alat transportasi publik andalan masyarakat luar Jakarta yang bekerja di ibukota. Ia bisa diandalkan untuk menghubungkan Jakarta dan daerah penyangga, seperti Bogor, Depok, Bekasi, dan Tangerang. Tak heran jika ribuan penumpang setiap hari berduyun-duyun naik kereta listrik ini.

Selain dapat menghemat waktu, KRL termasuk transportasi publik yang hingga saat ini cukup terjangkau oleh semua level masyarakat, termasuk mereka yang berpenghasilan pas-pasan. “Harus diakui, kereta memang [termasuk] transportasi yang paling murah jika dibandingkan dengan naik angkutan lain,” kata Novita pada Tirto.

Karena itu, tak heran jika ribuan penumpang setiap hari berduyun-duyun naik kereta listrik ini. Apalagi saat jam-jam masuk kerja dan pulang kerja, ribuan penumpang rela berdesakan, bahkan untuk berdiri pun mereka kesusahan.

PT KAI Commuter Jabodetabek (KCJ), anak perusahaan PT Kereta Api Indonesia (Persero) yang mengoperasikan KRL mencatat, setiap tahun penumpang KRL selalu mengalami kenaikan. Misalnya, sepanjang tahun 2014, penumpang KRL tercatat sekitar 206 juta, naik menjadi 250 juta penumpang pada 2015. Jumlah tersebut menjadi 280 juta penumpang pada tahun 2016.

Animo masyarakat untuk menggunakan transportasi KRL tentu sangat menguntungkan bagi KCJ. Karena kenaikan jumlah penumpang tersebut berkorelasi positif dengan pendapatan perusahaan. Dalam laporan tahunan PT Kereta Api Indonesia misalnya tercatat bahwa pendapatan KCJ selalu meningkat setiap tahunnya.

Pada tahun 2014, KCJ mencatat pendapatan sebesar Rp1,23 triliun, serta membukukan laba bersih Rp148,28 miliar. Jumlah tersebut naik sekitar 40 persen pada tahun 2015, yaitu sebesar Rp1,72 triliun dan membukukan laba sekitar Rp254,12 miliar, meskipun laba bersih KCJ turun pada tahun 2016 menjadi Rp207 miliar.

Catatan positif pendapatan KCJ tersebut tidak terlepas dari semakin meningkatnya masyarakat yang menggunakan transportasi KRL. Hal ini dapat dilihat dari kontribusi pendapatan secara keseluruhan yang didominasi pendapatan dari penumpang. Sebagai contoh, pada tahun 2015, dari total pendapatan KCJ sebesar Rp1,72 triliun, sekitar 93 persen atau Rp1,60 triliun diperoleh dari pendapatan penumpang.

Hal ini juga terjadi pada tahun 2016. Seperti dikutip Antara, Rabu (11/1/2017), Direktur Keuangan dan Administrasi KCJ, Ari Mulyono Madyo mengatakan, anak perusahaan PT KAI itu mencatat laba bersih pada tahun 2016 sebesar Rp207 miliar. Dan kontribusi tersebar dari laba tersebut berasal dari penumpang.

“Sebanyak 90 persen [laba bersih 2016] dari penumpang dan paling banyak yaitu rute Jakarta Kota-Bogor,” kata Ari.

Data yang dipaparkan Ari Mulyono tersebut cukup masuk akal mengingat jumlah penumpang pada tahun 2016 naik menjadi 280 juta orang. Karena itu, tak berlebihan jika KCJ pada tahun ini menargetkan agar penumpang naik sekitar 12 juta penumpang, menjadi 292 juta orang.

Infografik Laba Kereta Listrik

Lalu, bagaimana dengan pelayanan yang diberikan KRL selama ini?

Sejak 2013 lalu, PT KAI memang sudah melakukan pembenahan secara signifikan, salah satunya dengan menghapus seluruh KRL ekonomi non-AC dan menggantinya dengan KRL Commuter Line.

Sejak saat itu, KRL yang dikelola PT KCJ selalu melakukan perbaikan-perbaikan, termasuk memberlakukan tarif sesuai jarak, serta e-ticketing yang tersedia dalam dua pilihan, yakni untuk sekali jalan (harian) dan berlangganan. Terakhir, KCJ menerapkan vending machine untuk mempermudah layanan di stasiun.

