tirto.id - Haris Azhar, kuasa hukum RA, korban pelecehan seksual di lingkungan kerja BPJS-TK, akan menindaklanjuti apa yang dilakukan oleh Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) ke pihak yang berwenang.
“Tunggu saja tanggal mainnya,” kata Haris dalam konferensi pers di kawasan Jakarta Pusat, pada Selasa (19/2/2019).
Haris menilai DJSN dengan sengaja melakukan skandal untuk menyelamatkan Dewan Pengawas, Syafri Adnan Baharuddin atau SAB, dari pemeriksaan dugaan pelecehan seksual yang dilakukannya.
“[Kami menduga] DJSN melakukan skandal penyelamatan SAB dari kewajibanmya untuk bertanggung jawab,” kata Haris.
Menurut Haris dugaan kesengajaan DJSN tidak memeriksa Syafri lebih jauh dengan menghentikan tim panel.
Ini menjadi tolak ukur bahwa DJSN memang melepaskan kewenangannya untuk mengungkap kasus tersebut.
“Jika ada pejabat negara atau pegawai negeri sipil melihat adanya tindak pidana, tapi tidak melaporkan, maka dia bagian dari tindak pidana,” jelas Haris.
Haris menilai yang dilakukan DJSN juga merupakan pembiaran.
“Artinya apa? Artinya ada dugaan bahwa secara institusi, dalam ruang kerja memang, membiarkan SAB melakukan kekerasan seksual kepada RA secara berulang,” ujarnya.
Laporan RA masuk ke DJSN secara resmi pada 17 Desember 2018. Namun DJSN justru memberikan surat rekomendasi ke presiden untuk penghentian Syafri pada 31 Desember 2019 melalui surat Nomor 779/DJSN/XII/2019.
Haris menilai apa yang dilakukan DJSN justru seakan sedang berusaha untuk membantu melindungi Syafri.
Pasalnya, saat terdapat laporan masuk dari RA soal dugaan pelecehan, DJSN justru mengirimkan surat ke presiden soal rekomendasi penghentian Syafri.
“DJSN hypocrite, bermain dua muka, munafik. Di satu sisi menerima laporan RA, di sisi lain dukung SAB untuk ‘yaudah lo [Syafri] mengundurkan diri aja’,” Ujar Harus.
Pada tanggal 17 Januari 2019, Presiden Jokowi mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pemberhentian Dengan Hormat Anggota Dewan Pengawas BPJS Ketenagakerjaan atas nama Syafri Adnan Baharuddin (SAB).
“Nah, bacaan kami, mereka [DJSN] memperlambat dan menghambat [proses penyelidikan dan hasil dari tim] panel, berharap Keppres keluar lebih dahulu,” kata Haris.
Setelah keluarnya Kepres tersebut, DJSN pun menghentikan proses tim panel. Penghentian tersebut beralasan bahwa Syafri sudah dihentikan dan bukan lagi merupakan anggota Dewas BPJS-TK, sehingga bukan lagi menjadi ranah DJSN untuk memeriksanya.
“Dampaknya apa? Fakta yang resmi tidak pernah terungkap sampai hari ini, tapi SAB [Syafri] selamat, seolah-olah diberhentikan dan tidak bisa diperiksa oleh panel,” ujar Haris.
Di sisi lain, surat DJSN nomor 49/DJSN/II/2019 yang diberikan kepada RA, serta ditandatangani oleh Ketua DJSN, Andi Zainal Abidin Dulung, pada 11 Februari 2019, berisikan informasi bahwa terlapor (Syafri) terbukti.
“Melakukan perbuatan maksiat, melanggar nilai agama, norma, kesusilaan, dan/atau adat kebiasaan”.
Surat tersebut bersifat rahasia. “Akhirnya DJSN memberikan informasi kepada RA, tapi malah dalam keadaan rahasia. Itu bukan melindungi korban kekerasan seksual, tapi melindungi pelaku kejahatan seksual,” ujar Haris.
Penulis: Fadiyah Alaidrus
Editor: Nur Hidayah Perwitasari