tirto.id - Sejak duduk di bangku kelas 3 SD, Randa (28) sudah mengikuti kursus piano klasik di Yayasan Pendidikan Musik, Bintaro, Jakarta Selatan. Inisiatif untuk mengikuti kursus ini datang dari dirinya sendiri. Alasan pertama, karena ia tumbuh di keluarga yang menggemari musik. Ayah dan ibunya aktif di gereja sebagai anggota koor. Kedua, pengalaman emosionalnya ketika mendengar sebuah lagu dari Michael Jackson pada usia 5.
“Gue sempat nangis waktu dengar ‘Will You Be There’. Sejak itu, gue menyadari kalau gue seorang yang audial,” terang Randa kepada Tirto. Kurang lebih sewindu Randa mengikuti kursus piano klasik yang berlokasi hanya sepuluh menit dari tempat tinggalnya.
Lain Randa, lain Lia (30). Ia yang berkursus di lembaga yang sama tetapi berlokasi di Manggarai, Jakarta Pusat, mengaku didorong orangtuanya untuk mengikuti kursus piano klasik.
“Papaku mau aku bisa main musik. Lalu dari sisi Mama, dia menyekolahkanku [di YPM] karena melihat aku senang mendengarkan dan mendekati orang yang sedang main piano di mana pun,” jelas perempuan yang telah 9 tahun mengikuti kursus piano klasik ini.
Pengalaman Randa dan Lia bukanlah hal langka ditemukan pada anak-anak generasi mereka hingga generasi selanjutnya. Pendidikan informal yang mereka ambil ini bisa dipandang mendatangkan beragam keuntungan, baik untuk orangtua yang memilih memasukkan anak-anaknya ke tempat kursus maupun diri anak sendiri.
Bagi orangtua, memiliki anak dengan talenta non-akademis akan menambah kebanggaan tersendiri. Tidak semua orangtua juga memiliki kemampuan mumpuni untuk melatih keterampilan anak sesuai kegemarannya. Pelatih-pelatih yang ada di tempat kursus bisa menjadi perpanjangan tangan orangtua yang hendak mendukung perkembangan potensi anak-anaknya.
Di sisi anak anak, pengembangan diri yang dilakukan dengan mengikuti kursus bisa memompa kepercayaan dan penilaian diri. Hal ini diafirmasi oleh pengalaman Randa. Kursus piano klasik yang dia ikuti membuatnya mampu menguasai lagu-lagu yang sudah lama ingin dia ketahui bagaimana cara memainkannya, misalnya “Symphony No. 9” dari Beethoven.
Seiring waktu, makin banyak lagu yang Randa kuasai dan makin mahir ia memainkan instrumen tersebut. Imbasnya saat beranjak dewasa, ia dapat bergabung dengan band bentukan kawan-kawannya dengan bekal kemampuan bermain piano yang ia miliki.
Untuk Lia, kursus piano klasik yang diikutinya membuat dia menjadi lebih sensitif dalam menikmati musik klasik. “Sampai sekarang pun, saya suka musik klasik. Dibanding konser-konser musik lain, saya jadi lebih senang datang ke konser musik klasik,” papar perempuan yang bekerja di media ini.
Kegiatan-kegiatan yang dilakukan di luar sekolah dalam rangka pengembangan bakat dan minat anak juga dapat berdampak pada performa akademisnya. Dilansir Parents.com, pemahaman tentang ketukan, ritme, dan pola yang diajarkan di kursus musik bisa mendorong kemampuan perhitungan anak. Saat mengikuti kegiatan seperti ini pula, anak dilatih untuk mengingat sehingga kemampuan memori jangka pendek dan jangka panjangnya pun bisa terasah seiring waktu.
Kesehatan anak juga dapat terpelihara dengan mengikuti kursus hobi yang melibatkan aktivitas fisik. Selain itu, dengan mengikuti kursus yang berhubungan dengan olahraga dan yang melibatkan kerja tim, anak bisa mengasah kemampuan bersosialisasi dengan sebayanya serta membangun relasi dengan orang dewasa yang melatihnya.
