tirto.id - Papan, atau rumah, acap diucapkan setarikan napas dengan sandang (pakaian) dan pangan (makanan). Kebutuhan-kebutuhan yang lain tak akan terpikirkan jika tiga hal dasar itu belum terpenuhi.
Dari tiga kebutuhan itu, papan yang relatif paling sulit dimiliki karena memang lebih mahal harganya. Negara tidak bisa tidak mesti ikut mencari jalan keluarnya karena menyejahterakan kehidupan rakyat merupakan amanat Undang-Undang Dasar.
Di zaman Sukarno, pemerintah tak hanya memikirkan namun sudah merealisasikannya di tengah segala keterbatasan. Buku Setengah Abad Perumahan Rakyat (1995) mencatat inisiatif pemerintah membangun 12.460 unit rumah di 12 kota hingga 1961. Namun problem perekonomian nasional membuat proyek semacam itu sulit berkesinambungan (hlm. 139).
Inisiatif pemerintah Sukarno dilanjutkan Orde Baru. Pemerintahan Soeharto sempat membentuk tiga lembaga yaitu Badan Kebijakan Perumahan Nasional (BKPN) atau disebut juga National Housing Authority (NHA), Perum Perumnas atau dulu disebut sebagai National Urban Development Corporation (NUDC), dan National Housing Bank (NHB) yang dibahasaindonesiakan menjadi Bank Hipotek Perumahan (BHP).
Dua lembaga pertama relatif mudah pembentukannya. Namun pembentukan NHB atau BHP terkendala banyak faktor, terutama belum ada dasar hukum yang kuat atas hipotek rumah. Setelah melalui perdebatan panjang, pemerintah akhirnya memutuskan tidak membentuk lembaga baru untuk BHP melainkan memanfaatkan perbankan yang sudah ada.
Muncul beberapa bank yang akan mengemban tugas ini, di antaranya Bank Rakyat Indonesia (BRI) dan Bank Tabungan Negara (BTN). Pilihan dijatuhkan kepada BTN melalui Surat Menteri Keuangan Nomor B-49/MK /IV/1974 tertanggal 29 Januari 1974. Surat yang ditandatangani Menteri Keuangan Ali Wardhana itu menunjuk dan menugaskan BTN untuk mengucurkan pembiayaan atau kredit bagi pembeli rumah.
Merumuskan Program Pembiayaan Rumah untuk Rakyat
Namun BTN tak bisa langsung bergerak.
“Dulu belum ada hak tanggungan yang ada adalah hipotek, itu pun masih menjadi perdebatan para ahli hukum. BTN sampai mendatangkan ahli hukum dari berbagai universitas, BTN juga berdiskusi dengan Ikatan Notaris Indonesia (INI),” tutur Asmuadji, Direktur BTN (1988-1994).
Direksi BTN juga mengirim staf ke luar negeri untuk belajar fungsi, tugas dan aspek hukum BHP ke Belanda, Inggris, hingga Malaysia. Setelah proses studi itu, BTN memutuskan Malaysian Building Society Berhad (MBS) Malaysia sebagai rujukan.
“Kenapa Malaysia? Karena dahulu kemampuan berbahasa Inggris staf BTN masih terbatas,” kelakar Asmuadji.
Kedekatan geografis dengan Malaysia juga dinilai memudahkan jika sewaktu-waktu tim BTN perlu berdiskusi dengan MBS untuk merespons problem-problem di luar perkiraan.
Riwayat Istilah KPR
Pertengahan 1976, direktur BTN yang membidangi kredit, Sasono Utomo, meminta untuk segera mencetak formulir kredit perumahan.
“Saat formulirnya mau dicetak, kami masih bingung. Ini formulir untuk kredit apa? Saat itu kreditnya belum memiliki nama. Disebut apa programnya?” kenang Asmuadji.
Direksi BTN meminta seluruh staf untuk mengusulkan nama program yang riwayatnya penuh kelok ini. Kata “mortgage” serta “hipotek” paling banyak diusulkan.
Asmuadji mengusulkan nama yang sangat Indonesia. Lulusan D3 Fakultas Hukum Universitas Padjajaran Bandung ini mengusulkan nama yang kala itu dianggap nyeleneh, yaitu Kredit Pemilikan Rumah, disingkat KPR.