Akan tetapi, pembenahan yang dilakukan KCJ tersebut bukan berarti tanpa masalah. Lency Purnomo, salah satu pengguna KRL misalnya mengeluhkan soal masih terjadinya keterlambatan kereta yang tidak terpat waktu. Selain itu, KCJ juga belum mampu mengurai persoalan berjubelnya penumpang, terutama di jam-jam sibuk seperti pagi dan sore hari.

“Pemandangannya masih seperti dulu, berhimpit-himpitan dan kadang ada yang sampai pingsan,” ujarnya pada Tirto.

Keluhan senada juga diungkapkan Novita. Menurut dia, pemberlakuan e-ticketing memang sudah mengurangi antrean panjang yang biasanya terjadi pada pagi dan sore hari. Namun, pelayanan di dalam kereta kerap tidak memuaskan.

“Terkadang di saat pulang kerja karena kelelahan, orang duduk di bawah [lantai kereta]. Namun, cara mereka [petugas] menegur kita kadang tanpa sopan santun, sehingga membuat kita kesal. Seharusnya dia bisa menegur kita dengan cara baik-baik,” kata Novita.

Keluhan penumpang seperti Novita dan Lency tersebut seharusnya menjadi perhatian KCJ. Karena pelayanan yang baik dan kepuasan pelanggan merupakan kunci agar transportasi publik seperti KRL terus diminati oleh masyarakat. KCJ sebagai pengelola KRL seharusnya tidak hanya mengedepankan profit semata, namun kepuasan penumpang harus menjadi prioritas utama.

Dalam konteks ini, sepertinya Indonesia perlu belajar pada negara tetangga, seperti Singapura dalam mengelola transportasi publik. Negara tersebut dikenal sebagai negeri yang memiliki sistem transportasi publik yang baik. Ia mengutamakan kenyamanan, tepat waktu dan efisien sehingga memudahkan masyarakat maupun wisatawan mancanegara untuk mengelilingi negara tersebut.

Saat PT. Mass Rapid Transit (MRT) Jakarta melakukan studi banding ke Singapura pada 2014 lalu, mereka sempat menjajal layanan perkeretaapian di negara tersebut. Seperti ditulis Kompas.com, sistem layanan MRT Singapura hampir sama dengan layanan KRL yang beroperasi di Jabodetabek. Misalnya, penggunaan tarif sesuai jarak, dan tiket juga sudah tersedia dalam dua pilihan: sekali jalan dan berlangganan.

Namun, yang membedakan adalah pembelian tiketnya. Jika KRL masih menggunakan loket dan dilayani petugas, maka pelayanan tiket di Singapura telah menggunakan mesin. Di layar yang terdapat di mesin tiket akan memperlihatkan peta jalur-jalur kereta, baik MRT maupun LRT, yang ada di seluruh kota. Layar mesin menggunakan sistem layar sentuh, jadi dengan tinggal menyentuh stasiun tujuan, nantinya akan muncul tarif yang akan dikenakan.

Sistem pelayanan tiket menggunakan mesin ini baru diadopsi oleh KRL sejak 2015 dengan menerapkan vending machine. Sayangnya, seperti dilansir Antara, hingga awal tahun ini, mesin pembelian tiket otomatis tersebut baru berjumlah 50 unit di seluruh stasiun. Mesin ini juga belum terintegrasi dengan mode transportasi publik lain seperti yang ada di Singapura.

Hal ini telah disadari oleh manajemen KCJ untuk segera berbenah. Direktur Utama KCJ, Muhammad Nurul Fadhila menargetkan, pihaknya akan melakukan pembenahan dan menargetkan kemajuan dari berbagai segi pelayanan, mulai dari penambahan vending machine, gerbong kereta sampai perpanjangan rute perjalanan kereta.

Tahun ini, KCJ akan menambah mesin pembelian tiket otomatis yang awalnya 50 unit menjadi 400 unit yang akan ditempatkan di stasiun-stasiun potensial dan masih memiliki ruang yang cukup. Akankah pembenahan tersebut sejalan dengan layanan yang diberikan sehingga transportasi publik seperti KRL semakin diminati?

Baca juga artikel terkait TRANSPORTASI PUBLIK atau tulisan lainnya dari Abdul Aziz

tirto.id - Bisnis
Reporter: Abdul Aziz
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Maulida Sri Handayani