Ada Kalanya Menjadi Beban
Kendati Randa mengikuti kursus piano klasik dengan sukarela, ada saat-saat ia merasa enggan belajar di sana. Misalnya, saat materi yang diajarkan tidak sesuai dengan minatnya.
“Kalau lagunya menurut gue membosankan, gue ogah-ogahan dan tertekan menguliknya. Tapi kalau sebaliknya, mau sampai tujuh halaman partitur plus beberapa kali da capo [tanda pengulangan di birama tertentu] pun gue jabanin,” cerita Randa.
Sama seperti sekolah formal, lembaga kursus tempat Randa dan Lia pun mewajibkan siswanya meneruskan belajar di rumah. Pernah beberapa kali mereka alpa latihan dan guru mereka bereaksi keras terhadap sikap tak disiplin tersebut.
“Aku pernah disuruh pulang dari tempat kursus karena enggak lancar mainin suatu lagu, masih gagap baca not. Target para pengajar saat itu, dalam satu minggu kami sudah lancar membaca not, lalu minggu berikutnya kami diharapkan menguasai dinamika,” jelas Lia.
Lebih lanjut ia mengungkapkan, tempat kursus di mana ia tergabung memang memacu siswa untuk memenuhi standar kurikulum, bukan menggali potensi murid secara individual. Inilah yang membuatnya merasa tak begitu cocok dengan model seperti ini kendati ia tetap bertahan selama bertahun-tahun mengikuti kursus tersebut.
Selain itu, Lia juga mengaku kursus piano klasik yang dijalaninya memberi beban lain. Saat duduk di bangku SMA, ia pernah diminta menjadi pemain musik di gereja karena orang-orang di sana tahu Lia mengikuti kursus piano klasik.
“Mereka enggak mau memahami kalau aku enggak bisa memainkan lagu-lagu gereja. Aku pun enggak tertarik latihan secara penuh karena enggak pernah memainkan lagu-lagu itu,” kata dia.
Randa juga bercerita hal tak menyenangkan lain yang menjadi konsekuensi mengikuti kursus. Saat duduk di bangku SMP dan SMA, lazimnya anak sedang senang-senangnya menghabiskan waktu bermain dengan teman-teman. Karena kesibukannya di tempat kursus ini, mau tak mau Randa mesti melewatkan kesempatan bermain dengan teman tersebut.
Alih-alih memberi dampak positif bagi anak, kegiatan yang terlalu padat bisa membuat mereka keletihan secara fisik dan emosional. Pada usia perkembangan, sebagian anak terpaksa mengemban beban ganda, dari sekolah dan dari tempat kursus. Beban ganda ini tak pelak membuat performa anak di salah satu ranah tak optimal. Randa mengaku beberapa kali enggan datang ke tempat kursus karena sudah kadung keletihan mengerjakan tugas-tugas sekolah.
Yang Perlu Dipertimbangkan Orangtua
Untuk mencegah efek buruk bagi anak yang ditimbulkan dari mengikuti kegiatan kursus, orangtua perlu memperhatikan beberapa hal. Dilansir Irish Time, Dr. John Sharry, psikoterapis anak dan keluarga sekaligus salah satu penggagas Parents Plus Programmes, menyarankan orangtua untuk memperkenalkan berbagai aktivitas hobi yang bersifat latihan fisik atau seni terlebih dahulu sebelum memasukkan anak ke tempat kursus.
Dari situ, orangtua dapat menemukan pada bidang apa anak mereka menaruh minat dan berbakat. Jika anak tidak senang dengan pilihan kursus yang diambil orangtua, ia tak perlu dipaksa untuk mengikutinya.
Di samping itu, Sharry menyarankan kepada orangtua untuk memperkenalkan konsep tanggung jawab, komitmen, serta memberi tahu pengorbanan waktu dan tenaga seberapa besar yang harus dilakukan bila anak ikut kursus. Bila anak berinisiatif mengikuti kursus tapi tidak mengenal hal-hal ini, hasil maksimal yang diharapkan dari kegiatan tersebut pun akan sulit tercapai.
Penulis: Patresia Kirnandita
Editor: Maulida Sri Handayani