Menurutnya, masyarakat sulit melafalkan produk yang mengandung bahasa asing. Selain itu, ada argumen yang lebih substantif: nama KPR memang lebih tepat dalam menggambarkan konsep kepemilikan. Artinya: kreditor yang memiliki rumah itu namun dibayar secara mengangsur.
“Ini kredit yang gunanya agar masyarakat punya kepemilikan rumah sendiri. Maka saya mengusulkan nama Kredit Pemilikan Rumah, disingkat KPR,” kenang pria yang telah bekerja di BTN sejak 1963 ini.
Di masa sekarang argumen itu tidak perlu dikemukakan, tapi pada masa itu situasinya berbeda.
“Banyak yang masih belum percaya dengan skema cicilan ini, karena KPR adalah barang baru. Makanya BTN melakukan promosi gencar karena konsep ini terhitung baru pada masanya,” katanya lagi.
Usulan nama KPR didukung J. Ringshall, konsultan asal Inggris yang merupakan konsultan ketiga yang membantu BTN merancang skema cicilan rumah. Nama KPR pun akhirnya disetujui jajaran direksi BTN.
KPR untuk Semua
Klien pertama datang dari Pemerintah Daerah Jawa Tengah yang tengah membangun sembilan unit rumah bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) Kantor Wilayah Agraria, cikal bakal Badan Pertanahan Nasional, di Semarang. Proyek perdana pembiayaan ini dilakukan pada 10 Desember 1976, tepat hari ini 42 tahun lalu. Tanggal itulah yang kemudian dijadikan sebagai Hari KPR. Setelah itu, permintaan pembiayaan KPR pun berdatangan. Bandung menjadi kota kedua BTN mengucurkan produk KPR.
Selain pembiayaan rumah PNS, BTN mulai merambah pemberian KPR kepada karyawan swasta. Proyek perdananya adalah pembangunan perumahan khusus wartawan di kawasan Puri Indah, Kembangan, Jakarta Barat.
Kendati proyek-proyek pembangunan dan pembiayaan rumah mulai tumbuh, program KPR baru berdampak signifikan terhadap kinerja perseroan pada 1987. Dampak KPR kepada kinerja perseroan terasa signifikan saat BTN berubah status dari bank simpanan menjadi bank umum dan juga diizinkan untuk mengucurkan kredit konstruksi sehingga bisa lebih leluasa bergerak.
Sejak itulah nama BTN mulai melekat dalam memori kolektif orang Indonesia. Sampai-sampai, di banyak wilayah di Indonesia, sangat biasa orang menyebut kompleks perumahan dengan sebutan BTN.
Kisah sukses itulah yang membuat BTN sempat disebut memonopoli pasar pembiayaan rumah. Namun, menurut Asmuadji, BTN merupakan single fighter dalam penyaluran KPR, bukan karena memonopoli.
“Perbankan lain tidak mau menyalurkan KPR subsidi dan hanya menyalurkan KPR komersial saja. Itupun yang utama adalah KPR kepada karyawannya sendiri, bukan kepada masyarakat. Jadi semuanya dilakukan oleh BTN,” jelas Asmuadji.
Pemerintah akhirnya meminta bank-bank BUMN dan swasta lainnya untuk aktif terlibat dalam pembiayaan KPR. Dan dari sana pula istilah KPR menancap dalam-dalam di kepala orang Indonesia. Apa pun bank atau institusi yang menawarkan pembiayaan pemilikan rumah, nama KPR yang akhirnya dipakai.
Lalu bagaimana dengan Asmuadji yang menemukan nama KPR?
Ia tidak pernah menerima royalti. Selain memang tidak menuntut hal itu—karena ia menciptakannya sebagai bagian dari tugas di BTN—istilah KPR juga sudah telanjur dipakai secara luas. “Ini adalah cerita kesuksesan untuk BTN karena program ini dikenal masyarakat luas, dan saya bangga sekali dengan produk ini,” pungkasnya.
Bank BTN pun tidak berniat mematenkan istilah KPR, karena bagi bank spesialis perumahan ini, rumah merupakan hak semua masyarakat Indonesia. Sehingga, istilah KPR pun bisa dipakai dan diadopsi siapa saja, yang terpenting kebutuhan rumah rakyat terpenuhi.
(JEDA)
Penulis: Tim Media Servis